Senin, 24 September 2012

TEKANAN MASSA DAN INDEPENDENSI HAKIM


Kamis, 20 September 2012, pagi hari saya sudah bersiap untuk melakukan penelitian lapangan. Kali ini obyek penelitian saya adalah Hakim. Pengadilan Negeri menjadi tempat yang harus saya kunjungi.

Pengadilan Negeri (PN) yang saya datangi kali ini berada di wilayah Jawa Barat. Kotanya sejuk, cenderung dingin. Jalanan pun tidak ramai, tetapi tingkat kedisiplinan berlalulintasnya rendah. Pemandangan seperti pengendara motor tidak memakai helm, atau angkutan kota yang berhenti ditengah jalan, sudah biasa ditemukan.

Kota ini sebenarnya tidak asing bagi saya karena setiap tahun, pada saat lebaran, saya pasti berkunjung kesini. Menempuh 3 sampai 6 jam dari Bandung bukan lagi hal yang aneh. Tidak sulit menghapal jalan menuju wilayah ini, karena selain tidak banyak, kondisi jalannya pun cenderung tidak banyak berubah. Namun kali ini suasananya terasa lain, karena saya datang tidak dengan keluarga, dan misinya pun lain. Bukan untuk bersilaturahmi, tapi ingin mengetahui banyak hal tentang Hakim di kota ini.

Kota tersebut adalah Garut. Satu kota yang memiliki sejarah panjang di wilayah Jawa Barat. Masyarakatnya kental dengan budaya sunda, tanah Priangan. Dalam sejarahnya, daerah Kabupaten ini dulunya adalah bagian dari wilayah Limbangan. Pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Daendles memishakannya menjadi Kabupaten tersendiri. Ulang tahun Garut jatuh pada tanggal 15 September, yang merupakan tanggal pertama kali dilakukan peletakan batu pertama pembangunan sarana-prasarana.

Pukul 09.00, saya bergegas pergi menuju PN Garut, sesaat setelah menyelsaikan sarapan di penginapan. Jarak antara penginapan dan PN Garut tidak jauh, ditambah dengan lengangnya jalanan, membuat jarak bisa ditempuh dalam 15 menit saja. Kondisi itu membuat Garut terasa sangat ramah untuk beraktifitas, apalagi dibandingkan dengan penatnya lalu lintas Jakarta di Pagi hari.

Sampai pengadilan, perhatian saya tersita oleh adanya kerumunan massa. Banyak pertanyaan muncul dalam benak saya, “apakah sedang ada kerusuhan, atau demonstrasi, atau sekedar kesibukan masyarakat kebanyakan?”. Setelah memperhatikan lebih detail, ternyata hampir semua dari mereka berpakaian serba putih dan mengenakan sorban. Melihat sekilas, saya merasa seperti sering melihat pakaian itu. Ternyata benar saja, kerumunan masa yang memenuhi halaman depan PN Garut adalah masa dari kelompok Front Pembela Islam, atau biasa dikenal dengan FPI.

Sesampainya di PN Garut, saya bergegas masuk ke dalam. Terlihat di taman samping kanan pengadilan ada kerumunan lain dari massa FPI berkumpul. Kali ini mereka terus ber-shalawat, sambil sesekali memekikan takbir. Mereka berkumpul tepat didepan ruang tahanan pengadilan, yang didalamnya terduduk seorang laki-laki berperawakan kurus tinggi dengan menggunakan peci putih dan baju koko. Dialah anggota FPI yang sedang dibela oleh rekan-rekannya.

Suasana semakin semarak karena saat itu PN Garut sedang banyak pengunjung. Hari itu PN Garut bisa dikatakan dua kali lebih ramai daripada biasanya. Hal ini terjadi karena kemarinnya pengadilan tidak menyelenggarakan sidang, karena ada kunjungan dari Pengadilan Tinggi Bandung dalam rangka silaturahim. Terlihat pula terdakwa yang dibawa jaksa hari itu jumlahnya jauh lebih banyak dari biasanya.

Lantunan shalawat dan pekikan takbir yang biasanya mengalun pelan dan sendu, kali ini dibawakan lain. Hentakan-hentakan suara dalam membawakannya membuat suasana mencekam. Belum lagi terdengar ada teriakan-teriakan yang membuat masa menjadi lebih mudah terprovokasi. Saya pun mulai khawatir dengan kondisi yang terjadi.

