Kamis,
20 September 2012, pagi hari saya sudah bersiap untuk melakukan penelitian
lapangan. Kali ini obyek penelitian saya adalah Hakim. Pengadilan Negeri
menjadi tempat yang harus saya kunjungi.
Pengadilan
Negeri (PN) yang saya datangi kali ini berada di wilayah Jawa Barat. Kotanya
sejuk, cenderung dingin. Jalanan pun tidak ramai, tetapi tingkat kedisiplinan berlalulintasnya
rendah. Pemandangan seperti pengendara motor tidak memakai helm, atau angkutan
kota yang berhenti ditengah jalan, sudah biasa ditemukan.
Kota
ini sebenarnya tidak asing bagi saya karena setiap tahun, pada saat lebaran,
saya pasti berkunjung kesini. Menempuh 3 sampai 6 jam dari Bandung bukan lagi
hal yang aneh. Tidak sulit menghapal jalan menuju wilayah ini, karena selain tidak
banyak, kondisi jalannya pun cenderung tidak banyak berubah. Namun kali ini
suasananya terasa lain, karena saya datang tidak dengan keluarga, dan misinya
pun lain. Bukan untuk bersilaturahmi, tapi ingin mengetahui banyak hal tentang
Hakim di kota ini.
Kota
tersebut adalah Garut. Satu kota yang memiliki sejarah panjang di wilayah Jawa
Barat. Masyarakatnya kental dengan budaya sunda, tanah Priangan. Dalam
sejarahnya, daerah Kabupaten ini dulunya adalah bagian dari wilayah Limbangan.
Pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Daendles memishakannya menjadi Kabupaten
tersendiri. Ulang tahun Garut jatuh pada tanggal 15 September, yang merupakan
tanggal pertama kali dilakukan peletakan batu pertama pembangunan
sarana-prasarana.
Pukul
09.00, saya bergegas pergi menuju PN Garut, sesaat setelah menyelsaikan sarapan
di penginapan. Jarak antara penginapan dan PN Garut tidak jauh, ditambah dengan
lengangnya jalanan, membuat jarak bisa ditempuh dalam 15 menit saja. Kondisi
itu membuat Garut terasa sangat ramah untuk beraktifitas, apalagi dibandingkan
dengan penatnya lalu lintas Jakarta di Pagi hari.
Sampai
pengadilan, perhatian saya tersita oleh adanya kerumunan massa. Banyak pertanyaan
muncul dalam benak saya, “apakah sedang ada kerusuhan, atau demonstrasi, atau
sekedar kesibukan masyarakat kebanyakan?”. Setelah memperhatikan lebih detail,
ternyata hampir semua dari mereka berpakaian serba putih dan mengenakan sorban.
Melihat sekilas, saya merasa seperti sering melihat pakaian itu. Ternyata benar
saja, kerumunan masa yang memenuhi halaman depan PN Garut adalah masa dari
kelompok Front Pembela Islam, atau biasa dikenal dengan FPI.
Sesampainya di PN Garut, saya
bergegas masuk ke dalam. Terlihat di taman samping kanan pengadilan ada kerumunan
lain dari massa FPI berkumpul. Kali ini mereka terus ber-shalawat, sambil
sesekali memekikan takbir. Mereka berkumpul tepat didepan ruang tahanan
pengadilan, yang didalamnya terduduk seorang laki-laki berperawakan kurus
tinggi dengan menggunakan peci putih dan baju koko. Dialah anggota FPI yang
sedang dibela oleh rekan-rekannya.
Suasana semakin semarak karena
saat itu PN Garut sedang banyak pengunjung. Hari itu PN Garut bisa dikatakan
dua kali lebih ramai daripada biasanya. Hal ini terjadi karena kemarinnya pengadilan
tidak menyelenggarakan sidang, karena ada kunjungan dari Pengadilan Tinggi
Bandung dalam rangka silaturahim. Terlihat pula terdakwa yang dibawa jaksa hari
itu jumlahnya jauh lebih banyak dari biasanya.
Lantunan shalawat dan pekikan
takbir yang biasanya mengalun pelan dan sendu, kali ini dibawakan lain.
Hentakan-hentakan suara dalam membawakannya membuat suasana mencekam. Belum
lagi terdengar ada teriakan-teriakan yang membuat masa menjadi lebih mudah
terprovokasi. Saya pun mulai khawatir dengan kondisi yang terjadi.
Kekhawatiran saya mulai memudar
ketika seorang anggota FPI, sepertinya pemimpin rombongan, berbicara didepan
masa. Ia awalnya membakar semangat masa dengan hentakan-hentakan instruksi
untuk bertakbir, “Takbir! AllahuAkbar!” begitu cetusnya. Kemudian Ia mulai
menjelaskan apa alasan meraka ada di PN Garut. Kemudian sang pemimpin rombongan
menghimbau untuk masa tidak terprovokasi dan tidak ada aksi anakis, karena
mereka hadir di PN Garut untuk memberikan dukungan kepada anggota FPI, bukan
untuk merusak.
Pada sisi lain pengadilan,
terlihat beberapa hakim sedang bersiap-siap untuk memulai sidang. Mereka sibuk mondar-mandir masuk ke ruang Kepala
Pengadilan Negeri (KPN). Raut wajah mereka juga tidak santai seperti biasanya,
lebih serius, begitu kira-kira. Dalam kondisi itu, ada satu hakim yang berhasil
saya ajak ngobrol. Dari obrolan itu saya
tahu bahwa hakim itu yang akan menyidangkan perkara yang melibatkan anggota FPI
sebagai terdakwa, bersama dua orang hakim lainnya. Selian itu, sang hakim juga
bercerita kalau kondisi ini seperti sudah biasa terjadi, dan massa yang sama
kerap mendatangi PN Garut dalam perkara yang berbeda.
Tekanan masyarakat seperti ini
memang tidak jarang dikeluhkan para hakim, bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi
di PN Garut saja. Bentuk tekanan pun beragam bisa demonstrasi di pengadilan,
bisa ancaman melalui SMS (short message
services), surat kaleng, sampai ancaman pelemparan terhadap rumah tinggal. Kondisi
ini jelas mengganggu konsentrasi dan independensi hakim dalam memutus, karena
walaubagaimanapun hakim tetap manusia yang memiliki rasa takut, dan sangat
mungkin untuk terpengaruh dengan ancaman-ancaman yang ada.
Tidak lama, hakim yang saya ajak ngobrol pun pamit karena harus ada
pertemuan dengan KPN. Pertemuan itu terlihat baru saja diagendakan, karena
terlihat serba mendadakn. Tidak sampai 10 menit, rapat pun selesai. Terlihat beberapa
hakim keluar dari ruang KPN, dan kembali masuk ke ruang hakim. Terakhir,
keluarlah tiga orang hakim dengan berpakaian toga hakim lengkap. Namun, ketiga
orang hakim ini bukanlah hakim yang akan menyidangkan kasus FPI, sesuai dengan
informasi yang saya dapat. Saya berpikir mungkin mereka akan menyidangkan
perkara lain.
Sebelum turun untuk menuju ke ruang
sidang di lantai 1. Saya sempat berbincang dnegan ketiga hakim tersebut. Mereka
terlihat sudah siap bersidang, dan terlihat cukup rileks dibandingkan hakim lainnya.
walaupun saya tidak cukup tahu apakah itu memang benar, atau hanya tampilan
luarnya saja. Saya yang kala itu memegang kamera, dengan nada bercanda,
menawarkan untuk memfoto mereka sebelum bersidang. Ternyata mereka menyambut tawaran
saya, sampai saya memotret mereka dengan senyum dibibir.setelah difoto, salah satu
dari mereka berkata, “Mas, ini mah biasa, masih bisa terkendali. Tapi perlu
juga diketahui masyarakat banyak.”
Pukul 11.10, sidang tindak pidana
kepemilikian senjata tajam, dengan terdakwa seorang anggota FPI Garut, mulai
disidangkan. Ternyata hakim yang menyidangkan adalah tiga hakim yang saya foto
sebelumnya, yang berarti berbeda dengan informasi yang saya dapat awalnya. Sehingga
dapat diketahui bahwa pada rapat di ruang KPN sebelum sidang dimulai salah
satunya membahas terkait dengan majelis hakim yang akan menyidangkan. Tentu saya
sangat penasaran terkait dengan alasan pergantian hakim itu, bukankah
penunjukan hakim sudah dari jauh-jauh hari?
Persidangan dimulai dengan
kondisi ruang sidang yang sangat penuh dengan massa. Sampai mereka tidak semua
bisa masuk dan duduk di dalam ruang sidang. Terpaksa beberapa dari mereka harus
menunggu atau menonton dari luar ruangan. Suasana persidangan tertib, tidak ada
satu orang pun pengunjung yang bersuara keras didalam ruang sidang. Bahkan beberapa
diantara mereka, terutama yang duduk dideretan palin gdepna, terlihat sangat
serius mengikuti jalannya persidangan.
Sidang kali ini mengagendakan
pembacaan dakwaan. Jaksa membacakan dakwaan secara cepat. Ketika mejelis hakim
menanyakan perihal saksi, Jaksa tidak menyanggupi untuk menghadirkan pada
sidang saat itu, dan meminta untuk persidangan diundur satu minggu. Ketika
sudah menanyakan pihak terdakwa dan pengacaranya, akhirnya sidang yang baru
saja berjalan sekitar 30 menit ditunda. Pukul 11. 40 sidang selesai.
Massa pun berhamburan keluar ruang
sidang dengan terus ber-shalawat dan bertakbir. Setelah keluar ruang sidang
ternyata mereka kembali berkerumun didepan ruang tahanan pengadilan dan terus
memberikan semangat dan dukungan kepada sang terdakwa yang terlihat didampingi
oleh pengacaranya. Selang beberapa saat, pengacara dan sang pemimpin rombongan mengumpulkan
kembali massa, dan berbicara perihal persidangan yang ditunda. Sang pengacara
mengingatkan kepada massa bahwa persidangan mungkin akan berlangsung lebih dari
sepuluh kali sidang, sehingga perlu tenaga lebih untuk mengawalnya.
Didalam ruang sidang, terlihat
ketiga hakim yang menyidangkan perkara masih duduk di tempat hakim. Awalnya
saya berpikir mereka menunggu kerumunan massa ini membubarkan diri, dan jalan
keluar hakim sudah sepi dari pengunjung. Namun ternyata, mereka melanjutkan
untuk menyidangkan perkara berikutnya, bahkan ada 2 perkara lanjutan yang
disidangkan berturut-turut, yaitu perkara pencurian dan perakara penggelapan.
Setelah mengikuti sidang, saya
masih penasaran dengan pertimbangan penggantian hakim tadi, karena pasti ada
pertimbangan khusus. Apakah massa FPI tadi sudah memberikan tekanan tersendiri
kepada para hakim? Atau ada “permainan”? itulah yang saya ingin cari
jawabannya.
Beberapa saat saya menunggu, saya
berhasil menemui salah satu dari 3 hakim yang menyidangkan perkara yang terdakwanya
adalah anggota FPI tadi, yang kebetulan ia adalah KPN Garut saat ini. Setelah
berbasa-basi rekan saya sesama peneliti menanyakan perihal pergantian hakim
itu. Sang hakim membenarkan ada perubahan hakim. “salah satu hakim yang akan
menyidangkan harus ke Jakarta, karena mengikuti pemilukada Gubernur DKI Jakarta.”
Saya masih belum jelas apakah itu alasan yang kuat untuk mengganti majeis?.
Hakim itu pun melanjutkan, “dalam kondisi seperti ini pengadilan tidak boleh
melakukan kesalahan sekecil apapun. Ketidakadaan hakim akan berakibat sidang
yang ditunda, atau apabila dipaksanakan akan ada masalah formil persidangan
disana. Daripada pengadilan melakukan kesalahan yang tidak perlu, yang
mengakibatkan massa menjadi marah dan bisa saja merusak bahkan mengancam hakim-hakim
dan perangkat pengadilan disini, maka saya ambil keputusan untuk mengganti
majelis dengan yang ada, yang penting sidang bisa berjalan.”
Dari argumentasi itu baru jelas
mengapa penting untuk mengubah susunan majelis hakim pada saat-saat terntentu. Dalam
lanjutan jawbannya, hakim tersebut menyatakan bahwa memang Ia menyadari bahwa keputusannya
mengandung resiko, “tapi biarlah itu resiko saya, jangan sampai pengadilan yang
terhina dengan melakukan kesalahan yang tidak perlu”.
Pengalaman saya di PN Garut ini mengingtakan bahwa sampai saat ini seorang hakim, terutama di tingkatan PN, masih sulit merasakan
independensi dalam memutus perkara. Cerita diatas pun memperlihatkan bagaimana
faktor tekanan massa dan keamanan memberikan pengaruh besar, bukan hanya
sekedar kesejahteraan yang tercermin dari angka nominal gaji, yang selama ini
terus diperbicangkan. Sepertinya memang sudah saatnya memandang hakim sebagai seorang
manusia, bukan lagi seorang pekerja dalam peradilan yang bertugas untuk memutus
perkara.