Senin, 24 September 2012

TEKANAN MASSA DAN INDEPENDENSI HAKIM


Kamis, 20 September 2012, pagi hari saya sudah bersiap untuk melakukan penelitian lapangan. Kali ini obyek penelitian saya adalah Hakim. Pengadilan Negeri menjadi tempat yang harus saya kunjungi.

Pengadilan Negeri (PN) yang saya datangi kali ini berada di wilayah Jawa Barat. Kotanya sejuk, cenderung dingin. Jalanan pun tidak ramai, tetapi tingkat kedisiplinan berlalulintasnya rendah. Pemandangan seperti pengendara motor tidak memakai helm, atau angkutan kota yang berhenti ditengah jalan, sudah biasa ditemukan.

Kota ini sebenarnya tidak asing bagi saya karena setiap tahun, pada saat lebaran, saya pasti berkunjung kesini. Menempuh 3 sampai 6 jam dari Bandung bukan lagi hal yang aneh. Tidak sulit menghapal jalan menuju wilayah ini, karena selain tidak banyak, kondisi jalannya pun cenderung tidak banyak berubah. Namun kali ini suasananya terasa lain, karena saya datang tidak dengan keluarga, dan misinya pun lain. Bukan untuk bersilaturahmi, tapi ingin mengetahui banyak hal tentang Hakim di kota ini.

Kota tersebut adalah Garut. Satu kota yang memiliki sejarah panjang di wilayah Jawa Barat. Masyarakatnya kental dengan budaya sunda, tanah Priangan. Dalam sejarahnya, daerah Kabupaten ini dulunya adalah bagian dari wilayah Limbangan. Pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Daendles memishakannya menjadi Kabupaten tersendiri. Ulang tahun Garut jatuh pada tanggal 15 September, yang merupakan tanggal pertama kali dilakukan peletakan batu pertama pembangunan sarana-prasarana.

Pukul 09.00, saya bergegas pergi menuju PN Garut, sesaat setelah menyelsaikan sarapan di penginapan. Jarak antara penginapan dan PN Garut tidak jauh, ditambah dengan lengangnya jalanan, membuat jarak bisa ditempuh dalam 15 menit saja. Kondisi itu membuat Garut terasa sangat ramah untuk beraktifitas, apalagi dibandingkan dengan penatnya lalu lintas Jakarta di Pagi hari.

Sampai pengadilan, perhatian saya tersita oleh adanya kerumunan massa. Banyak pertanyaan muncul dalam benak saya, “apakah sedang ada kerusuhan, atau demonstrasi, atau sekedar kesibukan masyarakat kebanyakan?”. Setelah memperhatikan lebih detail, ternyata hampir semua dari mereka berpakaian serba putih dan mengenakan sorban. Melihat sekilas, saya merasa seperti sering melihat pakaian itu. Ternyata benar saja, kerumunan masa yang memenuhi halaman depan PN Garut adalah masa dari kelompok Front Pembela Islam, atau biasa dikenal dengan FPI.

Sesampainya di PN Garut, saya bergegas masuk ke dalam. Terlihat di taman samping kanan pengadilan ada kerumunan lain dari massa FPI berkumpul. Kali ini mereka terus ber-shalawat, sambil sesekali memekikan takbir. Mereka berkumpul tepat didepan ruang tahanan pengadilan, yang didalamnya terduduk seorang laki-laki berperawakan kurus tinggi dengan menggunakan peci putih dan baju koko. Dialah anggota FPI yang sedang dibela oleh rekan-rekannya.

Suasana semakin semarak karena saat itu PN Garut sedang banyak pengunjung. Hari itu PN Garut bisa dikatakan dua kali lebih ramai daripada biasanya. Hal ini terjadi karena kemarinnya pengadilan tidak menyelenggarakan sidang, karena ada kunjungan dari Pengadilan Tinggi Bandung dalam rangka silaturahim. Terlihat pula terdakwa yang dibawa jaksa hari itu jumlahnya jauh lebih banyak dari biasanya.

Lantunan shalawat dan pekikan takbir yang biasanya mengalun pelan dan sendu, kali ini dibawakan lain. Hentakan-hentakan suara dalam membawakannya membuat suasana mencekam. Belum lagi terdengar ada teriakan-teriakan yang membuat masa menjadi lebih mudah terprovokasi. Saya pun mulai khawatir dengan kondisi yang terjadi.

Kekhawatiran saya mulai memudar ketika seorang anggota FPI, sepertinya pemimpin rombongan, berbicara didepan masa. Ia awalnya membakar semangat masa dengan hentakan-hentakan instruksi untuk bertakbir, “Takbir! AllahuAkbar!” begitu cetusnya. Kemudian Ia mulai menjelaskan apa alasan meraka ada di PN Garut. Kemudian sang pemimpin rombongan menghimbau untuk masa tidak terprovokasi dan tidak ada aksi anakis, karena mereka hadir di PN Garut untuk memberikan dukungan kepada anggota FPI, bukan untuk merusak.

Pada sisi lain pengadilan, terlihat beberapa hakim sedang bersiap-siap untuk memulai sidang. Mereka sibuk mondar-mandir masuk ke ruang Kepala Pengadilan Negeri (KPN). Raut wajah mereka juga tidak santai seperti biasanya, lebih serius, begitu kira-kira. Dalam kondisi itu, ada satu hakim yang berhasil saya ajak ngobrol. Dari obrolan itu saya tahu bahwa hakim itu yang akan menyidangkan perkara yang melibatkan anggota FPI sebagai terdakwa, bersama dua orang hakim lainnya. Selian itu, sang hakim juga bercerita kalau kondisi ini seperti sudah biasa terjadi, dan massa yang sama kerap mendatangi PN Garut dalam perkara yang berbeda.

Tekanan masyarakat seperti ini memang tidak jarang dikeluhkan para hakim, bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi di PN Garut saja. Bentuk tekanan pun beragam bisa demonstrasi di pengadilan, bisa ancaman melalui SMS (short message services), surat kaleng, sampai ancaman pelemparan terhadap rumah tinggal. Kondisi ini jelas mengganggu konsentrasi dan independensi hakim dalam memutus, karena walaubagaimanapun hakim tetap manusia yang memiliki rasa takut, dan sangat mungkin untuk terpengaruh dengan ancaman-ancaman yang ada.

Tidak lama, hakim yang saya ajak ngobrol pun pamit karena harus ada pertemuan dengan KPN. Pertemuan itu terlihat baru saja diagendakan, karena terlihat serba mendadakn. Tidak sampai 10 menit, rapat pun selesai. Terlihat beberapa hakim keluar dari ruang KPN, dan kembali masuk ke ruang hakim. Terakhir, keluarlah tiga orang hakim dengan berpakaian toga hakim lengkap. Namun, ketiga orang hakim ini bukanlah hakim yang akan menyidangkan kasus FPI, sesuai dengan informasi yang saya dapat. Saya berpikir mungkin mereka akan menyidangkan perkara lain.

Sebelum turun untuk menuju ke ruang sidang di lantai 1. Saya sempat berbincang dnegan ketiga hakim tersebut. Mereka terlihat sudah siap bersidang, dan terlihat cukup rileks dibandingkan hakim lainnya. walaupun saya tidak cukup tahu apakah itu memang benar, atau hanya tampilan luarnya saja. Saya yang kala itu memegang kamera, dengan nada bercanda, menawarkan untuk memfoto mereka sebelum bersidang. Ternyata mereka menyambut tawaran saya, sampai saya memotret mereka dengan senyum dibibir.setelah difoto, salah satu dari mereka berkata, “Mas, ini mah biasa, masih bisa terkendali. Tapi perlu juga diketahui masyarakat banyak.”

Pukul 11.10, sidang tindak pidana kepemilikian senjata tajam, dengan terdakwa seorang anggota FPI Garut, mulai disidangkan. Ternyata hakim yang menyidangkan adalah tiga hakim yang saya foto sebelumnya, yang berarti berbeda dengan informasi yang saya dapat awalnya. Sehingga dapat diketahui bahwa pada rapat di ruang KPN sebelum sidang dimulai salah satunya membahas terkait dengan majelis hakim yang akan menyidangkan. Tentu saya sangat penasaran terkait dengan alasan pergantian hakim itu, bukankah penunjukan hakim sudah dari jauh-jauh hari?

Persidangan dimulai dengan kondisi ruang sidang yang sangat penuh dengan massa. Sampai mereka tidak semua bisa masuk dan duduk di dalam ruang sidang. Terpaksa beberapa dari mereka harus menunggu atau menonton dari luar ruangan. Suasana persidangan tertib, tidak ada satu orang pun pengunjung yang bersuara keras didalam ruang sidang. Bahkan beberapa diantara mereka, terutama yang duduk dideretan palin gdepna, terlihat sangat serius mengikuti jalannya persidangan.

Sidang kali ini mengagendakan pembacaan dakwaan. Jaksa membacakan dakwaan secara cepat. Ketika mejelis hakim menanyakan perihal saksi, Jaksa tidak menyanggupi untuk menghadirkan pada sidang saat itu, dan meminta untuk persidangan diundur satu minggu. Ketika sudah menanyakan pihak terdakwa dan pengacaranya, akhirnya sidang yang baru saja berjalan sekitar 30 menit ditunda. Pukul 11. 40 sidang selesai.
Massa pun berhamburan keluar ruang sidang dengan terus ber-shalawat dan bertakbir. Setelah keluar ruang sidang ternyata mereka kembali berkerumun didepan ruang tahanan pengadilan dan terus memberikan semangat dan dukungan kepada sang terdakwa yang terlihat didampingi oleh pengacaranya. Selang beberapa saat, pengacara dan sang pemimpin rombongan mengumpulkan kembali massa, dan berbicara perihal persidangan yang ditunda. Sang pengacara mengingatkan kepada massa bahwa persidangan mungkin akan berlangsung lebih dari sepuluh kali sidang, sehingga perlu tenaga lebih untuk mengawalnya.

Didalam ruang sidang, terlihat ketiga hakim yang menyidangkan perkara masih duduk di tempat hakim. Awalnya saya berpikir mereka menunggu kerumunan massa ini membubarkan diri, dan jalan keluar hakim sudah sepi dari pengunjung. Namun ternyata, mereka melanjutkan untuk menyidangkan perkara berikutnya, bahkan ada 2 perkara lanjutan yang disidangkan berturut-turut, yaitu perkara pencurian dan perakara penggelapan.

Setelah mengikuti sidang, saya masih penasaran dengan pertimbangan penggantian hakim tadi, karena pasti ada pertimbangan khusus. Apakah massa FPI tadi sudah memberikan tekanan tersendiri kepada para hakim? Atau ada “permainan”? itulah yang saya ingin cari jawabannya.

Beberapa saat saya menunggu, saya berhasil menemui salah satu dari 3 hakim yang menyidangkan perkara yang terdakwanya adalah anggota FPI tadi, yang kebetulan ia adalah KPN Garut saat ini. Setelah berbasa-basi rekan saya sesama peneliti menanyakan perihal pergantian hakim itu. Sang hakim membenarkan ada perubahan hakim. “salah satu hakim yang akan menyidangkan harus ke Jakarta, karena mengikuti pemilukada Gubernur DKI Jakarta.” Saya masih belum jelas apakah itu alasan yang kuat untuk mengganti majeis?. Hakim itu pun melanjutkan, “dalam kondisi seperti ini pengadilan tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun. Ketidakadaan hakim akan berakibat sidang yang ditunda, atau apabila dipaksanakan akan ada masalah formil persidangan disana. Daripada pengadilan melakukan kesalahan yang tidak perlu, yang mengakibatkan massa menjadi marah dan bisa saja merusak bahkan mengancam hakim-hakim dan perangkat pengadilan disini, maka saya ambil keputusan untuk mengganti majelis dengan yang ada, yang penting sidang bisa berjalan.”

Dari argumentasi itu baru jelas mengapa penting untuk mengubah susunan majelis hakim pada saat-saat terntentu. Dalam lanjutan jawbannya, hakim tersebut menyatakan bahwa memang Ia menyadari bahwa keputusannya mengandung resiko, “tapi biarlah itu resiko saya, jangan sampai pengadilan yang terhina dengan melakukan kesalahan yang tidak perlu”.

Pengalaman saya di PN Garut ini mengingtakan bahwa sampai saat ini seorang hakim, terutama di tingkatan PN, masih sulit merasakan independensi dalam memutus perkara. Cerita diatas pun memperlihatkan bagaimana faktor tekanan massa dan keamanan memberikan pengaruh besar, bukan hanya sekedar kesejahteraan yang tercermin dari angka nominal gaji, yang selama ini terus diperbicangkan. Sepertinya memang sudah saatnya memandang hakim sebagai seorang manusia, bukan lagi seorang pekerja dalam peradilan yang bertugas untuk memutus perkara.

Kamis, 13 September 2012

UPAYA PANTANG MENYERAH INTERVENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pembentukan Panitia Kerja dengan nama “Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah” oleh Komisi III DPR menuai banyak penolakan dari masyarakat. Argumentasi bahwa Panja ini dapat mencederai independensi peradilan di Indonesia menjadi argumentasi yang banyak diserukan.

Secara formal, Komisi III, sebagai salah satu alat kelengkapan DPR, memiliki kewenangan dalam membentuk Panja. Pasal 144 ayat (1) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Panja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran. Selain itu, dalam Pasal 144 ayat (2) diatur bahwa Panja bertugas untuk membahas substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atan rapat kerja Badan Anggaran. Sehingga pembentukan Panja tersebut dapat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur.
Tentu dalam membahas pembentukan Panja ini tidak hanya cukup dalam tataran syarat formal atau prosedur semata, namun lebih jauh dari itu, yaitu terkait praktik dalam menjalankan kekuasaan di dalam sebuah Negara Hukum. UUD 1945 telah dengan tegas dan jelas memngatur pembagian kekuasaan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan MA sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman  (yudikatif) di Indonesia. Pembagian kekuasaan itu pun sudah pula diberi batasan-batasan dan fungsi check and balances yang jelas antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 diatur dengan tegas bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Pembentukan Panja Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah ini jelas berpotensi untuk melakukan intervensi yang mengancam kemerdekaan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang berarti berpotensi melanggar hukum. Setidaknya ada 3 (tiga) indikasi yang patut dikemukakan dalam menilai potensi pelanggaran hukum itu. Pertama, objek yang akan menjadi pusat dari pekerjaan Panja adalah Putusan MA, yang merupakan produk langsung dari hakim MA. Pengkritisan terhadap putusan MA ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, dan secara kelembagaan akan mengancam independensi peradilan dalam memutus suatu perkara.

Kedua, subyek yang akan melaksanakan pekerjaan ini adalah anggota DPR, yang merupakan lembaga politik dan memiliki kepentingan tertentu. Sebagai lembaga politik, sulit untuk kemudian memisahkan peninjauan terhadap Putusan dari kepentingan politik. Argumentasi ini bukan berarti melarang sama sekali penijauan terhadap Putusan MA atau pengadilan dibawahnya, namun harus jelas dan sesuai konteksnya, yaitu untuk kepentingan peningkatan kualitas dalam rangka peninjauan akademik. Sehingga akan lebih tepat apabila peninjauan terhadap putusan MA ini dilakukan oleh kalangan akademisi, dan untuk kepentingan akademis.

Ketiga, adanya ketidakjelasan dari maksud dan tujuan dari pembentukan Panja. Apabila merujuk kepada argumentasi dari beberapa anggota DPR, Panja ini akan menyisir putusan-putusan MA berkekuatan hukum tetap yang dianggap bermasalah, terutama dengan permasalahan tidak dapat dieksekusi. Tujuan ini dalam pelaksanaannya bukan tidak mungkin akan mempertanyakan kembali kasus yang bersangkutan, dimana dalam hal ini sangat rentan adanya kepentingan-kepentingan lain, yang bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk membuka kasusnya kembali.

Dengan ketiga argumentasi diatas, jelas Komisi III DPR sudah harus melakukan peninjauan kembali bahkan  membatalkan pembentukan Panja tersebut. Selanjutnya, apabila memang benar DPR berniat untuk melakukan peninjauan terhadap putusan MA untuk kepentingan memahami permasalahan yang akan menjadi bahan revisi dari Undang-undang MA, maka akan lebih baik apabila dikerjakan oleh tenaga peneliti atau staff di sekretariat Komisi III, sehingga kecurigaan akan adanya kepentingan politik dibalik pembentukan Panja dapat terhidarkan, sekaligus tidak membebani anggota dengan pekerjaan yang sifatnya teknis.

Sebaliknya, apabila Komisi III DPR tetap memaksakan diri melanjutkan Panja tersebut, maka independensi peradilan di Indonesia akan terancam. Sekaligus semakin menguatkan kesan bahwa DPR, dalam hal ini juga termasuk partai politik dibelakangnya, memang sedang ingin mengintervensi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah sebelumnya berhasil memasukan unsur DPR kedalam Dewan etik hakim konstitusi dalam ketentuan UU No. 18 tahun 2011 tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ketentuan itu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2011 lalu.