Kekhawatiran saya mulai memudar ketika seorang anggota FPI, sepertinya pemimpin rombongan, berbicara didepan masa. Ia awalnya membakar semangat masa dengan hentakan-hentakan instruksi untuk bertakbir, “Takbir! AllahuAkbar!” begitu cetusnya. Kemudian Ia mulai menjelaskan apa alasan meraka ada di PN Garut. Kemudian sang pemimpin rombongan menghimbau untuk masa tidak terprovokasi dan tidak ada aksi anakis, karena mereka hadir di PN Garut untuk memberikan dukungan kepada anggota FPI, bukan untuk merusak.

Pada sisi lain pengadilan, terlihat beberapa hakim sedang bersiap-siap untuk memulai sidang. Mereka sibuk mondar-mandir masuk ke ruang Kepala Pengadilan Negeri (KPN). Raut wajah mereka juga tidak santai seperti biasanya, lebih serius, begitu kira-kira. Dalam kondisi itu, ada satu hakim yang berhasil saya ajak ngobrol. Dari obrolan itu saya tahu bahwa hakim itu yang akan menyidangkan perkara yang melibatkan anggota FPI sebagai terdakwa, bersama dua orang hakim lainnya. Selian itu, sang hakim juga bercerita kalau kondisi ini seperti sudah biasa terjadi, dan massa yang sama kerap mendatangi PN Garut dalam perkara yang berbeda.

Tekanan masyarakat seperti ini memang tidak jarang dikeluhkan para hakim, bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi di PN Garut saja. Bentuk tekanan pun beragam bisa demonstrasi di pengadilan, bisa ancaman melalui SMS (short message services), surat kaleng, sampai ancaman pelemparan terhadap rumah tinggal. Kondisi ini jelas mengganggu konsentrasi dan independensi hakim dalam memutus, karena walaubagaimanapun hakim tetap manusia yang memiliki rasa takut, dan sangat mungkin untuk terpengaruh dengan ancaman-ancaman yang ada.

Tidak lama, hakim yang saya ajak ngobrol pun pamit karena harus ada pertemuan dengan KPN. Pertemuan itu terlihat baru saja diagendakan, karena terlihat serba mendadakn. Tidak sampai 10 menit, rapat pun selesai. Terlihat beberapa hakim keluar dari ruang KPN, dan kembali masuk ke ruang hakim. Terakhir, keluarlah tiga orang hakim dengan berpakaian toga hakim lengkap. Namun, ketiga orang hakim ini bukanlah hakim yang akan menyidangkan kasus FPI, sesuai dengan informasi yang saya dapat. Saya berpikir mungkin mereka akan menyidangkan perkara lain.

Sebelum turun untuk menuju ke ruang sidang di lantai 1. Saya sempat berbincang dnegan ketiga hakim tersebut. Mereka terlihat sudah siap bersidang, dan terlihat cukup rileks dibandingkan hakim lainnya. walaupun saya tidak cukup tahu apakah itu memang benar, atau hanya tampilan luarnya saja. Saya yang kala itu memegang kamera, dengan nada bercanda, menawarkan untuk memfoto mereka sebelum bersidang. Ternyata mereka menyambut tawaran saya, sampai saya memotret mereka dengan senyum dibibir.setelah difoto, salah satu dari mereka berkata, “Mas, ini mah biasa, masih bisa terkendali. Tapi perlu juga diketahui masyarakat banyak.”

Pukul 11.10, sidang tindak pidana kepemilikian senjata tajam, dengan terdakwa seorang anggota FPI Garut, mulai disidangkan. Ternyata hakim yang menyidangkan adalah tiga hakim yang saya foto sebelumnya, yang berarti berbeda dengan informasi yang saya dapat awalnya. Sehingga dapat diketahui bahwa pada rapat di ruang KPN sebelum sidang dimulai salah satunya membahas terkait dengan majelis hakim yang akan menyidangkan. Tentu saya sangat penasaran terkait dengan alasan pergantian hakim itu, bukankah penunjukan hakim sudah dari jauh-jauh hari?

Persidangan dimulai dengan kondisi ruang sidang yang sangat penuh dengan massa. Sampai mereka tidak semua bisa masuk dan duduk di dalam ruang sidang. Terpaksa beberapa dari mereka harus menunggu atau menonton dari luar ruangan. Suasana persidangan tertib, tidak ada satu orang pun pengunjung yang bersuara keras didalam ruang sidang. Bahkan beberapa diantara mereka, terutama yang duduk dideretan palin gdepna, terlihat sangat serius mengikuti jalannya persidangan.

Sidang kali ini mengagendakan pembacaan dakwaan. Jaksa membacakan dakwaan secara cepat. Ketika mejelis hakim menanyakan perihal saksi, Jaksa tidak menyanggupi untuk menghadirkan pada sidang saat itu, dan meminta untuk persidangan diundur satu minggu. Ketika sudah menanyakan pihak terdakwa dan pengacaranya, akhirnya sidang yang baru saja berjalan sekitar 30 menit ditunda. Pukul 11. 40 sidang selesai.
Massa pun berhamburan keluar ruang sidang dengan terus ber-shalawat dan bertakbir. Setelah keluar ruang sidang ternyata mereka kembali berkerumun didepan ruang tahanan pengadilan dan terus memberikan semangat dan dukungan kepada sang terdakwa yang terlihat didampingi oleh pengacaranya. Selang beberapa saat, pengacara dan sang pemimpin rombongan mengumpulkan kembali massa, dan berbicara perihal persidangan yang ditunda. Sang pengacara mengingatkan kepada massa bahwa persidangan mungkin akan berlangsung lebih dari sepuluh kali sidang, sehingga perlu tenaga lebih untuk mengawalnya.

Didalam ruang sidang, terlihat ketiga hakim yang menyidangkan perkara masih duduk di tempat hakim. Awalnya saya berpikir mereka menunggu kerumunan massa ini membubarkan diri, dan jalan keluar hakim sudah sepi dari pengunjung. Namun ternyata, mereka melanjutkan untuk menyidangkan perkara berikutnya, bahkan ada 2 perkara lanjutan yang disidangkan berturut-turut, yaitu perkara pencurian dan perakara penggelapan.

Setelah mengikuti sidang, saya masih penasaran dengan pertimbangan penggantian hakim tadi, karena pasti ada pertimbangan khusus. Apakah massa FPI tadi sudah memberikan tekanan tersendiri kepada para hakim? Atau ada “permainan”? itulah yang saya ingin cari jawabannya.

Beberapa saat saya menunggu, saya berhasil menemui salah satu dari 3 hakim yang menyidangkan perkara yang terdakwanya adalah anggota FPI tadi, yang kebetulan ia adalah KPN Garut saat ini. Setelah berbasa-basi rekan saya sesama peneliti menanyakan perihal pergantian hakim itu. Sang hakim membenarkan ada perubahan hakim. “salah satu hakim yang akan menyidangkan harus ke Jakarta, karena mengikuti pemilukada Gubernur DKI Jakarta.” Saya masih belum jelas apakah itu alasan yang kuat untuk mengganti majeis?. Hakim itu pun melanjutkan, “dalam kondisi seperti ini pengadilan tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun. Ketidakadaan hakim akan berakibat sidang yang ditunda, atau apabila dipaksanakan akan ada masalah formil persidangan disana. Daripada pengadilan melakukan kesalahan yang tidak perlu, yang mengakibatkan massa menjadi marah dan bisa saja merusak bahkan mengancam hakim-hakim dan perangkat pengadilan disini, maka saya ambil keputusan untuk mengganti majelis dengan yang ada, yang penting sidang bisa berjalan.”

Dari argumentasi itu baru jelas mengapa penting untuk mengubah susunan majelis hakim pada saat-saat terntentu. Dalam lanjutan jawbannya, hakim tersebut menyatakan bahwa memang Ia menyadari bahwa keputusannya mengandung resiko, “tapi biarlah itu resiko saya, jangan sampai pengadilan yang terhina dengan melakukan kesalahan yang tidak perlu”.

Pengalaman saya di PN Garut ini mengingtakan bahwa sampai saat ini seorang hakim, terutama di tingkatan PN, masih sulit merasakan independensi dalam memutus perkara. Cerita diatas pun memperlihatkan bagaimana faktor tekanan massa dan keamanan memberikan pengaruh besar, bukan hanya sekedar kesejahteraan yang tercermin dari angka nominal gaji, yang selama ini terus diperbicangkan. Sepertinya memang sudah saatnya memandang hakim sebagai seorang manusia, bukan lagi seorang pekerja dalam peradilan yang bertugas untuk memutus perkara.

Kamis, 13 September 2012

UPAYA PANTANG MENYERAH INTERVENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pembentukan Panitia Kerja dengan nama “Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah” oleh Komisi III DPR menuai banyak penolakan dari masyarakat. Argumentasi bahwa Panja ini dapat mencederai independensi peradilan di Indonesia menjadi argumentasi yang banyak diserukan.

Secara formal, Komisi III, sebagai salah satu alat kelengkapan DPR, memiliki kewenangan dalam membentuk Panja. Pasal 144 ayat (1) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Panja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran. Selain itu, dalam Pasal 144 ayat (2) diatur bahwa Panja bertugas untuk membahas substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atan rapat kerja Badan Anggaran. Sehingga pembentukan Panja tersebut dapat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur.
Tentu dalam membahas pembentukan Panja ini tidak hanya cukup dalam tataran syarat formal atau prosedur semata, namun lebih jauh dari itu, yaitu terkait praktik dalam menjalankan kekuasaan di dalam sebuah Negara Hukum. UUD 1945 telah dengan tegas dan jelas memngatur pembagian kekuasaan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan MA sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman  (yudikatif) di Indonesia. Pembagian kekuasaan itu pun sudah pula diberi batasan-batasan dan fungsi check and balances yang jelas antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 diatur dengan tegas bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Pembentukan Panja Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah ini jelas berpotensi untuk melakukan intervensi yang mengancam kemerdekaan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang berarti berpotensi melanggar hukum. Setidaknya ada 3 (tiga) indikasi yang patut dikemukakan dalam menilai potensi pelanggaran hukum itu. Pertama, objek yang akan menjadi pusat dari pekerjaan Panja adalah Putusan MA, yang merupakan produk langsung dari hakim MA. Pengkritisan terhadap putusan MA ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, dan secara kelembagaan akan mengancam independensi peradilan dalam memutus suatu perkara.

Kedua, subyek yang akan melaksanakan pekerjaan ini adalah anggota DPR, yang merupakan lembaga politik dan memiliki kepentingan tertentu. Sebagai lembaga politik, sulit untuk kemudian memisahkan peninjauan terhadap Putusan dari kepentingan politik. Argumentasi ini bukan berarti melarang sama sekali penijauan terhadap Putusan MA atau pengadilan dibawahnya, namun harus jelas dan sesuai konteksnya, yaitu untuk kepentingan peningkatan kualitas dalam rangka peninjauan akademik. Sehingga akan lebih tepat apabila peninjauan terhadap putusan MA ini dilakukan oleh kalangan akademisi, dan untuk kepentingan akademis.

Ketiga, adanya ketidakjelasan dari maksud dan tujuan dari pembentukan Panja. Apabila merujuk kepada argumentasi dari beberapa anggota DPR, Panja ini akan menyisir putusan-putusan MA berkekuatan hukum tetap yang dianggap bermasalah, terutama dengan permasalahan tidak dapat dieksekusi. Tujuan ini dalam pelaksanaannya bukan tidak mungkin akan mempertanyakan kembali kasus yang bersangkutan, dimana dalam hal ini sangat rentan adanya kepentingan-kepentingan lain, yang bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk membuka kasusnya kembali.

Dengan ketiga argumentasi diatas, jelas Komisi III DPR sudah harus melakukan peninjauan kembali bahkan  membatalkan pembentukan Panja tersebut. Selanjutnya, apabila memang benar DPR berniat untuk melakukan peninjauan terhadap putusan MA untuk kepentingan memahami permasalahan yang akan menjadi bahan revisi dari Undang-undang MA, maka akan lebih baik apabila dikerjakan oleh tenaga peneliti atau staff di sekretariat Komisi III, sehingga kecurigaan akan adanya kepentingan politik dibalik pembentukan Panja dapat terhidarkan, sekaligus tidak membebani anggota dengan pekerjaan yang sifatnya teknis.

Sebaliknya, apabila Komisi III DPR tetap memaksakan diri melanjutkan Panja tersebut, maka independensi peradilan di Indonesia akan terancam. Sekaligus semakin menguatkan kesan bahwa DPR, dalam hal ini juga termasuk partai politik dibelakangnya, memang sedang ingin mengintervensi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah sebelumnya berhasil memasukan unsur DPR kedalam Dewan etik hakim konstitusi dalam ketentuan UU No. 18 tahun 2011 tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ketentuan itu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2011 lalu.

Senin, 16 April 2012

Siaran Pers PSHK Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang III Tahun Sidang 2011-2012


4 Temuan Di Bagian Awal Tahun Legislasi:
Masih Berkutat di Faktor yang Sama



Masa Sidang III DPR Tahun Sidang 2011-2012 resmi ditutup pada 12 April 2012. Ketua DPR Marzuki Alie saat pembukaan Masa Sidang III 9 Januari 2012, menyatakan bahwa 2012 adalah tahun legislasi bagi DPR. Seruan ini jelas bukan main-main karena disampaikan langsung dalam Rapat Paripurna. Selain itu, seruan ini juga bukan tanpa dasar, karena sudah lebih dari dua tahun masa kerja DPR periode 2009-2014, kinerja legislasi masih bermasalah, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Dalam hal kuantitas, di masa sidang yang berjalan selama 67 hari kerja ini, DPR berhasil menetapkan 5 (lima) RUU menjadi UU, yang terdiri dari 3 (tiga) UU kumulatif terbuka dan 2 (dua) UU non-kumulatif. Kelima Undang-undang itu adalah:
1.        UU Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran;
2.        UU Ratifikasi Konvensi Asean mengenai Pemberantasan Terorisme;
3.        UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012;
4.        UU Penanganan Konflik Sosial; dan
5.        UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Selain itu, dalam Masa Sidang III ini juga DPR telah menetapkan lima RUU sebagai usul inisiatif, yaitu:
1.        RUU tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2.        RUU tentang Mahkamah Agung;
3.        RUU tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
4.        RUU tentang Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Pembekalan Kesehatan Rumah Tangga; dan
5.        RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.

Sedangkan Pemerintah juga mengajukan tiga RUU usul inisiatif, yaitu RUU tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dan RUU tentang Desa.

Capaian yang minim dalam Masa Sidang III ini sebenarnya sudah dikonfirmasi langsung oleh Ketua DPR. Namun masih ada catatan lain yang perlu PSHK kemukakan, terutama dalam melihat aspek kualitas dari kinerja legislasi DPR. Adapun catatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, pada pemaparan sebelumnya telah disebutkan bahwa baik DPR maupun Pemerintah mengajukan beberapa RUU usul inisiatif pada masa sidang ini. Dari segi jumlah, RUU usul inisiatif itu terlihat berimbang (DPR 5 RUU sedangkan Pemerintah 3 RUU). Namun dari segi waktu persiapan pengusulan RUU, Pemerintah lebih lambat dibandingkan dengan DPR. Sebagai contoh, Pemerintah berjanji akan menyerahkan RUU Pemilukada, RUU Pemda, dan RUU Desa kepada DPR sejak pertengahan Juli 2011. Namun akhirnya baru diterima DPR awal tahun ini.

Kedua, adanya ketimpangan beban legislasi yang signifikan dari satu alat kelengkapan dengan alat kelengkapan lain. Sebagai contoh, beban legislasi pada Komisi II, baik sebagian anggota maupun secara keseluruhan, masih menyisakan RUU DIY dan RUU Tentang Aparatur Sipil Negara. Keberadaan RUU Pemda, RUU Desa, dan RUU Pemilukada yang merupakan domain Komisi II, berpotensi menambah beban sebagian atau seluruh anggota Komisi II. Bandingkan (salah satunya) dengan Komisi IX, yang belum menunjukan perkembangan yang signifikan dari target legislasi yang ditetapkan (seperti RUU Tenaga Kesehatan, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, atau RUU Perubahan Atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri).  Akibatnya pembahasan beberapa RUU, seperti RUUK DIY dan RUU Aparatur Sipil Negara, menjadi lama mengendap dan sudah beberapa kali diperpanjang masa pembahasannya.

Tidak berimbang dan tidak meratanya beban legislasi adalah imbas dari desain perencanaan legislasi yang sejak awal sudah bermasalah, yang juga ditambah dengan persoalan postur alat kelengkapan DPR dengan 11 Komisi, dimana masing-masing Komisi dipukul rata berjumlah kurang lebih 50 orang. Jumlah 11 Komisi saat ini lebih karena adanya “warisan” kebijakan dari DPR periode lalu, sedangkan penempatan (anggota di setiap Komisi) sebanyak kurang lebih 50 orang seharusnya tidak dilakukan karena ada beberapa Komisi, seperti Komisi VIII dan IX yang pembidangannya tidak terlampau luas, bisa dibuat lebih sedikit anggotanya.

Ketiga, ada RUU yang pembahasannya mengalami deadlock karena ada perbedaan pendapat yang mendasar antara DPR dan Pemerintah, bahkan sampai saat ini tidak diketahui bagaimana status terakhir pembahasannya. Contohnya RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar oleh Komisi IV. Selain itu, terdapat pembahasan RUU yang memiliki potensi ketersinggungan yang tinggi, bahkan tidak tertutup kemungkinan saling tumpang tindih. Contohnya RUU tentang Koperasi dan RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Keempat, pada ujung periode Masa Sidang III, Komisi X memutuskan untuk menunda pembahasan RUU tentang Pendidikan Tinggi dan RUU tentang Pendidikan Kedokteran. Penundaan berasal dari Pemerintah, dengan alasan ada beberapa substansi kedua RUU yang masih perlu dikoordinasikan secara internal.

Permasalahan dalam penundaan ini adalah timing (pengajuan) penundaan yang dilakukan Pemerintah pada akhir masa pembahasan, yang sudah masuk Masa Sidang III (bahkan sempat harus memperpanjang satu minggu). Kalaupun memang Pemerintah tidak menyepakati sejumlah substansi atau bahkan berkeinginan untuk menolak RUU ini, sudah seharusnya bisa teridentifikasi lebih cepat, dan disampaikan lebih awal. Kejadian ini menggambarkan bahwa Pemerintah masih berkutat dalam permasalahan koordinasi internal.

Dari empat catatan di atas, terbukti belum ada dampak nyata dari seruan Ketua DPR terkait 2012 sebagai tahun legislasi sebagaimana dikemukakan di awal masa sidang. Baik dari sisi Pemerintah dan DPR memiiki kekurangan dalam pengelolaan legislasi. Satu sisi Pemerintah tidak kunjung tegas membenahi soal koordinasi antar instansi, sementara di lain pihak DPR juga tidak strategis dalam membagi alokasi SDM anggota dalam tiap Komisi. Artinya, baik Pemerintah dan DPR sama-sama berkontribusi dalam kualitas legislasi kita.

Selain empat catatan diatas, ada satu langkah DPR yang patut diapresiasi yaitu pada Masa Sidang III ini, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg), telah membentuk Peraturan DPR RI tentang Tata Cara Penyusunan Prolegnas, sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Langkah ini patut mendapat apresiasi karena manunjukan adanya respon yang cepat dalam upaya mengoptimalkan kinerja legislasi DPR. Upaya itu perlu mendapat dukungan dari Pemerintah, yang sampai saat ini belum menghasilkan peraturan yang sama, mengingat kinerja legislasi tidak hanya melibatkan DPR, tapi juga Pemerintah.

Dari paparan di atas, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak agar:

1.        DPR  harus membuat pembagian beban pembahasan RUU menjadi merata di setiap alat kelengkapan (Komisi, Baleg, maupun Panitia Khusus/Pansus). Apabila ada alat kelengkapan yang dihadapkan pada banyak target penyelesaian RUU, maka dilakukan pembagian atau penyesuaian waktu pembahasan, yang tentunya menuntut juga adanya ketepatan waktu dalam menyelesaikannya. Upaya ini dapat dilakukan oleh Pimpinan DPR dan Badan Musyawarah (Bamus) sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 141 Tata Tertib DPR.

2.        DPR dan Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap beragam permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi legislasi, terutama yang terkait dengan skema perencanaan legislasi dan postur alat kelengkapan. Perbaikan itu harus bisa menjadi terobosan baru dan kemudian diakomodir dalam revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (yang sudah direncanakan).

3.        Melakukan evaluasi dan antisipasi terhadap status RUU yang waktu pembahasannya akan melebihi 3 (tiga) kali masa sidang, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR. Dalam hal ini peran Baleg seharusnya lebih dominan, mengingat dalam Pasal 102 ayat (1) huruf g UU No. 27 Tahun 2009, Baleg seharusnya mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan RUU melalui koordinasi dengan Komisi dan/atau Pansus. Upaya ini menghindari adanya pembahasan RUU yang berlarut-larut dan hanya akan menambah beban legislasi yang ada.



Jakarta, 16 April 2012
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Fajri Nursyamsi (Peneliti)