Pembahasan Rancangan
Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi sudah memasuki masa sidang ketiga. Komisi
X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bersama Badan Musyawarah, sebelumnya telah mengagendakan
pengesahan RUU ini pada Rapat Paripurna 4 April 2012. Namun, dalam Rapat
Paripurna tersebut agenda pengesahan RUU Penduidikan Tinggi ditunda satu
minggu, menjadi 10 April 2012.
Dalam pernyataannya kepada
wartawan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Djoko Santoso, menyatakan bahwa
penundaan hanya karena ada masalah teknis dalam pembahasaan, sinkronisasi dan
harmonisasi pasal-pasal dalam draft RUU.[1]
Namun, pada hari yang sama Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung
Laksono, menyatakan bahwa penundaan tersebut karena memang ada perubahan dalam
RUU Pendidikan Tinggi, karena pembahasan antara DPR dan Pemerintah masih
berlangsung.[2]
Perbedaan argumentasi terkait
dengan penundaan pengesahan ini tentu mengundang pertanyaan tentang apa yang
sebenarnya terjadi dibalik pembahasan RUU tersebut. Tidak transparannya proses
pembahasan selama ini kian menambah kecurigaan masyarakat akan adanya agenda
tersembunyi dalam pembahasan RUU ini.
Draft RUU Pendidikan Tinggi
terbaru yang akan menjadi bahan pembahasan dalam Rapat Kerja Komisi X DPR
dengan Pemerintah, 5 April 2012, adalah draft per-4 April 2012. Draft ini
memang mengalami perubahan, terutama terkait dengan konsep otonomi perguruan
tinggi dan pembiayaannya. Perubahan ini dianggap telah mengakomodir keinginan
masyarakat yang dari awal menolak pengsahan RUU Pendidikan Tinggi.
Setelah melakukan kajian dan
pendalaman terhadap draft terbaru tersebut, nampaknya argumentasi diatas sulit
untuk dibuktikan, dan lebih dirasakan bermanfaat untuk meredam gelombang
penolakan dari masyarakat. Ada lima alasan yang mendasari anggapan itu, yaitu
sebagai berikut,
Pertama, perubahan ketentuan dalam Pasal 77 RUU Pendidikan Tinggi,
draft 17 Maret 2012, yang mengatur tentang tiga pola pengelolaan perguruan
tinggi, menjadi konsep PTN dan PTS dalam Pasal 67 RUU Pendidikan Tinggi, draft
4 April 2012 hanya dilakukan dalam hal peristilahan saja. Akibatnya secara
konsep pelaksanaan, peluang untuk adanya PTN berbadan hukum masih terbuka.
Dari awal jelas bahwa konsep
pembedaan PTN dan PTS diusung agar tidak ada peluang bagi PTN untuk memiliki
badan hukum, karena pada hakikatnya isitilah PTN adalah bagian dari negara
(dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Penggunaan istilah “PTN”
yang berbadan hukum dalam hal ini jelas merujuk kepada status BHMN, sehingga
makna dan konsep utuh dari PTN justru menghilang. Oleh karena itu, penggunaan
istilah “PTN” dalam RUU Pendidikan Tinggi tidak lebih dari hanya penggunaan
istilah tanpa mengadaptasi konsep secara keseluruhan. Perubahan seperti ini
sering timbul dalam pembentukan undang-undang karena perubahan pasal dilakukan
secara parsial.
Kedua, konsepsi dalam RUU Pendidikan Tinggi perlu diakui tidak
seluruhnya buruk, ada pula pasal yang memiliki pengaturan yang baik. Namun, tentu
kelak pelaksanaan dari Undang-undang ini tidak akan dilaksankan secara sebagian,
yang hanya ketentuan baik-baiknya saja. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang
dianggap baik pun belum tentu akan membawa perubahan terhadap praktik yang
berjalan. Salah satu ketentuan yang selalu menjadi andalan bagi DPR dan
Pemerintah untuk mempromosikan RUU Pendidikan Tinggi adalah jaminan terhadap
mahasiswa yang kurang mampu untuk berkuliah karena ada mekanisme beasiswa,
sehingga semua warga negara dapat berkuliah dengan dikenakan biaya sesuai
kemampuan (Pasal 75 Draft RUU Pendidikan Tinggi, versi 4 April 2012).
Ternyata konsep tersebut sudah
ada dari tahun 2003, yaitu dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c UU Sisdiknas diatur bahwa “setiap peserta didik dalam setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya
tidak mampu membiayai pendidikannya”, sedangkan dalam huruf d Pasal yang
sama disebutkan bahwa “setiap peserta
didik dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi
mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.
Dua ketentuan dalam UU Sisdiknas
diatas menunjukan bahwa konsep beasiswa dan keringanan biaya itu bukan konsep
baru dalam RUU Pendidikan Tinggi. Sehingga apabila selama ini belum terlaksana,
berarti permasalahan utamanya bukanlah pada peraturan setingkat undang-undang,
tetapi pada peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, dengan disahkannya RUU
Pendidikan Tinggi berpotensi hanya mengulangi kesalahan yang sama.
Ketiga, kebutuhan akan pembentukan peraturan pemerintah untuk
penyelenggaraan pendidikan tinggi memang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (3) UU
Sisdiknas. Hal itupun sudah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan. Namun PP 66/2010 ini mendapatkan tentangan dari sebagian kelompok
masyarakat, terutama terkait dengan ketentuan mengenai kewajiban 7 perguruan
tinggi BHMN untuk mengubah pengelolaan keuangannya menjadi Badan Layanan Umum
(BLU).
Tentangan ini terus bergulir
seperti bola salju sehingga menciptakan gerakan yang besar. Gerakan ini seakan
mendapatkan jalan ketika mengetahui bahwa DPR, melalui Komisi X, memiliki
agenda untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang tata kelola
pendidikan tinggi. Dalam kondisi tersebut 7 BHMN sepakat untuk menunda
penyesuaian sistem pengelolaan keuangan menjadi BLU sampai batas waktu
maksimal, 31 Desember 2012, berakhir. Selain itu juga mendukung pembentukan RUU
Pendidikan Tinggi untuk mengatur “konsep tandingan” dari PP 66/2010.[3]
Dari uraian diatas terlihat bahwa
dukungan terhadap RUU Pendidikan Tinggi tidak bisa dilepaskan dari tentangan
terhadap pengaturan dalam PP 66/2010. Hal ini jelas perlu untuk dikritisi
karena tidak bisa kemudian pembentukan suatu undang-undang didasarkan kepada
kebutuhan kelompok tertentu yang tidak sepakat dengan konsep dari peraturan lain.
Pembentukan suatu undang-undang haruslah mempertimbangkan ketentuan materi
muatannya, yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, yaitu,
1. pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. perintah
suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3. pengesahan perjanjian internasional
tertentu;
4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi; dan/atau
5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat.
Keempat, tidak perlunya substansi pengaturan dalam RUU Pendidikan
Tinggi untuk diatur dalam bentuk undang-undang pun terbukti dalam Draft per- 4
April 2012. Dari sebelas Bab yang diatur, sembilan diantaranya sudah diatur
dalam ketentuan lain, baik dalam UU Sisdiknas, PP No. 17 Tahun 2010, atau PP
No. 66 Tahun 2010. Sisanya, dua Bab, mengatur tentang sanksi adminisrasi dan
sanksi pidana yang memang tidak bisa diatur dalam peraturan setingkat PP. Data
ini menunjukan bahwa apabila RUU ini tidak jadi disahkan, tidak ada aspek dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang akan mengalami kekosongan hukum
Kelima, selain permasalahan substansi, RUU Pendidikan Tinggi juga bertentangan
dengan UUD 1945, yaitu Pasal 31 ayat (3), yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk
mengusahakan dan menyelenggarakan (hanya) satu sistem pendidikan nasional.
Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa makna dari “satu sistem pendidikan
nasional” adalah an integrated system of education, bukan a uniform
system of education. Untuk membuat sistem yang terintegrasi tentu perlu
untuk diatur dalam satu undang-undang, dan UU tersebut sudah diatur dalam UU
Sisdiknas. Sehingga apabila RUU Pendidikan Tinggi tetap dipaksanakan untuk
disahkan tentu akan menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan keempat agumentasi diatas, sudah semestinya DPR
dan Pemerintah tidak memaksakan untuk mensahkan RUU Pendidikan Tinggi. Terlebih
karena saat ini tidak ada kekosongan hukum yang mendesak, atau kebutuhan
mendesak terkait dengan pemenuhan hak asasi warga negara. Selain itu, DPR dan
Pemerintah pun tidak perlu ragu apabila memang akan mengurungkan niatnya untuk
mengesahkan RUU ini, karena sudah ada preseden untuk hal tersebut, yaitu
dilakukan oleh Komisi V yang membatalkan pembahasan RUU
revisi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dan menganggap permasalahan
dapat diselesaikan dalam peraturan tingkat Peraturan Pemerintah.
[1] http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/04/11010476/Kemdikbud.Penundaan.Pengesahan.RUU.PT.
karena.Masalah.Teknis, diakses pada
tanggal 4 April 2012
[2] http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/04/2259544/Agung.Laksono.Jawab.Kekhawatiran.soal.RUU.PT, diakses pada tanggal 5 April 2012
[3] Sikap dari 7 perguruang tinggi BHMN itu tercatat dalam
hasil kesepakatan pertemuan 7 BHMN, baik yang dilaksanakan di IPB (21 Desember
2010), maupun di UI (1 Februari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar