Senin, 16 April 2012

Siaran Pers PSHK Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang III Tahun Sidang 2011-2012


4 Temuan Di Bagian Awal Tahun Legislasi:
Masih Berkutat di Faktor yang Sama



Masa Sidang III DPR Tahun Sidang 2011-2012 resmi ditutup pada 12 April 2012. Ketua DPR Marzuki Alie saat pembukaan Masa Sidang III 9 Januari 2012, menyatakan bahwa 2012 adalah tahun legislasi bagi DPR. Seruan ini jelas bukan main-main karena disampaikan langsung dalam Rapat Paripurna. Selain itu, seruan ini juga bukan tanpa dasar, karena sudah lebih dari dua tahun masa kerja DPR periode 2009-2014, kinerja legislasi masih bermasalah, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Dalam hal kuantitas, di masa sidang yang berjalan selama 67 hari kerja ini, DPR berhasil menetapkan 5 (lima) RUU menjadi UU, yang terdiri dari 3 (tiga) UU kumulatif terbuka dan 2 (dua) UU non-kumulatif. Kelima Undang-undang itu adalah:
1.        UU Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran;
2.        UU Ratifikasi Konvensi Asean mengenai Pemberantasan Terorisme;
3.        UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012;
4.        UU Penanganan Konflik Sosial; dan
5.        UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Selain itu, dalam Masa Sidang III ini juga DPR telah menetapkan lima RUU sebagai usul inisiatif, yaitu:
1.        RUU tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2.        RUU tentang Mahkamah Agung;
3.        RUU tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
4.        RUU tentang Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Pembekalan Kesehatan Rumah Tangga; dan
5.        RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.

Sedangkan Pemerintah juga mengajukan tiga RUU usul inisiatif, yaitu RUU tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dan RUU tentang Desa.

Capaian yang minim dalam Masa Sidang III ini sebenarnya sudah dikonfirmasi langsung oleh Ketua DPR. Namun masih ada catatan lain yang perlu PSHK kemukakan, terutama dalam melihat aspek kualitas dari kinerja legislasi DPR. Adapun catatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, pada pemaparan sebelumnya telah disebutkan bahwa baik DPR maupun Pemerintah mengajukan beberapa RUU usul inisiatif pada masa sidang ini. Dari segi jumlah, RUU usul inisiatif itu terlihat berimbang (DPR 5 RUU sedangkan Pemerintah 3 RUU). Namun dari segi waktu persiapan pengusulan RUU, Pemerintah lebih lambat dibandingkan dengan DPR. Sebagai contoh, Pemerintah berjanji akan menyerahkan RUU Pemilukada, RUU Pemda, dan RUU Desa kepada DPR sejak pertengahan Juli 2011. Namun akhirnya baru diterima DPR awal tahun ini.

Kedua, adanya ketimpangan beban legislasi yang signifikan dari satu alat kelengkapan dengan alat kelengkapan lain. Sebagai contoh, beban legislasi pada Komisi II, baik sebagian anggota maupun secara keseluruhan, masih menyisakan RUU DIY dan RUU Tentang Aparatur Sipil Negara. Keberadaan RUU Pemda, RUU Desa, dan RUU Pemilukada yang merupakan domain Komisi II, berpotensi menambah beban sebagian atau seluruh anggota Komisi II. Bandingkan (salah satunya) dengan Komisi IX, yang belum menunjukan perkembangan yang signifikan dari target legislasi yang ditetapkan (seperti RUU Tenaga Kesehatan, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, atau RUU Perubahan Atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri).  Akibatnya pembahasan beberapa RUU, seperti RUUK DIY dan RUU Aparatur Sipil Negara, menjadi lama mengendap dan sudah beberapa kali diperpanjang masa pembahasannya.

Tidak berimbang dan tidak meratanya beban legislasi adalah imbas dari desain perencanaan legislasi yang sejak awal sudah bermasalah, yang juga ditambah dengan persoalan postur alat kelengkapan DPR dengan 11 Komisi, dimana masing-masing Komisi dipukul rata berjumlah kurang lebih 50 orang. Jumlah 11 Komisi saat ini lebih karena adanya “warisan” kebijakan dari DPR periode lalu, sedangkan penempatan (anggota di setiap Komisi) sebanyak kurang lebih 50 orang seharusnya tidak dilakukan karena ada beberapa Komisi, seperti Komisi VIII dan IX yang pembidangannya tidak terlampau luas, bisa dibuat lebih sedikit anggotanya.

Ketiga, ada RUU yang pembahasannya mengalami deadlock karena ada perbedaan pendapat yang mendasar antara DPR dan Pemerintah, bahkan sampai saat ini tidak diketahui bagaimana status terakhir pembahasannya. Contohnya RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar oleh Komisi IV. Selain itu, terdapat pembahasan RUU yang memiliki potensi ketersinggungan yang tinggi, bahkan tidak tertutup kemungkinan saling tumpang tindih. Contohnya RUU tentang Koperasi dan RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Keempat, pada ujung periode Masa Sidang III, Komisi X memutuskan untuk menunda pembahasan RUU tentang Pendidikan Tinggi dan RUU tentang Pendidikan Kedokteran. Penundaan berasal dari Pemerintah, dengan alasan ada beberapa substansi kedua RUU yang masih perlu dikoordinasikan secara internal.

Permasalahan dalam penundaan ini adalah timing (pengajuan) penundaan yang dilakukan Pemerintah pada akhir masa pembahasan, yang sudah masuk Masa Sidang III (bahkan sempat harus memperpanjang satu minggu). Kalaupun memang Pemerintah tidak menyepakati sejumlah substansi atau bahkan berkeinginan untuk menolak RUU ini, sudah seharusnya bisa teridentifikasi lebih cepat, dan disampaikan lebih awal. Kejadian ini menggambarkan bahwa Pemerintah masih berkutat dalam permasalahan koordinasi internal.

Dari empat catatan di atas, terbukti belum ada dampak nyata dari seruan Ketua DPR terkait 2012 sebagai tahun legislasi sebagaimana dikemukakan di awal masa sidang. Baik dari sisi Pemerintah dan DPR memiiki kekurangan dalam pengelolaan legislasi. Satu sisi Pemerintah tidak kunjung tegas membenahi soal koordinasi antar instansi, sementara di lain pihak DPR juga tidak strategis dalam membagi alokasi SDM anggota dalam tiap Komisi. Artinya, baik Pemerintah dan DPR sama-sama berkontribusi dalam kualitas legislasi kita.

Selain empat catatan diatas, ada satu langkah DPR yang patut diapresiasi yaitu pada Masa Sidang III ini, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg), telah membentuk Peraturan DPR RI tentang Tata Cara Penyusunan Prolegnas, sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Langkah ini patut mendapat apresiasi karena manunjukan adanya respon yang cepat dalam upaya mengoptimalkan kinerja legislasi DPR. Upaya itu perlu mendapat dukungan dari Pemerintah, yang sampai saat ini belum menghasilkan peraturan yang sama, mengingat kinerja legislasi tidak hanya melibatkan DPR, tapi juga Pemerintah.

Dari paparan di atas, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak agar:

1.        DPR  harus membuat pembagian beban pembahasan RUU menjadi merata di setiap alat kelengkapan (Komisi, Baleg, maupun Panitia Khusus/Pansus). Apabila ada alat kelengkapan yang dihadapkan pada banyak target penyelesaian RUU, maka dilakukan pembagian atau penyesuaian waktu pembahasan, yang tentunya menuntut juga adanya ketepatan waktu dalam menyelesaikannya. Upaya ini dapat dilakukan oleh Pimpinan DPR dan Badan Musyawarah (Bamus) sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 141 Tata Tertib DPR.

2.        DPR dan Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap beragam permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi legislasi, terutama yang terkait dengan skema perencanaan legislasi dan postur alat kelengkapan. Perbaikan itu harus bisa menjadi terobosan baru dan kemudian diakomodir dalam revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (yang sudah direncanakan).

3.        Melakukan evaluasi dan antisipasi terhadap status RUU yang waktu pembahasannya akan melebihi 3 (tiga) kali masa sidang, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR. Dalam hal ini peran Baleg seharusnya lebih dominan, mengingat dalam Pasal 102 ayat (1) huruf g UU No. 27 Tahun 2009, Baleg seharusnya mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan RUU melalui koordinasi dengan Komisi dan/atau Pansus. Upaya ini menghindari adanya pembahasan RUU yang berlarut-larut dan hanya akan menambah beban legislasi yang ada.



Jakarta, 16 April 2012
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Fajri Nursyamsi (Peneliti)

Kamis, 12 April 2012

ANALISA RUU PENDIDIKAN TINGGI: BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA!


“Buanglah sampah pada tempatnya” ungkapan ini sebenarnya tepat untuk menggambarkan perdebatan yang terjadi dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU Dikti) saat ini. Tanpa bermaksud fokus pada kata “sampah”, tetapi ungkapan ini berusaha untuk menyampaikan bahwa sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya, agar tercipta suasana yang rapi, tertata, dan teratur dengan baik.
Substansi pembahasan utama dalam RUU Dikti adalah terkait dengan pemberian status badan hukum terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang kemudian berkembang menjadi pembahasan multisektor, seperti penglolaan keuangan, otonomi perguruan tinggi, sampai urusan  menyangkut subyek hukum lain (dosesn, pekerja, dan mahasiswa).
Perdebatan mengenai status badan hukum pada PTN bukan hal baru, dari awal masuknya ke dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, 1999, hal ini menuai pro dan kontra. Kondisi ini sangat bisa dimengerti karena perdebatan melibatkan dua pemikiran yang memiliki cara pandang dan prinsip berbeda. Namun, hal ini bukan menjadi alasan kemudian satu pihak memaksakan kehendaknya, atau bahkan menghentikan perdebatannya sama sekali. Pembahasan mengenai badan hukum dalam PTN harus terus berjalan dalam tataran akademik, sampai kemudian pemegang kebijakan memutuskan mana yang akan dijalankan oleh negara ini.
Ketika sudah masuk dalam ruang kebijakan (peraturan), maka yang bergerak sudah tidak lagi murni perdebatan akademik, tetapi sudah masuk dalam ruang politik. Siapapun boleh berpolitik, tetapi tentu dengan aturan main dan etika tetap dijaga. Selain itu, berbicara peraturan juga bukan hanya aspek substansinya saja yang melekat, tetapi ada aspek formil peraturan perundang-undangan yang juga penting untuk diperhatikan. Suatu peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang) harus dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Begitupun dalam pembahasan mengenai RUU Dikti. Dalam Pasal 5 huruf c UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa salah satu dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”. Bisa dikatakan bahwa asas ini merupakan yang paling bisa terukur pemenuhannya dibanding enam asas lainnya.
Munculnya asas kesesuain antara jenis, hirearki, dan materi muatan adalah cerminan dari adanya pembagian kekuasaan di Indonesia, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing dari cabang kekuasaan itu memiliki kewenangan dalam membentuk peraturan, walaupun dengan jenis, fungsi, hirearki dan materi muatan yang berbeda. Sehingga asas ini yang kemudian berfungsi sebagai penjaga agar tidak terjadi pelaksanaan kewenangan yang berlebihan (abuse of power), terutama antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah).
Lalu bagaimana dengan RUU Dikti? Jenis dari peraturan perundangan ini adalah “undang-undang”, sedangkan hirearki dari undang-undang adalah berada dibawah UUD 1945 (dan TAP MPR) serta diatas Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011). Dari dua unsur awal diatas, RUU Dikti sudah dapat teridentifikasi, namun masih ada satu unsur lainnya, yaitu materi muatan. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 mengatur materi muatan dari undang-undang, yang terdiri dari:
        a.       pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
        b.      perintah suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
        c.       pengesahan perjanjian internasional tertentu;
        d.      tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
        e.      pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa substansi dari RUU Dikti harus berasal dari salah satu atau lebih materi muatan diatas.
Tanpa harus berpanjang lebar menjelaskan seluruh materi muatan diatas, langsung saja masuk pada satu poin materi muatan yang juga akan menjelaskan dimana sebenarnya perdebatan terkait dengan status badan hukum PTN harus ditempatkan. Poin materi muatan yang dimaksud adalah poin b “perintah suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-Undang”.
Status badan hukum PTN merupakan bagian dari gambaran besar mengenai pengelolaan pendidikan tinggi. Gambaran besar ini sudah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahkan pengaturannya khusus berada dalam satu Bagian tersendiri, yaitu Bab VI Bagian Keempat. Penempatan secara khusus ini menggambarkan bahwa memang pendidikan tinggi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional secara keseluruhan, yang juga merupakan amanat dari Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.
Dalam Bagian tentang Pendidikan Tinggi tersebut, salah satu pasalnya mengatur terkait dengan pemberian kewenangan delegasi kepada peraturan lain terkait hal yang lebih spesifik, yaitu pengelolaan pendidikan tinggi. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 24 ayat (4) UU Sisdiknas, yang mengatur bahwa Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.”. Pasal ini jelas mengatur dimana pengaturan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk mengenai status badan hukum PTN ada didalamnya, harus ditempatkan. Ternyata pengaturan itu merupakan materi muatan dari peraturan pemerintah, bukan undang-undang.
Di sisi lain, Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan pendidikan tinggi pun sebenarnya sudah ada, yaitu Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yang sempat direvisi dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010, karena adanya Putusan MK yang menyatakan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kondisi ini tentu membingungkan, kenapa sudah ada PP yang mengatur, tetapi DPR masih saja mengusulkan untuk membentuk RUU Pendidikan Tinggi. Alasannya adalah karena PP No. 66 Tahun 2010 ini mengatur bahwa PTN yang sebelumnya bergelar Badan Hukum Milik Negara (BHMN) harus berubah kembali menjadi satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan paling lambat pada akhir tahun 2012. Pilihan kebijakan inilah yang kemudian menuai penolakan dari sekelompok masyarakat, yang masih menginginkan adanya status badan hukum dalam PTN (dalam hal ini BHMN). Sehingga sebelum PP No. 66 Tahun 2010 berlaku efektif (akhir tahun 2012) maka harus ada “perlawanan” terhadap kebijakan tersebut.
Melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan adalah hal yang lumrah dan halal, bahkan seharusnya semua warga negara paham atas semua kebijakan, dan mempunyai daya untuk melakukan “perlawanan” apabila melanggar haknya sebagai warga negara. Namun, bagaimana cara melakukannya yang harus diluruskan. Dalam melawan kebijakan PP No. 66 Tahun 2010 ini ternyata dipilih cara membentuk peraturan tandingan, yaitu dengan undang-undang. Langkah inilah yang salah, karena PP dan undang-undang mempunyai jenis, hirearki, dan materi muatan yang berbeda. Selain itu, yang paling krusial adalah pemegang kewenangan pembentukan kedua peraturan itu adalah dua cabang kekuasaan yang berbeda. Belum lagi ditambah dengan RUU Dikti yang jelas-jelas bertentang dengan UU Sisdiknas.
Selain batas waktu efektif perubahan status BHMN dalam PP No. 66 Tahun 2010, perlu diperhatikan pula bahwa saat ini Komisi X DPR, sebagai alat kelengkapan yang membentuk RUU Dikti belum sama sekali menghasilkan undang-undang semenjak lebih dari dua tahun masa jabatannya. Hal ini pula yang perlu dianggap, baik langsung atau tidak langsung, mempengaruhi “semangat” untuk segera mensahkan RUU Dikti.
Langkah untuk membentuk RUU Dikti sebagai pilihan kebijakan dalam memayungi status badan hukum PTN adalah pilihan yang tidak bijak dan dipaksakan. DPR yang kemudian memaksakan ingin segera mengesahkan RUU Dikti telah bersifat arogan, dan abuse of power. Namun sayangnya Pemerintah pun tidak memiliki daya lebih untuk melawan arogansi DPR dan para elit yang juga bermain dibalik kepentingan ini. Pemerintah kemudian hanya bisa mengundur-undur waktu, boleh jadi sampai PP No. 66 Tahun 2010 dapat berlaku, karena jelas mereka pun ingin dihormati akan kebijakannya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

Bagi masyarakat, baik Dosen, Pekerja, mahasiswa, atau para pemerhati pendidikan, yang ikut memperbincangkan isu ini, sudah saatnya untuk mengembalikan perdebatan tentang status badan hukum PTN ini pada tempatnya, dan tolak RUU Dikti sebagai payung kebijakan. Agar tidak terjebak dalam pengalihan kepentingan, yang akan berdampak kepada permasalahan hukum baru dikemudian hari. Oleh karena itu, menjadi relevan saat ini untuk mempertanyakan kembali sikap kita masing-masing, dengan bertanya “sudahkah anda membuang sampah pada tempatnya?”.

Rabu, 04 April 2012

5 ALASAN MENGAPA RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI (TETAP) HARUS DITOLAK


Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi sudah memasuki masa sidang ketiga. Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bersama Badan Musyawarah, sebelumnya telah mengagendakan pengesahan RUU ini pada Rapat Paripurna 4 April 2012. Namun, dalam Rapat Paripurna tersebut agenda pengesahan RUU Penduidikan Tinggi ditunda satu minggu, menjadi 10 April 2012.

Dalam pernyataannya kepada wartawan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Djoko Santoso, menyatakan bahwa penundaan hanya karena ada masalah teknis dalam pembahasaan, sinkronisasi dan harmonisasi pasal-pasal dalam draft RUU.[1] Namun, pada hari yang sama Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, menyatakan bahwa penundaan tersebut karena memang ada perubahan dalam RUU Pendidikan Tinggi, karena pembahasan antara DPR dan Pemerintah masih berlangsung.[2]

Perbedaan argumentasi terkait dengan penundaan pengesahan ini tentu mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dibalik pembahasan RUU tersebut. Tidak transparannya proses pembahasan selama ini kian menambah kecurigaan masyarakat akan adanya agenda tersembunyi dalam pembahasan RUU ini.

Draft RUU Pendidikan Tinggi terbaru yang akan menjadi bahan pembahasan dalam Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Pemerintah, 5 April 2012, adalah draft per-4 April 2012. Draft ini memang mengalami perubahan, terutama terkait dengan konsep otonomi perguruan tinggi dan pembiayaannya. Perubahan ini dianggap telah mengakomodir keinginan masyarakat yang dari awal menolak pengsahan RUU Pendidikan Tinggi.

Setelah melakukan kajian dan pendalaman terhadap draft terbaru tersebut, nampaknya argumentasi diatas sulit untuk dibuktikan, dan lebih dirasakan bermanfaat untuk meredam gelombang penolakan dari masyarakat. Ada lima alasan yang mendasari anggapan itu, yaitu sebagai berikut,

Pertama, perubahan ketentuan dalam Pasal 77 RUU Pendidikan Tinggi, draft 17 Maret 2012, yang mengatur tentang tiga pola pengelolaan perguruan tinggi, menjadi konsep PTN dan PTS dalam Pasal 67 RUU Pendidikan Tinggi, draft 4 April 2012 hanya dilakukan dalam hal peristilahan saja. Akibatnya secara konsep pelaksanaan, peluang untuk adanya PTN berbadan hukum masih terbuka.

Dari awal jelas bahwa konsep pembedaan PTN dan PTS diusung agar tidak ada peluang bagi PTN untuk memiliki badan hukum, karena pada hakikatnya isitilah PTN adalah bagian dari negara (dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Penggunaan istilah “PTN” yang berbadan hukum dalam hal ini jelas merujuk kepada status BHMN, sehingga makna dan konsep utuh dari PTN justru menghilang. Oleh karena itu, penggunaan istilah “PTN” dalam RUU Pendidikan Tinggi tidak lebih dari hanya penggunaan istilah tanpa mengadaptasi konsep secara keseluruhan. Perubahan seperti ini sering timbul dalam pembentukan undang-undang karena perubahan pasal dilakukan secara parsial.

Kedua, konsepsi dalam RUU Pendidikan Tinggi perlu diakui tidak seluruhnya buruk, ada pula pasal yang memiliki pengaturan yang baik. Namun, tentu kelak pelaksanaan dari Undang-undang ini tidak akan dilaksankan secara sebagian, yang hanya ketentuan baik-baiknya saja. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang dianggap baik pun belum tentu akan membawa perubahan terhadap praktik yang berjalan. Salah satu ketentuan yang selalu menjadi andalan bagi DPR dan Pemerintah untuk mempromosikan RUU Pendidikan Tinggi adalah jaminan terhadap mahasiswa yang kurang mampu untuk berkuliah karena ada mekanisme beasiswa, sehingga semua warga negara dapat berkuliah dengan dikenakan biaya sesuai kemampuan (Pasal 75 Draft RUU Pendidikan Tinggi, versi 4 April 2012).

Ternyata konsep tersebut sudah ada dari tahun 2003, yaitu dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c UU Sisdiknas diatur bahwa “setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, sedangkan dalam huruf d Pasal yang sama disebutkan bahwa “setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.

Dua ketentuan dalam UU Sisdiknas diatas menunjukan bahwa konsep beasiswa dan keringanan biaya itu bukan konsep baru dalam RUU Pendidikan Tinggi. Sehingga apabila selama ini belum terlaksana, berarti permasalahan utamanya bukanlah pada peraturan setingkat undang-undang, tetapi pada peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, dengan disahkannya RUU Pendidikan Tinggi berpotensi hanya mengulangi kesalahan yang sama.

Ketiga, kebutuhan akan pembentukan peraturan pemerintah untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi memang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (3) UU Sisdiknas. Hal itupun sudah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun PP 66/2010 ini mendapatkan tentangan dari sebagian kelompok masyarakat, terutama terkait dengan ketentuan mengenai kewajiban 7 perguruan tinggi BHMN untuk mengubah pengelolaan keuangannya menjadi Badan Layanan Umum (BLU).

Tentangan ini terus bergulir seperti bola salju sehingga menciptakan gerakan yang besar. Gerakan ini seakan mendapatkan jalan ketika mengetahui bahwa DPR, melalui Komisi X, memiliki agenda untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang tata kelola pendidikan tinggi. Dalam kondisi tersebut 7 BHMN sepakat untuk menunda penyesuaian sistem pengelolaan keuangan menjadi BLU sampai batas waktu maksimal, 31 Desember 2012, berakhir. Selain itu juga mendukung pembentukan RUU Pendidikan Tinggi untuk mengatur “konsep tandingan” dari PP 66/2010.[3]

Dari uraian diatas terlihat bahwa dukungan terhadap RUU Pendidikan Tinggi tidak bisa dilepaskan dari tentangan terhadap pengaturan dalam PP 66/2010. Hal ini jelas perlu untuk dikritisi karena tidak bisa kemudian pembentukan suatu undang-undang didasarkan kepada kebutuhan kelompok tertentu yang tidak sepakat dengan konsep dari peraturan lain. Pembentukan suatu undang-undang haruslah mempertimbangkan ketentuan materi muatannya, yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, yaitu,
      1.       pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
      2.       perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
      3.       pengesahan perjanjian internasional tertentu;
      4.       tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
      5.       pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Keempat, tidak perlunya substansi pengaturan dalam RUU Pendidikan Tinggi untuk diatur dalam bentuk undang-undang pun terbukti dalam Draft per- 4 April 2012. Dari sebelas Bab yang diatur, sembilan diantaranya sudah diatur dalam ketentuan lain, baik dalam UU Sisdiknas, PP No. 17 Tahun 2010, atau PP No. 66 Tahun 2010. Sisanya, dua Bab, mengatur tentang sanksi adminisrasi dan sanksi pidana yang memang tidak bisa diatur dalam peraturan setingkat PP. Data ini menunjukan bahwa apabila RUU ini tidak jadi disahkan, tidak ada aspek dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang akan mengalami kekosongan hukum

Kelima, selain permasalahan substansi, RUU Pendidikan Tinggi juga bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 31 ayat (3), yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan (hanya) satu sistem pendidikan nasional. Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa makna dari “satu sistem pendidikan nasional” adalah an integrated system of education, bukan a uniform system of education. Untuk membuat sistem yang terintegrasi tentu perlu untuk diatur dalam satu undang-undang, dan UU tersebut sudah diatur dalam UU Sisdiknas. Sehingga apabila RUU Pendidikan Tinggi tetap dipaksanakan untuk disahkan tentu akan menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan keempat agumentasi diatas, sudah semestinya DPR dan Pemerintah tidak memaksakan untuk mensahkan RUU Pendidikan Tinggi. Terlebih karena saat ini tidak ada kekosongan hukum yang mendesak, atau kebutuhan mendesak terkait dengan pemenuhan hak asasi warga negara. Selain itu, DPR dan Pemerintah pun tidak perlu ragu apabila memang akan mengurungkan niatnya untuk mengesahkan RUU ini, karena sudah ada preseden untuk hal tersebut, yaitu dilakukan oleh Komisi V yang membatalkan pembahasan RUU revisi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dan menganggap permasalahan dapat diselesaikan dalam peraturan tingkat Peraturan Pemerintah.



[3] Sikap dari 7 perguruang tinggi BHMN itu tercatat dalam hasil kesepakatan pertemuan 7 BHMN, baik yang dilaksanakan di IPB (21 Desember 2010), maupun di UI (1 Februari 2011)