Selasa, 10 Januari 2012

POLITIK LEGISLASI SEBAGAI KOMPONEN MENDASAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK DI INDONESIA

Perkembangan politik di Indonesia tentu banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah perkembangan bangsa ini. Sejarah bagaimana dari masa ke masa, politik Indonesia memiliki warna dan ciri khasnya sendiri, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi. Selain itu, perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat Indonesia saat itu.
Masa orde baru memiliki porsi besar dalam membentuk kondisi dan pandangan masyarakat Indonesia terhadap politik. Pada masa orde baru, masyarakat cenderung dididik untuk tidak banyak ikut campur dalam masalah politik. Hal itu terlihat dengan munculnya doktrin bahwa politik hanya urusan pejabat elit, masyarakat hanya bertugas untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Selain itu, kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan politik, terutama yang bertentangan dengan rezim penguasa, ditekan habis sampai tidak mampu berkembang dengan baik. Pendekatan itu kemudian menciptakan masyarakat yang apatis dan cenderung tabu untuk berbicara perihal politik.
Kondisi tersebut masih sangat terasa pada Orde Reformasi saat ini, walaupun masyarakatnya sudah lebih memiliki kebebasan dalam bertindak dan berekspresi. Salah satu faktor yang melanggengkan kondisi masyarakat itu adalah kondisi dimana politik masih menjadi “mainan” kaum elite, dan lebih diperburuk lagi dengan politik yang hanya dijadikan media untuk merengkuh kekuasaan sekelompok orang, tanpa kemudian berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat banyak.
Alat kekuasaan paling efektif bagi elit untuk berpolitik adalah hukum, atau dalam hal ini maknanya dipersempit menjadi Undang-undang. Fakta bahwa UU lebih kental nuansa politik dibandingkan aspek hukum sudah semakin mudah untuk dibuktikan. Dengan UU para elit (pembentuk UU) dapat menentukan apa saja yang menjadi kepentingannya, dan UU tersebut kemudian mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga, mau tidak mau, tahu tidak tahu, seluruh masyarakat harus mengikutinya. Sangat efektif bukan? Oleh karena itu, komponen pembentukan UU atau legislasi, harus menjadi perhatian serius, baik sebagai obyek perbaikan, maupun media perbaikan itu sendiri, dari pendidikan politik di Indonesia.

CATATAN POLITIK LEGISLASI INDONESIA 2009-2011
Setelah mengetahui pentingnya politik legislasi berdasarkan penjelasan diatas, tentu perlu untuk melihat pula bagaimana kondisi politik legislasi Indonesia saat ini? DPR dan Pemerintah yang saat ini menjabat adalah mereka yang dipilih untuk masa jabatan 2009-2014. Sehingga untuk mengetahui potret politik legislasi Indonesia yang menggambarkan kondisi kekinian, dapat dilihat dari capaian kinerja legislasi tahun 2009-2011.
Dalam aspek kuantitas, pada tahun 2010 dan 2011, DPR dan Pemerintah telah gagal memenuhi target capaian legislasi. Pada tahun 2010 (dimulai dari akhir tahun 2009) DPR dan Pemerintah berhasil mensahkan 16 UU, dari target 70 UU. Sedangkan pada tahun 2011, yang baru saja usai, hanya dapat diselesaikan 24 UU dari 93 UU yang ditargetkan. Jumlah tersebut hanya berkisar dibawah 25% setiap tahunnya.
Dari 16 dan 24 UU yang dihasilkan pada tahun 2009-2010 dan 2011, 12 UU diantaranya adalah UU yang sifatnya kumulatif terbuka, atau diluar perencanaan awal (seperti UU APBN dan UU ratifikasi perjanjian internasional). Sehingga UU yang masuk dalam perencanaan awal ada sebanyak 28 UU, yang terdiri dari 12 UU mengatur bidang politik, hukum, dan HAM; 6 UU bidang Ekonomi; dan 10 UU bidang sosial dan bidaya. Dari data diatas terlihat bahwa dalam dua tahun terakhir politik atau kepentingan DPR dan Pemerintah lebih menjadikan regulasi dalam bidang politik, hukum, dan dan HAM sebagai prioritas dibanding bidang ekonomi dan sosial-budaya. Padahal apabila melihat Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 dan 2011 lebih mengarah kepada peningkatan perekonomian dan investasi.
Dari data diatas terlihat bahwa politik legislasi DPR dan Pemerintah dilaksanakan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat, sehingga dengan kata lain dapat dikatakan bahwa DPR dan Pemerintah sebenarnya memiliki kepentingan lain dalam menggerakan legislasi, diluar perencanaan yang telah ditetapkan.
Dalam aspek kuantitas diatas memang belum dapat terlihat dengan jelas gambaran politik legislasi yang dimaksud. Namun aspek kuantitas ini merupakan awal untuk mengetahui aspek kualitas, yang akan memperlihatkan lebih jelas gambaran dari politik legislasi tahun 2009-2011. Dalam aspek kualitas setidaknya ada dua hasil analisa yang mengemuka dari capaian legislasi 2010 dan 2011.
Analisa Pertama, adanya kecenderungan UU yang dihasilkan memperbesar wewenang DPR dan Pemerintah, tidak hanya dalam arti kelembagaan tetapi juga partai politik dibelakangnya. Ironisnya perbesaran kewenangan tersebut tidak berada dalam tataran sistem ketatanegaraan yang baik, sehingga cenderung terlihat memperbesar di satu sisi namun memperlemah disisilainnya. Bahkan kerap bertentangan pula dengan kepentingan masyarakat secara umum, yang seharusnya menjadi poin utama dalam pembahasan RUU tersebut.
Contoh UU dalam hal ini adalah seperti ketentuan dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu perihal keanggotaan penyelenggara pemilu yang boleh dari unsur partai politik (untuk ketentuan ini sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi). Selain itu, dalam ketentuan UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan dari UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa anggota dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi salah satunya berasal dari DPR. Serta dalam UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur bahwa jumlah calon pimpinan Komisi Yudisial yang diserahkan kepada DPR oleh Panitia Seleksi sebanyak 21 (dua puluh satu) orang, atau 3 (tiga) kali jumlah yang dibutuhkan. Padahal pada UU sebelumnya, jumlahnya hanya 14 (empat belas) orang, atau 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan. Dengan semakin banyaknya calon Pimpinan Komisi Yudisial yang diseleksi oleh DPR, maka akan semakin kental nuansa politik kepentingan dalam tubuh Pimpinan Komisi Yudisial, dan sebaliknya memperkecil peran Panitia Seleksi yang menyeleksi calon justru dari aspek terpenting, yaitu integritas, kemampuan, dan kepemimpinan.
Analisa Kedua adalah terkait dengan tidak konsistennya pembentuk UU dalam melaksanakan komitmen untuk melakukan moratorium dalam pembentukan komisi atau lembaga baru. Ada beberapa UU capaian tahun 2010 dan 2011, yang masih memunculkan usulan untuk membentuk komisi atau lembaga baru, baik yang akhirnya terbentuk ataupun kandas dalam pembahasan. Contohnya UU Holtikultura, UU Bantuan Hukum, UU Rumah Susun, UU Pencegahan dan Pembalakan Liar, dan UU Pengelolaan Zakat.
Munculnya lembaga baru cenderung akan lebih dimanfaatkan sebagai sarana pembagian kekuasaan, karena tim seleksi anggota lembaga tersebut berada dibawah Pemerintah langsung, atau melaluai seleksi di DPR. Selain itu, kemunculan usul tersebut bukan hanya sekedar melanggar komitmen dalam pelaksanaan moratorium pembentukan komisi atau lembaga baru, tetapi juga dalam praktiknya kerap menyebabkan deadlock dalam pembahasan RUU, karena kedua belah pihak (DPR dan Pemerintah) berbeda pendapat. Uniknya dalam hal ini, keseluruhan UU (tahun 2011) yang mengusulkan adanya komisi atau lembaga baru merupakan usul inisiatif dari DPR.
Dari analisa diatas dapat diketahui bahwa politik legislasi DPR dan Pemerintah pada tahun 2010 dan 2011 lebih cenderung kepada memperbesar wewenangnya, baik dengan cara mengatur langsung dalam UU atau membuat lembaga atau komisi baru. Perbesaran wewenang itu tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang baik dari lembaga lain, sehingga potensi terjadinya abuse of power sangat besar. Dilain sisi, politik legislasi ini jelas jauh dari kepentingan masyarakat luas, karena tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat itu sendiri.

KESIMPULAN
Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini dalam bidang politik adalah kembali memberikan pemahaman bahwa politik bukan hanya milik para elit, tetapi masyarakat dari semua kalangan, sehingga kesan tabu dan apatis terhadap politik akan terus memudar.
Untuk mencapainya, salah satu komponen yang dapat digunakan adalah bidang legislasi, yang dari uraian diatas terbukti dapat memperlihatkan gambaran politik di Indonesia. Dalam hal pendidikan politik, politik legislasi dapat dijadikan obyek perbaikan, sekaligus media dalam mencapai harapan diatas. Sebagai obyek perbaikan karena pada saat ini proses legislasi masih belum transparan, akuntabel, dan partisipatif. Dengan terpenuhinya ketiga hal itu, legislasi baru kemudian dapat mejadi media dalam pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia.

gambar ilustrasi: http://sdhimas.blogspot.com/2013/08/dilema-antar-kepentingan-individu-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar