Rabu, 02 April 2014

LEMBARAN BARU PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

Rapat Pariprna DPR, 17 Desember 2013, mensahkan 66 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai prioritas tahun 2014. Salah satu Rancangan Undang-undang (RUU) yang menjadi prioritas dalam Prolegnas 2014 adalah RUU Perubahan atas Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (RUU Penyandang Cacat). Dimasukannya RUU itu sebagai prioritas tahun 2014 cukup mengejutkan, karena revisi terhadap RUU Penyandang Cacat belum sekalipun masuk Prolegnas di 4 tahun masa jabatan DPR Periode 2009-2014. Selain itu, “hutang” RUU dari tahun 2013 dan tahun-tahun sebelumnya terbilang banyak (59 RUU), yang diantaranya memiliki posisi yang strategis dan banyak mendapat perhatian publik. Adapun RUU yang dimasud adalah RUU tentang MPR, DPR, DPRD, DPD; RUU tentang Mahkamah Agung;  RUU tentang Kejaksaan RI; RUU tentang Kepolisian RI; RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah; RUU tentang KUHP dan KUHAP; RUU tentang HAM; dan RUU tentang Kesetaraan Gender.
Desakan untuk melakukan revisi terhadap UU Penyandang Cacat tidak terlepas dari momentum yang terbangun saat ini. Pasca dicanangkannya Resolusi PBB No. 61 tahun 2006 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities banyak negara berupaya untuk mengubah cara pandang terhadap pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas. Pada tahun 2007, Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB, ikut menandatangani pemberlakuan CRPD di dunia. Momentum berlanjut ketika konvensi itu diratifikasi, lalu disahkan, melalui Undang-undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Pengesahan itu tidak hanya bermakna pemenuhan atas aspek formal dalam pengesahan Undang-undang di Indonesia, tetapi lebih jauh lagi, penandatanganan itu ibarat membuka lembaran baru bagi bangsa Indonesia dalam upaya memenuhi hak-hak penyandangan disabilitas sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Selain momentum tersebut, perubahan terhadap UU Penyandang Cacat dianggap mendesak dalam hal substansi materi muatan. UU Penyandang Cacat dianggap sudah tidak relevan, baik secara sosiologis, yuridis, maupun filosofis. Secara soisologis, sudah banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat di 17 tahun keberlakuan UU Penyandang Cacat, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Revisi terhadap UU Penyandang Cacat diperlukan untuk melakukan intervensi terhadap pemahaman atau cara pandang masyarakat dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas sesuai “amanat” dari CRPD.
Dalam aspek yuridis, UU Penyandang Cacat disahkan dengan berdasar kepada UUD 1945 pra amendemen. Oleh karena itu, UU itu sudah harus diganti dengan UU baru yang dibentuk dengan berdasar kepada konstitusi baru, UUD 1945 pasca amendemen. Selain melihat pada aspek formal, penggantian UU Penyandang Cacat dengan UU baru juga penting secara materiil, karena UUD 1945 pasca amendemen lebih kuat dalam menjamin perlindungan HAM warga negara.
Secara filosofis, dengan dasar hukum dan kondisi di masyarakat yang sudah berbeda, maka ruh atau jiwa dari UU Penyandang Cacat sudah tidak sesuai dengan cara pandang yang saat ini berkembang. Selain itu, UU Penyandang cacat juga dibentuk pada saat rezim orde baru, yang memiliki kebijakan-kebijakan dalam perlindungan HAM bagi warga negara yang berbeda dengan saat ini. Sebagai contoh, UU Penyandang Cacat masih menganggap sang manusia sebagai obyek dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, sehingga kebijakan yang disusun masih didominasi rasa kasihan (charity base). Sedangkan cara pandang yang sekarang berkembang ada melihat interaksi antar manusia sebagai obyek utama, sehingga kebijakan yang disusun adalah untuk menciptakan kondisi yang non-diskriminasi karena semua manusia memiliki hak yang sama (right base).

6 Poin Penting Materi Muatan RUU Penyandang Disabilitas
Angin segar yang dihembuskan DPR untuk segera mensahkan UU baru yang mengatur tentang penyandang disabilitas boleh saja menjadi harapan akan terciptanya UU yang mampu menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas. Namun jaminan itu sesungguhnya terletak pada materi muatan apa yang kemudian akan diatur dalam UU. Apabila suatu UU hanya didorong untuk cepat selesai tanpa memperhatikan substansinya, maka potensi UU itu hanya menjadi “macan kertas” sangat besar untuk terjadi.
Lalu, apa sebenarnya yang perlu diatur dalam UU tersebut? Setidaknya ada 6 poin penting yang harus diperjuangkan untuk masuk dalam materi muatannya. Pertama, seperti telah dijelaskan sebelumnya, UU Penyandang Cacat sudah memiliki kelemahan dalam aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga UU itu sudah selayaknya diganti dengan UU baru. Oleh karena itu, yang perlu dibuat oleh DPR dan Pemerintah, sebagai pembentuk UU, bukanlah hanya merevisi UU Penyandang Cacat, tetapi membuat UU baru menggantikan UU Penyandang Cacat.
Kedua, sebagai UU yang mengatur perihal Hak Asasi Manusia, maka pengaturnya harus sangat lengkap dan detail, karena pengaturan yang berkaitan dengan HAM harus dituangkan dalam peraturan minimal setingkat undang-undang. UU baru itu diharapkan tidak membuat ketentuan yang bersifat delegasi kepada peraturan pelaksanaan, untuk menghindari adanya kesalahan penafsiran, dan agar dapat langsung dilaksanakan. Untuk itu, konsekuensi bahwa UU baru akan terdiri dari banyak pasal tidak perlu dipandang sebagai hambatan, justru harus dilihat sebagai kekuatan demi terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas. Secara umum, materi muatan dari UU baru itu akan fokus kepada upaya pelaksanaan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sesuai yang diatur dalam CRPD.
Ketiga, UU baru yang disusun oleh DPR dan Pemerintah harus mampu mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas. Saat ini, titik fokus dalam melihat penyandang disabilitas adalah kepada kecacatan yang dimiliki oleh seseorang. Pandangan itu harus diubah sesuai dengan yang diatur dalam CRPD, yaitu dalam memandang penyandang disabilitas harus difokuskan kepada lingkungan atau kondisi disekitarnya. Sehingga, kondisi dimana tidak terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas tidak lagi dipandang karena kecacatan yang dimiliki seseorang, tetapi karena kondisi lingkungan disekitarnya yang tidak mendukung. Dengan cara pandang baru itu, maka penyandang disabilitas dipandang setara dengan masyarakat lain yang memiliki hak, dan upaya perbaikan difokuskan kepada sarana prasarana yang menjadi hambatan, sehingga hak penyandang disabilitas itu dapat terpenuhi.
Keempat, UU baru harus menempatkan isu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai isu multisektor, tidak lagi terpusat dalam bidang sosial. Hal itu penting untuk dilakukan karena saat ini, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas tidak lagi dilakukan dengan pendekatan sosial atau charity base, tetapi sudah masuk dalam pendekatan pemenuhan HAM bagi warga negara, yang pemenuhannya tentu terkait dengan banyak bidang. Secara teknis, perubahan itu akan berdampak kepada penanganan isu pemenuhan hak penyandang disabilitas yang tidak lagi didominasi oleh Kementerian Sosial, tetapi sudah harus masuk dalam agenda seluruh Kementerian terkait, seperti penyendiaan fasilitas infrastruktur oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU), pemenuhan kebutuhan obat dan penanganan kesehatan ke seluruh pelosok nusantara oleh kementerian Kesehatan, penyelenggaraan pendidikan inklusi oleh Kementerian Pendidikan, dan tugas serta peran lain oleh Kementerian terkait.
Kelima, kondisi termarjinalkannya penyandang disabilitas saat ini di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan masa lalu yang memang secara sistematis memojokan penyandang disabilitas dan memisahkannya dengan masyarakat umun. Sebagai contoh sebut saja kebijakan pembentukan sekolah luar biasa, rumah sakit jiwa, dan panti asuhan khusus penyandang disabilitas. Ketiga kebijakan itu diperuntukan khusus bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan umum.
Kondisi tersebut membuat sensitifitas masyarakat terhadap kebutuhan khusus penyandang disabilitas menjadi kurang, bahkan tidak sensitif sama sekali. Walhasil, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas menjadi terabaikan, bahkan terlupakan sama sekali. Oleh karena itu, pemenuhan hak-hak dalam UU baru tentang penyandang disabilitas harus mengarah kepada tujuan akhir menjadikan penyandang disabilitas mampu untuk hidup mandiri dan hidup membaur dengan masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diambil harus diarahkan untuk membuat kehidupan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Dengan tujuan itu, maka kedepan penyandang disabilitas bisa mengenyam pendidikan di sekolah umum, pelayanan kesehatan umum mau dan mampu menangani pasien psikotik (gangguan jiwa), dan panti-panti asuhan khusus penyandang disabilitas tidak lagi mengisolasi penghuninya, tetapi justru mendorongnya untuk membaur dengan masyarakat.
Keenam, poin terkahir yang penting untuk diatur dalam UU baru tetang penyandang disabilitas adalah terkait dengan pendataan penyandang disabilitas. Agar mampu memenuhi hak-hak penyandang disabilitas dengan maksimal dan tepat sasaran, maka Negara (dalam hal ini Pemerintah) harus memiliki data yang valid mengenai warga negara yang masuk dalam kategori penyandang disabilitas. Pendataan yang dimaksud tidak hanya berkisar terhadap data pribadi, yang tentunya sudah ada seiring statusnya sebagai warga negara, tetapi lebih khusus tentang kebutuhan khusus yang diperlukan. Data itu penting karena jenis kebutuhan khusus bagi penyandang dsiabilitas sangat beragam dan pemenuhannya pun menjadi tidak sama dan tidak bisa diseragamkan.
Pendataan akan sangat bermanfaat dalam penentuan prioritas dalam pembentukan kebijakan-kebijakan skala nasional maupun daerah, dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Selain itu, dengan data yang bersifat nasional akan membantu dalam pengalokasian anggaran yang tersedia, mulai dari perencanaan sampai kepada evaluasi penggunaannya. Anggaran yang ada harus mampu digunakan tepat sasaran, dan mengarah langsung kepada orang per orang penyandang disabilitas.

Proses Pembentukan yang Partisipatif
Arti penting dari masuknya RUU Perubahan atas UU Penyandang Cacat dalam Prolegnas bukan hanya mempercepat proses penggantiannya, tetapi juga momentum untuk melakukan konsolidasi semua stakeholders, dan ajang kampanye kepada masyarakat luas terkait dengan konsep baru pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Walaubagaimanapun UU baru yang akan dibuat hanyalah alat, tetapi tujuan akhir dari semua upaya yang dilakukan adalah mengubah cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas.
Isu penyandang disabilitas memiliki stakeholder yang banyak, beragam, dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Selain itu, isu disabilitas juga memiliki keterkaitan erat dengan berbagai isu yang lain, dari mulai isu pendidikan, isu gender dan anak, sampai isu politik seperti Pemilu. Kondisi itu yang membuat momentum saat ini menjadi penting untuk dijaga dan diarahkan kepada penguatan gerakan penyandang disabilitas. Selain itu, perubahan cara pandang dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, baik dalam level nasional maupun internsional, menuntut adanya perubahan dalam kebijakan nasional.

Langkah awal yang harus dilakukan dalam gerakan tersebut adalah ikut serta secara aktif dalam proses pembahasan RUU. Masyarakat, terutama para penyandang disabilitas, harus aktif dalam memberikan masukan dan memantau proses yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Sebaliknya, DPR dan Pemerintah harus dengan itikad baik melibatkan atau membuka pintu bagi partisipasi masyarakat. Dengan begitu diharapkan akan terbangun proses yang transparan dan akuntabel, serta materi muatan dari RUU Penyandang Disabilitas mampu menjadi jawaban atas pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, yang sudah terlalu lama terabaikan di negeri tercinta ini.

Gambar Ilustrasi : http://www.leftfootforward.org/2011/04/mail-telegraph-disability-benefits-myths/

Kamis, 14 November 2013

HILANGNYA RASA AMAN DALAM RUANG SIDANG

Kejadian pengrusakan di Mahkamah Konstitusi, pada saat pembacaan Putusan terhadap gugatan terkait dengan hasil dalam pemilu Provinsi Maluku, semakin menegaskan bahwa rasa aman di ruang sidang telah hilang. Ruangan yang seharusnya menjadi tempat “adu kekuatan” antara argumentasi dan bukti-bukti, sudah berubah menjadi adu kekuatan fisik yang menonjolkan kekerasan. Kondisi yang apabila dibiarkan akan berpotensi meruntuhkan pembentukan pengadilan yang berwibawa.

Pasca kejadian tersebut media-media mulai memberitakan kejadian dan menampilkan liputan terjadinya pengrusakan di ruang sidang dan diluar sidang MK. Dalam pemberitaan diperlihatkan bagaimana sekelompok orang berteriak, bahkan membanting fasilitas di ruang sidang, tanpa ada pihak keamanan yang berusaha mencegah karena jumlah yang tidak sebanding. Dalam pemberitaan yang ada, opini yang dibangun seakan mengerucut bahwa kejadian itu adalah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK. Namun, apakah opini itu sepenuhnya benar?

Kejadian pengrusakan tersebut terjadi tidak lama setelah adanya kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh salah satu mantan hakim konstitusi. Perkara itu yang kemudian menjadi pemicu adanya opini bahwa masyarakat menjadi semakin tidak percaya kepada MK. Namun pertanyaan yang patut diajukan adalah, apabila benar tidak percaya lalu mengapa mereka masih mensidangkan kasusnya di MK? Bukankah ada opsi para pihak untuk mencabut gugatannya? Masih diprosesnya perkara yang bersangkutan membuktikan bahwa rasa percaya itu masih ada, dan menjadi hal yang lumrah terjadi bahwa ada pihak yang kecewa dengan putusan pengadilan, termasuk di MK. Sehingga membuat kedua belah pihak yang sedang berperkara merasa puas atau merasa mendapatkan keadilan adalah kondisi yang sangat sulit dipenuhi.

Apabila dilihat lebih mendalam kepada akar masalah dari kejadian itu, aspek keamanan sidang yang perlu mendapat perhatian lebih. Pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sebagai pelaku pengrusakan ruang sidang, tidak mungkin bisa melakukan niatnya apabila ada tindakan preventif yang dilakukan. Tentu tindakan preventif yang dimaksud bukanlah menghalangi mereka untuk masuk ruang sidang, tetapi ketika ada sekelompok orang dengan jumlah yang besar berniat masuk ke ruang sidang, tentu pihak keamanan sudah harus memiliki mekanisme untuk mengatasi terjadinya kerusuhan, bahkan smapai ke pengrusakan.

Kejadian pengrusakan ruang sidang sebenarnya bukanlah hal baru. Kondisi serupa kerap terjadi di lembaga peradilan lain, yaitu di Mahkamah Agung, terutama praktik persidangan yang dilakukan di pengadilan tingkat pertama, di wilayah peradilan umum. Faktor keamanan menjadi permasalahan tersendiri dalam pelaksanaan persidangan. Kondisi masa yang masuk ke pengadilan lalu melakukan pengrusakan, bahkan sampai mengejar para hakim yang sedang bertugas kerap terjadi di Pengadilan Negeri berbagai daerah.

Kondisi di MK masih sangat beruntung karena masih ada pihak keamanan yang tergolong sigap dalam mengamankan pasca kejadian. Selain itu, pemberitaan yang massal secara nasional menjadikan kejadian sebagai perhatian publik, yang biasanya mampu mendorong penyelesaian lebih cepat. Kondisi di berbagai pengadilan di daerah tidak selalu seberuntung itu. Pengadilan tidak memiliki perangkat keamanan yang mumpuni untuk memastikan kondisi pengadilan aman. Ada tiga lasan utama pengadilan tidak didukung kemanan yang maksimal. Pertama, anggaran pengamanan pengadilan sangat minim, dan hanya cukup untuk membiayai 1-2 orang keamanan untuk berjaga setiap hari. Kedua, pengerahan aparat kepolisian dalam jumlah yang besar selalu membutuhkan anggaran yang besar, minimal untuk uang makan para personel. Ketiga, hubungan pengadilan dnegan pihak kepolisian tidak selalu harmonis. Kondisi itu banyak dipengaruhi oleh proses pra-peradilan yang melibatkan polisi (penyidik dan penyelidik) sebagai salah satu pihak. Apabila pihak kepolisian yang diputus bersalah dalam proses penyelidikan dan penyidikan, dalam pra-peradilan, tidak jarang mempengaruhi hubungan antara pengadilan dan kepolisian, yang berimbas kepada minimnya pengamanan oleh kepolisian oleh pengadilan.

Tidak hadirnya rasa aman dalam ruang sidang  berdampak besar, bahkan berpotensi menjadikan proses peradilan yang tidak independen. Rasa aman bukan hanya milik para pihak dan pengunjung sidang, tetapi juga milik para hakim. Tuntutan kepada para hakim untuk memutus dengan posisi yang merdeka sulit untuk tercapai, apabila tekanan dan intimidasi dari salah satu pihak, atau bahkan kedua belah pihak terjadi.

Kejadian di MK hanya sebagai fenomena gunung es dari apa yang terjadi di peradilan Indonesia. Rasa aman semakin sulit didapatkan diruang sidang. Tekanan dari para pihak, terutama kepada hakim, tidak bisa terhindarkan karena ada kepentingan masing-masing. Namun, tekanan yang sudah menghilangkan rasa aman, bahkan sampai mengancam keselamatan tentu tidak bisa dibenarkan. Perbaikan dalam pengamanan persidangan bukan hanya untuk menciptakan proses yang lebih kondusif dalam persidangan, tetapi lebih jauh untuk benar-benar membuat peradilan yang bebas dan merdeka.