“Buanglah sampah pada tempatnya” ungkapan ini sebenarnya tepat untuk
menggambarkan perdebatan yang terjadi dalam pembahasan Rancangan Undang-undang
Pendidikan Tinggi (RUU Dikti) saat ini. Tanpa bermaksud fokus pada kata “sampah”,
tetapi ungkapan ini berusaha untuk menyampaikan bahwa sesuatu harus ditempatkan
pada tempatnya, agar tercipta suasana yang rapi, tertata, dan teratur dengan
baik.
Substansi pembahasan utama dalam RUU Dikti adalah terkait dengan
pemberian status badan hukum terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang
kemudian berkembang menjadi pembahasan multisektor, seperti penglolaan keuangan,
otonomi perguruan tinggi, sampai urusan menyangkut
subyek hukum lain (dosesn, pekerja, dan mahasiswa).
Perdebatan mengenai status badan hukum pada PTN bukan hal baru, dari
awal masuknya ke dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, 1999, hal ini
menuai pro dan kontra. Kondisi ini sangat bisa dimengerti karena perdebatan melibatkan
dua pemikiran yang memiliki cara pandang dan prinsip berbeda. Namun, hal ini
bukan menjadi alasan kemudian satu pihak memaksakan kehendaknya, atau bahkan menghentikan
perdebatannya sama sekali. Pembahasan mengenai badan hukum dalam PTN harus
terus berjalan dalam tataran akademik, sampai kemudian pemegang kebijakan
memutuskan mana yang akan dijalankan oleh negara ini.
Ketika sudah masuk dalam ruang kebijakan (peraturan), maka yang
bergerak sudah tidak lagi murni perdebatan akademik, tetapi sudah masuk dalam ruang
politik. Siapapun boleh berpolitik, tetapi tentu dengan aturan main dan etika tetap
dijaga. Selain itu, berbicara peraturan juga bukan hanya aspek substansinya
saja yang melekat, tetapi ada aspek formil peraturan perundang-undangan yang
juga penting untuk diperhatikan. Suatu peraturan perundang-undangan (termasuk
undang-undang) harus dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Begitupun dalam pembahasan mengenai RUU Dikti. Dalam Pasal 5 huruf c UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan
bahwa salah satu dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
adalah “kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan”. Bisa dikatakan bahwa asas ini merupakan
yang paling bisa terukur pemenuhannya dibanding enam asas lainnya.
Munculnya
asas kesesuain antara jenis, hirearki, dan materi muatan adalah cerminan
dari adanya pembagian kekuasaan di Indonesia, yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Masing-masing dari cabang kekuasaan itu memiliki kewenangan dalam
membentuk peraturan, walaupun dengan jenis, fungsi, hirearki dan materi muatan
yang berbeda. Sehingga asas ini yang kemudian berfungsi sebagai penjaga agar
tidak terjadi pelaksanaan kewenangan yang berlebihan (abuse of power), terutama antara legislatif (DPR) dan eksekutif
(Pemerintah).
Lalu bagaimana dengan RUU Dikti? Jenis dari peraturan perundangan ini
adalah “undang-undang”, sedangkan hirearki dari undang-undang adalah berada dibawah
UUD 1945 (dan TAP MPR) serta diatas Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 7 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 2011). Dari dua unsur awal diatas, RUU Dikti sudah dapat
teridentifikasi, namun masih ada satu unsur lainnya, yaitu materi muatan. Dalam
Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 mengatur materi muatan dari
undang-undang, yang terdiri dari:
a.
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
b.
perintah suatu Undang-undang untuk diatur dengan
Undang-Undang;
c.
pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
d.
tindak
lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.
pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa substansi
dari RUU Dikti harus berasal dari salah satu atau lebih materi muatan diatas.
Tanpa harus berpanjang lebar menjelaskan seluruh materi muatan diatas,
langsung saja masuk pada satu poin materi muatan yang juga akan menjelaskan
dimana sebenarnya perdebatan terkait dengan status badan hukum PTN harus
ditempatkan. Poin materi muatan yang dimaksud adalah poin b “perintah suatu
Undang-undang untuk diatur dengan Undang-Undang”.
Status badan hukum PTN merupakan bagian dari gambaran besar mengenai
pengelolaan pendidikan tinggi. Gambaran besar ini sudah diatur dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahkan pengaturannya khusus
berada dalam satu Bagian tersendiri, yaitu Bab VI Bagian Keempat. Penempatan secara
khusus ini menggambarkan bahwa memang pendidikan tinggi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional secara keseluruhan, yang juga
merupakan amanat dari Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.
Dalam Bagian tentang Pendidikan Tinggi tersebut, salah satu pasalnya mengatur
terkait dengan pemberian kewenangan delegasi kepada peraturan lain terkait hal
yang lebih spesifik, yaitu pengelolaan pendidikan tinggi. Pasal yang dimaksud
adalah Pasal 24 ayat (4) UU Sisdiknas, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.”. Pasal ini jelas mengatur dimana pengaturan mengenai
penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk mengenai status badan hukum PTN ada
didalamnya, harus ditempatkan. Ternyata pengaturan itu merupakan materi muatan
dari peraturan pemerintah, bukan undang-undang.
Di
sisi lain, Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan pendidikan tinggi pun
sebenarnya sudah ada, yaitu Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yang sempat direvisi dalam Peraturan
Pemerintah No. 66 Tahun 2010, karena adanya Putusan MK yang menyatakan UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.
Kondisi
ini tentu membingungkan, kenapa sudah ada PP yang mengatur, tetapi DPR masih
saja mengusulkan untuk membentuk RUU Pendidikan Tinggi. Alasannya adalah karena
PP No. 66 Tahun 2010 ini mengatur bahwa PTN yang sebelumnya bergelar Badan Hukum
Milik Negara (BHMN) harus berubah kembali menjadi satuan kerja Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan paling lambat pada akhir tahun 2012. Pilihan
kebijakan inilah yang kemudian menuai penolakan dari sekelompok masyarakat,
yang masih menginginkan adanya status badan hukum dalam PTN (dalam hal ini
BHMN). Sehingga sebelum PP No. 66 Tahun 2010 berlaku efektif (akhir tahun 2012)
maka harus ada “perlawanan” terhadap kebijakan tersebut.
Melakukan
“perlawanan” terhadap kebijakan adalah hal yang lumrah dan halal, bahkan seharusnya
semua warga negara paham atas semua kebijakan, dan mempunyai daya untuk
melakukan “perlawanan” apabila melanggar haknya sebagai warga negara. Namun,
bagaimana cara melakukannya yang harus diluruskan. Dalam melawan kebijakan PP
No. 66 Tahun 2010 ini ternyata dipilih cara membentuk peraturan tandingan,
yaitu dengan undang-undang. Langkah inilah yang salah, karena PP dan undang-undang
mempunyai jenis, hirearki, dan materi muatan yang berbeda. Selain itu, yang
paling krusial adalah pemegang kewenangan pembentukan kedua peraturan itu adalah
dua cabang kekuasaan yang berbeda. Belum lagi ditambah dengan RUU Dikti yang
jelas-jelas bertentang dengan UU Sisdiknas.
Selain
batas waktu efektif perubahan status BHMN dalam PP No. 66 Tahun 2010, perlu
diperhatikan pula bahwa saat ini Komisi X DPR, sebagai alat kelengkapan yang
membentuk RUU Dikti belum sama sekali menghasilkan undang-undang semenjak lebih
dari dua tahun masa jabatannya. Hal ini pula yang perlu dianggap, baik langsung
atau tidak langsung, mempengaruhi “semangat” untuk segera mensahkan RUU Dikti.
Langkah
untuk membentuk RUU Dikti sebagai pilihan kebijakan dalam memayungi status badan
hukum PTN adalah pilihan yang tidak bijak dan dipaksakan. DPR yang kemudian
memaksakan ingin segera mengesahkan RUU Dikti telah bersifat arogan, dan abuse of power. Namun sayangnya
Pemerintah pun tidak memiliki daya lebih untuk melawan arogansi DPR dan para
elit yang juga bermain dibalik kepentingan ini. Pemerintah kemudian hanya bisa
mengundur-undur waktu, boleh jadi sampai PP No. 66 Tahun 2010 dapat berlaku,
karena jelas mereka pun ingin dihormati akan kebijakannya sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif.
Bagi
masyarakat, baik Dosen, Pekerja, mahasiswa, atau para pemerhati pendidikan, yang
ikut memperbincangkan isu ini, sudah saatnya untuk mengembalikan perdebatan
tentang status badan hukum PTN ini pada tempatnya, dan tolak RUU Dikti sebagai
payung kebijakan. Agar tidak terjebak dalam pengalihan kepentingan, yang akan
berdampak kepada permasalahan hukum baru dikemudian hari. Oleh karena itu, menjadi relevan saat ini untuk mempertanyakan
kembali sikap kita masing-masing, dengan bertanya “sudahkah anda membuang
sampah pada tempatnya?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar