Pasca bentrokan di Cikeusik awal Februari 2011
lalu, pro dan kontra penolakan Ahmadiyah semakin memanas. Aksi demonstrasi
massa sampai rapat-rapat di Gedung DPR sibuk membahas polemik tersebut, hingga
perkembangan terakhir yaitu beberapa kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan
(SK) yang intinya melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
daerahnya.
Tercatat sudah ada 5 (lima) daerah yang
mengeluarkan peraturan serupa, antara lain Kota Samarinda, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera
Selatan. Sebelumnya, sudah ada 7 (tujuh) daerah lainnya yang melarang aktivitas
JAI, diantaranya adalah Lombok Timur, Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan Garut. Jumlah
tersebut bukan tidak mungkin akan terus bertambah seiring dengan bergulirnya sikap
penolakan terhadap aktivitas JAI.
Terlepas dari pro-kontra mengenai substansi
peraturannya, penting untuk memastikan apakah SK kepala daerah tersebut sah atau
tidak secara hukum? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, karena apabila SK
itu tidak sah menurut hukum, maka akan menjadi preseden yang buruk bagi sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Bukan tidak mungkin preseden tersebut akan terjadi
dalam isu lain, atau menjadi alat politik bagi penguasa untuk menindas suatu
kaum atau golongan.
Ada 2 (dua) poin penting yang bisa dijadikan
tolak ukur dalam menjawab pertanyaan diatas, yaitu Pertama dengan melihat dasar kewenangan kepala daerah dalam mengeluarkan
SK dan kedua, melihat dasar hukum
dari pembentukan SK itu sendiri.
a. Dasar Kewenangan Pembentukan SK Kepala
Daerah
Kewenangan bagi kepala daerah untuk membentuk
suatu peraturan berasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, yang
menyebutkan bahwa “pemerintah daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Istilah “peraturan-peraturan
lain” yang disebutkan dalam UUD 1945 diatur lebih lanjut dalam UU No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004). Pada Bab VI UU 32/2004 diatur mengenai
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Dalam Pasal 146 ayat (1) UU
32/2004, ada dua jenis peraturan kepala daerah yang diatur, yaitu peraturan
kepala daerah dan keputusan kepala daerah.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa
setiap kepala daerah di Indonesia memiliki kewenangan membentuk keputusan
kepala daerah. Namun, kewenangan tersebut bukan tanpa batasan. Pasal 18 ayat
(6) UUD 1945, pada akhir kalimatnya mengatakan bahwa “... untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Bagian itu
tidak bisa dipisahkan dari kata-kata sebelumnya, karena merupakan satu kesatuan
kalimat. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan
peraturan oleh daerah adalah hanya untuk menjalankan otonomi di daerahnya.
Begitu pula dengan SK pelarangan aktivitas JAI yang pembentukannya adalah untuk
menjalankan otonomi di daerahnya masing-masing, tidak lebih.
Pasal 18
ayat (5) UUD 1945 juga mengatur bahwa “Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Perlu diketahui
mana saja yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana saja yang menjadi
urusan pemerintah daerah. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan bahwa
yang menjadi urusan Pemerintah Pusat adalah politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Selain dari 6 (enam) hal
ini, merupakan urusan pemerintah daerah.
Berdasar
pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepala daerah berhak untuk
mengeluarkan SK Kepala Daerah. Namun, kewenangan tersebut hanya berlaku apabila
SK yang dibentuk mengatur perihal urusan pemerintahan daerah, atau di luar enam
urusan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, SK Kepala Daerah tentang pelarangan
aktivitas JAI patut untuk diragukan keabsahannya, karena mengatur perihal
agama, yang merupakan urusan dari Pemerintah Pusat.
b. Dasar Hukum SK Kepala Daerah
Dalam
bentuk formal suatu peraturan terdapat bagian Dasar Hukum, yang diawali dengan
kata “mengingat”. Bagian ini menyebutkan peraturan perundang-undangan apa saja
yang menjadi dasar hukum ataupun rujukan yang dipakai dalam membentuk peraturan
bersangkutan.
Dalam SK
Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI di berbagai daerah, mayoritas
menggunakan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama jo UU No 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Peraturan
Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, sebagai dasar hukum. Undang-Undang
ini juga yang mejadi dasar hukum Surat Ketetapan Bersama (SKB) Tiga Menteri,
yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri No 3 Tahun 2008, No
Kep-033/A/JA/6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah
Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) dan Warga Masyarakat.
Dari
judulnya, UU No 1/PNPS/1965 ini memiliki perbedaan dari judul undang-undang
pada umumnya. Hal itu sudah bisa menandakan ada kekhususan yang dimiliki oleh
UU tersebut dan penting untuk mengetahui lebih lanjut kaitannya dengan SK
Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI di berbagai daerah.
Undang-Undang
No 1/PNPS/1965 berasal dari Penetapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno. Waktu itu, Penpres dianggap sah karena berasal dari wewenang
Presiden, walaupun tidak diakui oleh UUD 1945. Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59
kepada DPR, tertanggal 20 Agustus 1959, dilanjutkan dengan Surat Nomor
3639/Hk59, tertanggal 26 November1959, menjadi alat bagi Presiden Soekarno saat
itu untuk menyatakan dalilnya tersebut, bahwa Penpres adalah bentuk hukum yang
sah berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada masa
Orde Baru, pemerintahan saat itu, yang dipimpin oleh Presiden Suharto,
menganggap Penpres adalah penyimpangan dari UUD 1945. Melalui UU No 5 Tahun 1969,
bentuk hukum Penpres dihapuskan. Namun, penghapusan tersebut tidak lantas
menghilangkan substansi pengaturannya, melainkan bentuk Penpres tersebut
diganti menjadi bentuk hukum Undang-Undang, seperti Penpres No 1/1965 yang
diubah menjadi UU No 1/PNPS/Tahun 1965. Selain itu, ada pula penpres lain,
yaitu Penpres No 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudian
diubah menjadi UU No 11/PNPS/1963.
Undang-Undang
No 5/1969, yang merupakan dasar hukum penggantian bentuk hukum dari Penpres
menjadi UU, mengisyaratkan dalam penjelasannya bahwa:
"Harus
diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi daripada
penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut
ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru."
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa
sebenarnya perlu kemudian membentuk undang-undang baru terkait dengan substansi
dari penpres tersebut. Hal itulah yang juga menjadi argumentasi dibentuk UU No 26 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Undang-Undang No 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi, yang bahkan tidak mengatur baru melainkan mencabut dengan tegas
produk hukum bekas penpres tersebut.
Pada 2009, Mahkamah Konstitusi telah melakukan
judicial review terhadap UU No 1/PNPS/Tahun
1965. Amar putusan MK, melalui Putusan No 140/PUU-VII/2009, menyebutkan bahwa
“menolak permohonan dari Pemohon untuk seluruhnya”, yang berarti UU itu tidak
bertentangan dengan konstitusi.
Putusan MK tersebut menegaskan bahwa UU ini
masih mempunyai daya laku (validity),
karena tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, perlu diketahui bahwa selain
daya laku, suatu peraturan juga harus memiliki daya guna (efficacy),yang mencerminkan kemanfaatan peraturan tersebut di
masyarakat. Maraknya tindakan sewenang-wenang dari pelaksanaan UU No 1/PNPS/Tahun 1965
adalah bukti lemahnya daya guna dalam UU ini. Selain itu, latar belakang yang
sudah tidak relevan menjadikan UU ini tidak lagi memiliki daya guna yang sama
dengan pada saat baru dibentuk. Oleh karena
itu, Pemerintah dan DPR sudah harus berpikir untuk melakukan revisi terhadap UU
No 1/PNPS/Tahun 2006, untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
kekinian.
Tuntutan untuk membentuk undang-undang baru
juga berkaitan dengan materi muatannya yang mengatur tentang pembatasan HAM
bagi warga negara. Pasal 73 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa:
“Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang
ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan
dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”
Berdasar dari pasal itu, jelas bahwa
pengaturan yang bermaterikan pembatasan HAM harus memakai peraturan perundang-undangan
setingkat Undang-Undang, tidak lebih rendah. Dengan demikian, sudah seharusnya
DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 1965.
Kesimpulan
Berdasar kepada penjabaran dua poin di atas,
dapat terlihat bahwa SK yang dikeluarkan oleh beberapa kepala daerah mengenai
pelarangan aktivitas JAI sangat lemah dari segi kewenangan pembentukan dan berpotensi
melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, SK
kepala daerah yang sudah terlanjur dibentuk harus segera ditinjau (review).
Respon segera dari pemerintah pusat dalam me-review SK tersebut akan sangat
menentukan preseden yang akan timbul. Semakin lambat respon pemerintah pusat,
akan timbul kesan pembiaran, dan kemudian memunculkan penilaian bahwa apa yang
terjadi adalah benar. Apabila hal tersebut terjadi, maka bukan tidak mungkin
kejadian ini akan menjadi contoh buruk dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia. Dampaknya ke depan, akan muncul pola-pola yang sama, dimana
pemerintah daerah mengatur apa yang seharusnya menjadi urusan pemerintah pusat,
dan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah yang tidak memiliki dasar
hukum yang kuat.
Solusi
Permasalahan di atas tentu menuntut adanya
solusi konkrit untuk menyelesaikannya. Dalam upaya tersebut, setidaknya ada dua
solusi yang dapat diajukan, yaitu solusi jangka pendek dan solusi jangka
panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar