Masa orde baru memiliki porsi besar dalam membentuk kondisi dan
pandangan masyarakat Indonesia terhadap politik. Pada masa orde baru, masyarakat
cenderung dididik untuk tidak banyak ikut campur dalam masalah politik. Hal itu
terlihat dengan munculnya doktrin bahwa politik hanya urusan pejabat elit,
masyarakat hanya bertugas untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Selain itu,
kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan politik, terutama yang bertentangan
dengan rezim penguasa, ditekan habis sampai tidak mampu berkembang dengan baik.
Pendekatan itu kemudian menciptakan masyarakat yang apatis dan cenderung tabu
untuk berbicara perihal politik.
Kondisi tersebut masih sangat terasa pada Orde Reformasi saat ini,
walaupun masyarakatnya sudah lebih memiliki kebebasan dalam bertindak dan
berekspresi. Salah satu faktor yang melanggengkan kondisi masyarakat itu adalah
kondisi dimana politik masih menjadi “mainan” kaum elite, dan lebih diperburuk
lagi dengan politik yang hanya dijadikan media untuk merengkuh kekuasaan
sekelompok orang, tanpa kemudian berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat
banyak.
Alat kekuasaan paling efektif bagi elit untuk berpolitik adalah hukum,
atau dalam hal ini maknanya dipersempit menjadi Undang-undang. Fakta bahwa UU
lebih kental nuansa politik dibandingkan aspek hukum sudah semakin mudah untuk
dibuktikan. Dengan UU para elit (pembentuk UU) dapat menentukan apa saja yang
menjadi kepentingannya, dan UU tersebut kemudian mengikat bagi seluruh
masyarakat Indonesia, sehingga, mau tidak mau, tahu tidak tahu, seluruh
masyarakat harus mengikutinya. Sangat efektif bukan? Oleh karena itu, komponen
pembentukan UU atau legislasi, harus menjadi perhatian serius, baik sebagai
obyek perbaikan, maupun media perbaikan itu sendiri, dari pendidikan politik di
Indonesia.
CATATAN POLITIK LEGISLASI
INDONESIA 2009-2011
Setelah mengetahui pentingnya politik legislasi berdasarkan penjelasan
diatas, tentu perlu untuk melihat pula bagaimana kondisi politik legislasi
Indonesia saat ini? DPR dan Pemerintah yang saat ini menjabat adalah mereka
yang dipilih untuk masa jabatan 2009-2014. Sehingga untuk mengetahui potret
politik legislasi Indonesia yang menggambarkan kondisi kekinian, dapat dilihat
dari capaian kinerja legislasi tahun 2009-2011.
Dalam aspek kuantitas, pada tahun 2010 dan 2011, DPR dan Pemerintah
telah gagal memenuhi target capaian legislasi. Pada tahun 2010 (dimulai dari
akhir tahun 2009) DPR dan Pemerintah berhasil mensahkan 16 UU, dari target 70
UU. Sedangkan pada tahun 2011, yang baru saja usai, hanya dapat diselesaikan 24
UU dari 93 UU yang ditargetkan. Jumlah tersebut hanya berkisar dibawah 25%
setiap tahunnya.
Dari 16 dan 24 UU yang dihasilkan pada tahun 2009-2010 dan 2011, 12 UU
diantaranya adalah UU yang sifatnya kumulatif terbuka, atau diluar perencanaan
awal (seperti UU APBN dan UU ratifikasi perjanjian internasional). Sehingga UU
yang masuk dalam perencanaan awal ada sebanyak 28 UU, yang terdiri dari 12 UU
mengatur bidang politik, hukum, dan HAM; 6 UU bidang Ekonomi; dan 10 UU bidang
sosial dan bidaya. Dari data diatas terlihat bahwa dalam dua tahun terakhir
politik atau kepentingan DPR dan Pemerintah lebih menjadikan regulasi dalam
bidang politik, hukum, dan dan HAM sebagai prioritas dibanding bidang ekonomi
dan sosial-budaya. Padahal apabila melihat Rancangan Kerja Pemerintah (RKP)
tahun 2010 dan 2011 lebih mengarah kepada peningkatan perekonomian dan
investasi.
Dari data diatas terlihat bahwa politik legislasi DPR dan Pemerintah
dilaksanakan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat, sehingga dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa DPR dan Pemerintah sebenarnya memiliki
kepentingan lain dalam menggerakan legislasi, diluar perencanaan yang telah
ditetapkan.
Dalam aspek kuantitas diatas memang belum dapat terlihat dengan jelas
gambaran politik legislasi yang dimaksud. Namun aspek kuantitas ini merupakan
awal untuk mengetahui aspek kualitas, yang akan memperlihatkan lebih jelas
gambaran dari politik legislasi tahun 2009-2011. Dalam aspek kualitas
setidaknya ada dua hasil analisa yang mengemuka dari capaian legislasi 2010 dan
2011.
Analisa Pertama, adanya
kecenderungan UU yang dihasilkan memperbesar wewenang DPR dan Pemerintah, tidak
hanya dalam arti kelembagaan tetapi juga partai politik dibelakangnya.
Ironisnya perbesaran kewenangan tersebut tidak berada dalam tataran sistem
ketatanegaraan yang baik, sehingga cenderung terlihat memperbesar di satu sisi
namun memperlemah disisilainnya. Bahkan kerap bertentangan pula dengan
kepentingan masyarakat secara umum, yang seharusnya menjadi poin utama dalam
pembahasan RUU tersebut.
Contoh
UU dalam hal ini adalah seperti ketentuan dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu perihal keanggotaan penyelenggara pemilu
yang boleh dari unsur partai politik (untuk ketentuan ini sudah dinyatakan
inkonstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi). Selain itu, dalam ketentuan
UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan dari UU Mahkamah Konstitusi mengatur
bahwa anggota dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi salah satunya berasal
dari DPR. Serta dalam UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur bahwa jumlah calon pimpinan
Komisi Yudisial yang diserahkan kepada DPR oleh Panitia Seleksi sebanyak 21
(dua puluh satu) orang, atau 3 (tiga) kali jumlah yang dibutuhkan. Padahal pada
UU sebelumnya, jumlahnya hanya 14 (empat belas) orang, atau 2 (dua) kali jumlah
yang dibutuhkan. Dengan semakin banyaknya calon Pimpinan Komisi Yudisial yang
diseleksi oleh DPR, maka akan semakin kental nuansa politik kepentingan dalam tubuh
Pimpinan Komisi Yudisial, dan sebaliknya memperkecil peran Panitia Seleksi yang
menyeleksi calon justru dari aspek terpenting, yaitu integritas, kemampuan, dan
kepemimpinan.
Analisa Kedua adalah terkait dengan tidak konsistennya
pembentuk UU dalam melaksanakan komitmen untuk melakukan moratorium dalam
pembentukan komisi atau lembaga baru. Ada beberapa UU capaian tahun 2010 dan
2011, yang masih memunculkan usulan untuk membentuk komisi atau lembaga baru,
baik yang akhirnya terbentuk ataupun kandas dalam pembahasan. Contohnya UU
Holtikultura, UU Bantuan Hukum, UU Rumah Susun, UU Pencegahan dan Pembalakan
Liar, dan UU Pengelolaan Zakat.
Munculnya lembaga baru cenderung akan lebih dimanfaatkan
sebagai sarana pembagian kekuasaan, karena tim seleksi anggota lembaga tersebut
berada dibawah Pemerintah langsung, atau melaluai seleksi di DPR. Selain itu, kemunculan
usul tersebut bukan hanya sekedar melanggar komitmen dalam pelaksanaan
moratorium pembentukan komisi atau lembaga baru, tetapi juga dalam praktiknya
kerap menyebabkan deadlock dalam
pembahasan RUU, karena kedua belah pihak (DPR dan Pemerintah) berbeda pendapat.
Uniknya dalam hal ini, keseluruhan UU (tahun 2011) yang mengusulkan adanya
komisi atau lembaga baru merupakan usul inisiatif dari DPR.
Dari analisa diatas dapat diketahui bahwa politik
legislasi DPR dan Pemerintah pada tahun 2010 dan 2011 lebih cenderung kepada
memperbesar wewenangnya, baik dengan cara mengatur langsung dalam UU atau
membuat lembaga atau komisi baru. Perbesaran wewenang itu tidak disertai dengan
mekanisme pengawasan yang baik dari lembaga lain, sehingga potensi terjadinya abuse of power sangat besar. Dilain
sisi, politik legislasi ini jelas jauh dari kepentingan masyarakat luas, karena
tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat itu sendiri.
KESIMPULAN
Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini dalam bidang politik
adalah kembali memberikan pemahaman bahwa politik bukan hanya milik para elit,
tetapi masyarakat dari semua kalangan, sehingga kesan tabu dan apatis terhadap
politik akan terus memudar.
Untuk mencapainya, salah satu komponen yang dapat digunakan adalah
bidang legislasi, yang dari uraian diatas terbukti dapat memperlihatkan
gambaran politik di Indonesia. Dalam hal pendidikan politik, politik legislasi
dapat dijadikan obyek perbaikan, sekaligus media dalam mencapai harapan diatas.
Sebagai obyek perbaikan karena pada saat ini proses legislasi masih belum
transparan, akuntabel, dan partisipatif. Dengan terpenuhinya ketiga hal itu,
legislasi baru kemudian dapat mejadi media dalam pelaksanaan pendidikan politik
kepada masyarakat Indonesia.
gambar ilustrasi: http://sdhimas.blogspot.com/2013/08/dilema-antar-kepentingan-individu-dan.html
gambar ilustrasi: http://sdhimas.blogspot.com/2013/08/dilema-antar-kepentingan-individu-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar