Rapat Pariprna DPR, 17 Desember
2013, mensahkan 66 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
sebagai prioritas tahun 2014. Salah satu Rancangan Undang-undang (RUU) yang
menjadi prioritas dalam Prolegnas 2014 adalah RUU Perubahan atas Undang-undang
No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (RUU Penyandang Cacat). Dimasukannya
RUU itu sebagai prioritas tahun 2014 cukup mengejutkan, karena revisi terhadap RUU
Penyandang Cacat belum sekalipun masuk Prolegnas di 4 tahun masa jabatan DPR
Periode 2009-2014. Selain itu, “hutang” RUU dari tahun 2013 dan tahun-tahun sebelumnya
terbilang banyak (59 RUU), yang diantaranya memiliki posisi yang strategis dan
banyak mendapat perhatian publik. Adapun RUU yang dimasud adalah RUU tentang
MPR, DPR, DPRD, DPD; RUU tentang Mahkamah Agung; RUU tentang Kejaksaan RI; RUU tentang
Kepolisian RI; RUU tentang Pemerintahan Daerah; RUU tentang Pemilihan Kepala
Daerah; RUU tentang KUHP dan KUHAP; RUU tentang HAM; dan RUU tentang Kesetaraan
Gender.
Desakan untuk melakukan revisi
terhadap UU Penyandang Cacat tidak terlepas dari momentum yang terbangun saat
ini. Pasca dicanangkannya Resolusi PBB No. 61 tahun 2006 tentang Convention on the Rights of Persons with
Disabilities banyak negara berupaya untuk mengubah cara pandang terhadap
pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas. Pada tahun 2007, Indonesia,
sebagai salah satu negara anggota PBB, ikut menandatangani pemberlakuan CRPD di
dunia. Momentum berlanjut ketika konvensi itu diratifikasi, lalu disahkan,
melalui Undang-undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention
on the Rights of Persons with Disabilities). Pengesahan itu tidak hanya
bermakna pemenuhan atas aspek formal dalam pengesahan Undang-undang di
Indonesia, tetapi lebih jauh lagi, penandatanganan itu ibarat membuka lembaran
baru bagi bangsa Indonesia dalam upaya memenuhi hak-hak penyandangan
disabilitas sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Selain momentum tersebut, perubahan
terhadap UU Penyandang Cacat dianggap mendesak dalam hal substansi materi
muatan. UU Penyandang Cacat dianggap sudah tidak relevan, baik secara
sosiologis, yuridis, maupun filosofis. Secara soisologis, sudah banyak
perubahan yang terjadi dalam masyarakat di 17 tahun keberlakuan UU Penyandang
Cacat, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Revisi terhadap UU
Penyandang Cacat diperlukan untuk melakukan intervensi terhadap pemahaman atau
cara pandang masyarakat dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas sesuai
“amanat” dari CRPD.
Dalam aspek yuridis, UU
Penyandang Cacat disahkan dengan berdasar kepada UUD 1945 pra amendemen. Oleh
karena itu, UU itu sudah harus diganti dengan UU baru yang dibentuk dengan berdasar
kepada konstitusi baru, UUD 1945 pasca amendemen. Selain melihat pada aspek
formal, penggantian UU Penyandang Cacat dengan UU baru juga penting secara
materiil, karena UUD 1945 pasca amendemen lebih kuat dalam menjamin perlindungan
HAM warga negara.
Secara filosofis, dengan dasar
hukum dan kondisi di masyarakat yang sudah berbeda, maka ruh atau jiwa dari UU
Penyandang Cacat sudah tidak sesuai dengan cara pandang yang saat ini
berkembang. Selain itu, UU Penyandang cacat juga dibentuk pada saat rezim orde
baru, yang memiliki kebijakan-kebijakan dalam perlindungan HAM bagi warga
negara yang berbeda dengan saat ini. Sebagai contoh, UU Penyandang Cacat masih
menganggap sang manusia sebagai obyek dalam pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas, sehingga kebijakan yang disusun masih didominasi rasa kasihan (charity base). Sedangkan cara pandang
yang sekarang berkembang ada melihat interaksi antar manusia sebagai obyek
utama, sehingga kebijakan yang disusun adalah untuk menciptakan kondisi yang non-diskriminasi
karena semua manusia memiliki hak yang sama (right base).
6 Poin Penting Materi Muatan RUU Penyandang Disabilitas
Angin segar yang dihembuskan DPR untuk
segera mensahkan UU baru yang mengatur tentang penyandang disabilitas boleh
saja menjadi harapan akan terciptanya UU yang mampu menjamin terpenuhinya
hak-hak penyandang disabilitas. Namun jaminan itu sesungguhnya terletak pada
materi muatan apa yang kemudian akan diatur dalam UU. Apabila suatu UU hanya
didorong untuk cepat selesai tanpa memperhatikan substansinya, maka potensi UU
itu hanya menjadi “macan kertas” sangat besar untuk terjadi.
Lalu, apa sebenarnya yang perlu
diatur dalam UU tersebut? Setidaknya ada 6 poin penting yang harus
diperjuangkan untuk masuk dalam materi muatannya. Pertama, seperti telah dijelaskan sebelumnya, UU Penyandang Cacat
sudah memiliki kelemahan dalam aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis,
sehingga UU itu sudah selayaknya diganti dengan UU baru. Oleh karena itu, yang
perlu dibuat oleh DPR dan Pemerintah, sebagai pembentuk UU, bukanlah hanya
merevisi UU Penyandang Cacat, tetapi membuat UU baru menggantikan UU Penyandang
Cacat.
Kedua, sebagai UU yang mengatur perihal Hak Asasi Manusia, maka
pengaturnya harus sangat lengkap dan detail, karena pengaturan yang berkaitan
dengan HAM harus dituangkan dalam peraturan minimal setingkat undang-undang. UU
baru itu diharapkan tidak membuat ketentuan yang bersifat delegasi kepada
peraturan pelaksanaan, untuk menghindari adanya kesalahan penafsiran, dan agar
dapat langsung dilaksanakan. Untuk itu, konsekuensi bahwa UU baru akan terdiri
dari banyak pasal tidak perlu dipandang sebagai hambatan, justru harus dilihat
sebagai kekuatan demi terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas. Secara umum,
materi muatan dari UU baru itu akan fokus kepada upaya pelaksanaan,
penghormatan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sesuai yang diatur
dalam CRPD.
Ketiga, UU baru yang disusun oleh DPR dan Pemerintah harus mampu
mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas. Saat ini, titik fokus
dalam melihat penyandang disabilitas adalah kepada kecacatan yang dimiliki oleh
seseorang. Pandangan itu harus diubah sesuai dengan yang diatur dalam CRPD,
yaitu dalam memandang penyandang disabilitas harus difokuskan kepada lingkungan
atau kondisi disekitarnya. Sehingga, kondisi dimana tidak terpenuhinya hak-hak
penyandang disabilitas tidak lagi dipandang karena kecacatan yang dimiliki
seseorang, tetapi karena kondisi lingkungan disekitarnya yang tidak mendukung. Dengan
cara pandang baru itu, maka penyandang disabilitas dipandang setara dengan
masyarakat lain yang memiliki hak, dan upaya perbaikan difokuskan kepada sarana
prasarana yang menjadi hambatan, sehingga hak penyandang disabilitas itu dapat
terpenuhi.
Keempat, UU baru harus menempatkan isu pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas sebagai isu multisektor, tidak lagi terpusat dalam bidang sosial.
Hal itu penting untuk dilakukan karena saat ini, pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas tidak lagi dilakukan dengan pendekatan sosial atau charity base, tetapi sudah masuk dalam
pendekatan pemenuhan HAM bagi warga negara, yang pemenuhannya tentu terkait
dengan banyak bidang. Secara teknis, perubahan itu akan berdampak kepada
penanganan isu pemenuhan hak penyandang disabilitas yang tidak lagi didominasi
oleh Kementerian Sosial, tetapi sudah harus masuk dalam agenda seluruh
Kementerian terkait, seperti penyendiaan fasilitas infrastruktur oleh
Kementerian Pekerjaan Umum (PU), pemenuhan kebutuhan obat dan penanganan
kesehatan ke seluruh pelosok nusantara oleh kementerian Kesehatan,
penyelenggaraan pendidikan inklusi oleh Kementerian Pendidikan, dan tugas serta
peran lain oleh Kementerian terkait.
Kelima, kondisi termarjinalkannya penyandang disabilitas saat ini
di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan masa lalu yang memang secara
sistematis memojokan penyandang disabilitas dan memisahkannya dengan masyarakat
umun. Sebagai contoh sebut saja kebijakan pembentukan sekolah luar biasa, rumah
sakit jiwa, dan panti asuhan khusus penyandang disabilitas. Ketiga kebijakan
itu diperuntukan khusus bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka tidak
memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan umum.
Kondisi tersebut membuat
sensitifitas masyarakat terhadap kebutuhan khusus penyandang disabilitas
menjadi kurang, bahkan tidak sensitif sama sekali. Walhasil, pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas menjadi terabaikan, bahkan terlupakan sama sekali. Oleh
karena itu, pemenuhan hak-hak dalam UU baru tentang penyandang disabilitas
harus mengarah kepada tujuan akhir menjadikan penyandang disabilitas mampu
untuk hidup mandiri dan hidup membaur dengan masyarakat. Kebijakan-kebijakan
yang diambil harus diarahkan untuk membuat kehidupan yang inklusif bagi
penyandang disabilitas. Dengan tujuan itu, maka kedepan penyandang disabilitas
bisa mengenyam pendidikan di sekolah umum, pelayanan kesehatan umum mau dan
mampu menangani pasien psikotik (gangguan jiwa), dan panti-panti asuhan khusus
penyandang disabilitas tidak lagi mengisolasi penghuninya, tetapi justru
mendorongnya untuk membaur dengan masyarakat.
Keenam, poin terkahir yang penting untuk diatur dalam UU baru
tetang penyandang disabilitas adalah terkait dengan pendataan penyandang
disabilitas. Agar mampu memenuhi hak-hak penyandang disabilitas dengan maksimal
dan tepat sasaran, maka Negara (dalam hal ini Pemerintah) harus memiliki data
yang valid mengenai warga negara yang masuk dalam kategori penyandang
disabilitas. Pendataan yang dimaksud tidak hanya berkisar terhadap data
pribadi, yang tentunya sudah ada seiring statusnya sebagai warga negara, tetapi
lebih khusus tentang kebutuhan khusus yang diperlukan. Data itu penting karena
jenis kebutuhan khusus bagi penyandang dsiabilitas sangat beragam dan pemenuhannya
pun menjadi tidak sama dan tidak bisa diseragamkan.
Pendataan akan sangat bermanfaat dalam
penentuan prioritas dalam pembentukan kebijakan-kebijakan skala nasional maupun
daerah, dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Selain itu,
dengan data yang bersifat nasional akan membantu dalam pengalokasian anggaran
yang tersedia, mulai dari perencanaan sampai kepada evaluasi penggunaannya.
Anggaran yang ada harus mampu digunakan tepat sasaran, dan mengarah langsung
kepada orang per orang penyandang disabilitas.
Proses Pembentukan yang Partisipatif
Arti penting dari masuknya RUU Perubahan
atas UU Penyandang Cacat dalam Prolegnas bukan hanya mempercepat proses penggantiannya,
tetapi juga momentum untuk melakukan konsolidasi semua stakeholders, dan ajang kampanye kepada masyarakat luas terkait
dengan konsep baru pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Walaubagaimanapun
UU baru yang akan dibuat hanyalah alat, tetapi tujuan akhir dari semua upaya
yang dilakukan adalah mengubah cara pandang masyarakat terhadap penyandang
disabilitas.
Isu penyandang disabilitas
memiliki stakeholder yang banyak,
beragam, dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Selain itu, isu disabilitas
juga memiliki keterkaitan erat dengan berbagai isu yang lain, dari mulai isu
pendidikan, isu gender dan anak, sampai isu politik seperti Pemilu. Kondisi itu
yang membuat momentum saat ini menjadi penting untuk dijaga dan diarahkan
kepada penguatan gerakan penyandang disabilitas. Selain itu, perubahan cara
pandang dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, baik dalam level nasional
maupun internsional, menuntut adanya perubahan dalam kebijakan nasional.
Langkah awal yang harus dilakukan
dalam gerakan tersebut adalah ikut serta secara aktif dalam proses pembahasan
RUU. Masyarakat, terutama para penyandang disabilitas, harus aktif dalam
memberikan masukan dan memantau proses yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah.
Sebaliknya, DPR dan Pemerintah harus dengan itikad baik melibatkan atau membuka
pintu bagi partisipasi masyarakat. Dengan begitu diharapkan akan terbangun
proses yang transparan dan akuntabel, serta materi muatan dari RUU Penyandang
Disabilitas mampu menjadi jawaban atas pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas, yang sudah terlalu lama terabaikan di negeri tercinta ini.
Gambar Ilustrasi : http://www.leftfootforward.org/2011/04/mail-telegraph-disability-benefits-myths/