4 Temuan Di Bagian Awal Tahun Legislasi:
Masih Berkutat di Faktor yang Sama
Masa Sidang III
DPR Tahun Sidang 2011-2012 resmi ditutup pada 12 April 2012. Ketua DPR Marzuki
Alie saat pembukaan Masa Sidang III 9 Januari 2012, menyatakan bahwa 2012
adalah tahun legislasi bagi DPR. Seruan ini jelas bukan main-main karena
disampaikan langsung dalam Rapat Paripurna. Selain itu, seruan ini juga bukan
tanpa dasar, karena sudah lebih dari dua tahun masa kerja DPR periode
2009-2014, kinerja legislasi masih bermasalah, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas.
Dalam hal
kuantitas, di masa sidang yang berjalan selama 67 hari kerja ini, DPR berhasil menetapkan
5 (lima) RUU menjadi UU, yang terdiri dari 3 (tiga) UU kumulatif terbuka dan 2 (dua)
UU non-kumulatif. Kelima Undang-undang itu adalah:
1.
UU Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran;
2.
UU Ratifikasi Konvensi Asean mengenai Pemberantasan
Terorisme;
3.
UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012;
4.
UU Penanganan Konflik Sosial; dan
5.
UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Selain itu, dalam
Masa Sidang III ini juga DPR telah menetapkan lima RUU sebagai usul inisiatif,
yaitu:
1.
RUU tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
2.
RUU tentang Mahkamah Agung;
3.
RUU tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
4.
RUU tentang Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan
dan Pembekalan Kesehatan Rumah Tangga; dan
5.
RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.
Sedangkan
Pemerintah juga mengajukan tiga RUU usul inisiatif, yaitu RUU tentang Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada), RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dan
RUU tentang Desa.
Capaian yang
minim dalam Masa Sidang III ini sebenarnya sudah dikonfirmasi langsung oleh
Ketua DPR. Namun masih ada catatan lain yang perlu PSHK kemukakan, terutama
dalam melihat aspek kualitas dari kinerja legislasi DPR. Adapun catatan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, pada pemaparan sebelumnya telah disebutkan bahwa baik DPR maupun Pemerintah
mengajukan beberapa RUU usul inisiatif pada masa sidang ini. Dari segi jumlah, RUU
usul inisiatif itu terlihat berimbang (DPR 5 RUU sedangkan Pemerintah 3 RUU). Namun dari segi waktu persiapan pengusulan
RUU, Pemerintah lebih lambat dibandingkan dengan DPR. Sebagai contoh,
Pemerintah berjanji akan menyerahkan RUU Pemilukada, RUU Pemda, dan RUU Desa
kepada DPR sejak pertengahan Juli 2011. Namun akhirnya baru diterima DPR awal
tahun ini.
Kedua, adanya ketimpangan beban
legislasi yang signifikan dari satu alat kelengkapan dengan alat kelengkapan
lain. Sebagai contoh, beban legislasi pada Komisi II, baik sebagian anggota
maupun secara keseluruhan, masih menyisakan RUU DIY dan RUU Tentang Aparatur Sipil
Negara. Keberadaan RUU Pemda, RUU Desa, dan RUU Pemilukada yang merupakan
domain Komisi II, berpotensi menambah beban sebagian atau seluruh anggota
Komisi II. Bandingkan (salah satunya) dengan Komisi IX, yang belum menunjukan
perkembangan yang signifikan dari target legislasi yang ditetapkan (seperti RUU
Tenaga Kesehatan, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, atau RUU Perubahan
Atas UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar
Negeri). Akibatnya pembahasan beberapa
RUU, seperti RUUK DIY dan RUU Aparatur Sipil Negara, menjadi lama mengendap dan
sudah beberapa kali diperpanjang masa pembahasannya.
Tidak berimbang dan tidak meratanya beban legislasi adalah imbas dari
desain perencanaan legislasi yang sejak awal sudah bermasalah, yang juga
ditambah dengan persoalan postur alat kelengkapan DPR dengan 11 Komisi, dimana
masing-masing Komisi dipukul rata berjumlah kurang lebih 50 orang. Jumlah 11
Komisi saat ini lebih karena adanya “warisan” kebijakan dari DPR periode lalu,
sedangkan penempatan (anggota di setiap Komisi) sebanyak kurang lebih 50 orang
seharusnya tidak dilakukan karena ada beberapa Komisi, seperti Komisi VIII dan
IX yang pembidangannya tidak terlampau luas, bisa dibuat lebih sedikit
anggotanya.
Ketiga, ada RUU yang
pembahasannya mengalami deadlock karena ada perbedaan pendapat
yang mendasar antara DPR dan Pemerintah, bahkan sampai saat ini tidak
diketahui bagaimana status terakhir pembahasannya. Contohnya RUU tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar oleh Komisi IV. Selain itu,
terdapat pembahasan RUU yang memiliki potensi
ketersinggungan yang tinggi, bahkan tidak tertutup kemungkinan saling tumpang
tindih. Contohnya RUU tentang Koperasi dan RUU tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
Keempat, pada ujung
periode Masa Sidang III, Komisi X memutuskan untuk menunda pembahasan RUU tentang
Pendidikan Tinggi dan RUU tentang Pendidikan Kedokteran. Penundaan berasal dari
Pemerintah, dengan alasan ada beberapa substansi kedua RUU yang masih perlu
dikoordinasikan secara internal.
Permasalahan dalam
penundaan ini adalah timing (pengajuan)
penundaan yang dilakukan Pemerintah pada akhir masa pembahasan, yang sudah
masuk Masa Sidang III (bahkan sempat harus memperpanjang satu minggu). Kalaupun
memang Pemerintah tidak menyepakati sejumlah substansi atau bahkan berkeinginan
untuk menolak RUU ini, sudah seharusnya bisa teridentifikasi lebih cepat, dan
disampaikan lebih awal. Kejadian ini menggambarkan bahwa Pemerintah masih berkutat dalam permasalahan koordinasi internal.
Dari empat
catatan di atas, terbukti belum ada dampak nyata dari seruan Ketua DPR terkait 2012
sebagai tahun legislasi sebagaimana dikemukakan di awal masa sidang. Baik dari
sisi Pemerintah dan DPR memiiki kekurangan dalam pengelolaan legislasi. Satu
sisi Pemerintah tidak kunjung tegas membenahi soal koordinasi antar instansi,
sementara di lain pihak DPR juga tidak strategis dalam membagi alokasi SDM
anggota dalam tiap Komisi. Artinya, baik Pemerintah dan DPR sama-sama
berkontribusi dalam kualitas legislasi kita.
Selain empat
catatan diatas, ada satu langkah DPR yang patut diapresiasi yaitu pada Masa Sidang III ini, DPR melalui Badan
Legislasi (Baleg), telah membentuk Peraturan DPR RI tentang Tata Cara
Penyusunan Prolegnas, sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Langkah ini
patut mendapat apresiasi karena manunjukan adanya respon yang cepat dalam upaya
mengoptimalkan kinerja legislasi DPR. Upaya itu perlu mendapat dukungan dari
Pemerintah, yang sampai saat ini belum menghasilkan peraturan yang sama,
mengingat kinerja legislasi tidak hanya melibatkan DPR, tapi juga Pemerintah.
Dari paparan di atas,
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak agar:
1.
DPR harus membuat pembagian beban
pembahasan RUU menjadi merata di setiap alat kelengkapan (Komisi, Baleg, maupun
Panitia Khusus/Pansus). Apabila ada alat
kelengkapan yang dihadapkan pada banyak target penyelesaian RUU, maka dilakukan
pembagian atau penyesuaian waktu pembahasan, yang tentunya menuntut juga adanya
ketepatan waktu dalam menyelesaikannya. Upaya ini dapat dilakukan oleh Pimpinan
DPR dan Badan Musyawarah (Bamus) sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 141
Tata Tertib DPR.
2.
DPR dan Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap beragam permasalahan
yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi legislasi, terutama yang terkait dengan skema
perencanaan legislasi dan postur alat kelengkapan. Perbaikan itu harus bisa menjadi terobosan baru dan kemudian diakomodir
dalam revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (yang sudah direncanakan).
3.
Melakukan evaluasi dan antisipasi terhadap status
RUU yang waktu pembahasannya akan melebihi 3 (tiga) kali masa sidang, sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR. Dalam hal ini peran Baleg seharusnya lebih
dominan, mengingat dalam Pasal 102 ayat (1) huruf g UU No. 27 Tahun 2009, Baleg
seharusnya mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan
materi muatan RUU melalui koordinasi dengan Komisi dan/atau Pansus. Upaya ini
menghindari adanya pembahasan RUU yang berlarut-larut dan hanya akan menambah
beban legislasi yang ada.
Jakarta, 16 April 2012
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Fajri Nursyamsi (Peneliti)
fajri.nursyamsi@pshk.or.id | 0818-100917