Selasa, 10 Januari 2012

KAJIAN KRITIS TERHADAP PEMBENTUKAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA DAERAH TENTANG PELARANGAN AKTIVITAS JEMAAH AHMADIYAH INDONESIA DI BERBAGAI DAERAH


Pasca bentrokan di Cikeusik awal Februari 2011 lalu, pro dan kontra penolakan Ahmadiyah semakin memanas. Aksi demonstrasi massa sampai rapat-rapat di Gedung DPR sibuk membahas polemik tersebut, hingga perkembangan terakhir yaitu beberapa kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang intinya melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di daerahnya.

Tercatat sudah ada 5 (lima) daerah yang mengeluarkan peraturan serupa, antara lain Kota Samarinda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Selatan. Sebelumnya, sudah ada 7 (tujuh) daerah lainnya yang melarang aktivitas JAI, diantaranya adalah Lombok Timur, Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan Garut. Jumlah tersebut bukan tidak mungkin akan terus bertambah seiring dengan bergulirnya sikap penolakan terhadap aktivitas JAI.

Terlepas dari pro-kontra mengenai substansi peraturannya, penting untuk memastikan apakah SK kepala daerah tersebut sah atau tidak secara hukum? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, karena apabila SK itu tidak sah menurut hukum, maka akan menjadi preseden yang buruk bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia. Bukan tidak mungkin preseden tersebut akan terjadi dalam isu lain, atau menjadi alat politik bagi penguasa untuk menindas suatu kaum atau golongan.

Ada 2 (dua) poin penting yang bisa dijadikan tolak ukur dalam menjawab pertanyaan diatas, yaitu Pertama dengan melihat dasar kewenangan kepala daerah dalam mengeluarkan SK dan kedua, melihat dasar hukum dari pembentukan SK itu sendiri.

a.      Dasar Kewenangan Pembentukan SK Kepala Daerah
Kewenangan bagi kepala daerah untuk membentuk suatu peraturan berasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Istilah “peraturan-peraturan lain” yang disebutkan dalam UUD 1945 diatur lebih lanjut dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004). Pada Bab VI UU 32/2004 diatur mengenai Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Dalam Pasal 146 ayat (1) UU 32/2004, ada dua jenis peraturan kepala daerah yang diatur, yaitu peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa setiap kepala daerah di Indonesia memiliki kewenangan membentuk keputusan kepala daerah. Namun, kewenangan tersebut bukan tanpa batasan. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, pada akhir kalimatnya mengatakan bahwa “... untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Bagian itu tidak bisa dipisahkan dari kata-kata sebelumnya, karena merupakan satu kesatuan kalimat. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan peraturan oleh daerah adalah hanya untuk menjalankan otonomi di daerahnya. Begitu pula dengan SK pelarangan aktivitas JAI yang pembentukannya adalah untuk menjalankan otonomi di daerahnya masing-masing, tidak lebih.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 juga mengatur bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Perlu diketahui mana saja yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana saja yang menjadi urusan pemerintah daerah. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan bahwa yang menjadi urusan Pemerintah Pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Selain dari 6 (enam) hal ini, merupakan urusan pemerintah daerah.

Berdasar pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepala daerah berhak untuk mengeluarkan SK Kepala Daerah. Namun, kewenangan tersebut hanya berlaku apabila SK yang dibentuk mengatur perihal urusan pemerintahan daerah, atau di luar enam urusan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, SK Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI patut untuk diragukan keabsahannya, karena mengatur perihal agama, yang merupakan urusan dari Pemerintah Pusat.

b.     Dasar Hukum SK Kepala Daerah
Dalam bentuk formal suatu peraturan terdapat bagian Dasar Hukum, yang diawali dengan kata “mengingat”. Bagian ini menyebutkan peraturan perundang-undangan apa saja yang menjadi dasar hukum ataupun rujukan yang dipakai dalam membentuk peraturan bersangkutan.

Dalam SK Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI di berbagai daerah, mayoritas menggunakan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Peraturan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, sebagai dasar hukum. Undang-Undang ini juga yang mejadi dasar hukum Surat Ketetapan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri No 3 Tahun 2008, No Kep-033/A/JA/6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Dari judulnya, UU No 1/PNPS/1965 ini memiliki perbedaan dari judul undang-undang pada umumnya. Hal itu sudah bisa menandakan ada kekhususan yang dimiliki oleh UU tersebut dan penting untuk mengetahui lebih lanjut kaitannya dengan SK Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI di berbagai daerah.

Undang-Undang No 1/PNPS/1965 berasal dari Penetapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Waktu itu, Penpres dianggap sah karena berasal dari wewenang Presiden, walaupun tidak diakui oleh UUD 1945. Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59 kepada DPR, tertanggal 20 Agustus 1959, dilanjutkan dengan Surat Nomor 3639/Hk59, tertanggal 26 November1959, menjadi alat bagi Presiden Soekarno saat itu untuk menyatakan dalilnya tersebut, bahwa Penpres adalah bentuk hukum yang sah berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada masa Orde Baru, pemerintahan saat itu, yang dipimpin oleh Presiden Suharto, menganggap Penpres adalah penyimpangan dari UUD 1945. Melalui UU No 5 Tahun 1969, bentuk hukum Penpres dihapuskan. Namun, penghapusan tersebut tidak lantas menghilangkan substansi pengaturannya, melainkan bentuk Penpres tersebut diganti menjadi bentuk hukum Undang-Undang, seperti Penpres No 1/1965 yang diubah menjadi UU No 1/PNPS/Tahun 1965. Selain itu, ada pula penpres lain, yaitu Penpres No 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudian diubah menjadi UU No 11/PNPS/1963.

Undang-Undang No 5/1969, yang merupakan dasar hukum penggantian bentuk hukum dari Penpres menjadi UU, mengisyaratkan dalam penjelasannya bahwa:

"Harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi daripada penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru."

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa sebenarnya perlu kemudian membentuk undang-undang baru terkait dengan substansi dari penpres tersebut. Hal itulah yang juga menjadi argumentasi  dibentuk UU No 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang No 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang bahkan tidak mengatur baru melainkan mencabut dengan tegas produk hukum bekas penpres tersebut.

Pada 2009, Mahkamah Konstitusi telah melakukan judicial review terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 1965. Amar putusan MK, melalui Putusan No 140/PUU-VII/2009, menyebutkan bahwa “menolak permohonan dari Pemohon untuk seluruhnya”, yang berarti UU itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

Putusan MK tersebut menegaskan bahwa UU ini masih mempunyai daya laku (validity), karena tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, perlu diketahui bahwa selain daya laku, suatu peraturan juga harus memiliki daya guna (efficacy),yang mencerminkan kemanfaatan peraturan tersebut di masyarakat. Maraknya tindakan sewenang-wenang dari pelaksanaan UU No 1/PNPS/Tahun 1965 adalah bukti lemahnya daya guna dalam UU ini. Selain itu, latar belakang yang sudah tidak relevan menjadikan UU ini tidak lagi memiliki daya guna yang sama dengan pada saat baru dibentuk. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR sudah harus berpikir untuk melakukan revisi terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 2006, untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi kekinian.

Tuntutan untuk membentuk undang-undang baru juga berkaitan dengan materi muatannya yang mengatur tentang pembatasan HAM bagi warga negara. Pasal 73 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:

“Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”

Berdasar dari pasal itu, jelas bahwa pengaturan yang bermaterikan pembatasan HAM harus memakai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang, tidak lebih rendah. Dengan demikian, sudah seharusnya DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 1965.

Kesimpulan
Berdasar kepada penjabaran dua poin di atas, dapat terlihat bahwa SK yang dikeluarkan oleh beberapa kepala daerah mengenai pelarangan aktivitas JAI sangat lemah dari segi kewenangan pembentukan dan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, SK kepala daerah yang sudah terlanjur dibentuk harus segera ditinjau (review).
Respon segera dari pemerintah pusat dalam me-review SK tersebut akan sangat menentukan preseden yang akan timbul. Semakin lambat respon pemerintah pusat, akan timbul kesan pembiaran, dan kemudian memunculkan penilaian bahwa apa yang terjadi adalah benar. Apabila hal tersebut terjadi, maka bukan tidak mungkin kejadian ini akan menjadi contoh buruk dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Dampaknya ke depan, akan muncul pola-pola yang sama, dimana pemerintah daerah mengatur apa yang seharusnya menjadi urusan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Solusi
Permasalahan di atas tentu menuntut adanya solusi konkrit untuk menyelesaikannya. Dalam upaya tersebut, setidaknya ada dua solusi yang dapat diajukan, yaitu solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang.

Sebagai solusi jangka pendek, SK Kepala Daerah yang sudah terlanjur dibentuk tentang pelarangan aktivitas JAI harus segera di-review, hingga dapat dibatalkan, sesuai dengan mekanisme dalam UU 32/2004 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Sedangkan untuk solusi jangka panjang adalah Pemerintah dan DPR harus merevisi UU No 1/PNPS/Tahun 1965, untuk menyesuaikan dengan kondisi kekinian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar