Ketiga kasus diatas hanya merupakan
contoh kecil dari ketidakadilan terhadap warga negara di hadapan hukum. Bahkan dapat
dikatakan mereka lebih beruntung dibandingkan dengan warga negara yang senasib
lainnya, karena kasusnya sempat dipublikasikan oleh media dan mendapat banyak
respon dari publik, sedangkan warga negara lainnya tidak.
Setidakya ada dua hal yang
menjadi kesamaan dari ketiga kasus diatas, yaitu ketiganya tidak didampingi
oleh pengacara dalam menjalankan proses hukum, dan ketiga terdakwa dalam kasus
diatas tergolong kedalam masyarakat yang miskin. Dari fakta diatas menjadi
tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa proses hukum di Indonesia masih minim
dalam hal menyediakan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin atau marjinal
yang membutuhkan keadilan.
Secara teori, Bantuan Hukum
dianggap mampu memberikan kesamaan dan jaminan terhadap seluruh masyarakat, tanpa
terkecuali, dalam menikmati perlindungan
dan menciptakan persamaan dihadapan hukum. Namun dalam praktiknya,
seperti telah digambarkan sebelumnya, bantuan hukum masih minim dalam
pelaksanaan.
Menurut Dr. Mauro Cappelleti
pelaksanaan Bantuan Hukum di masing-masing Negara dalam kurun waktu tertentu
memiliki tujuan atau motivasinya masing-masing. Pada zaman Romawi, pelaksanaan
Bantuan Hukum lebih didasarkan kepada rasa ingin mendapatkan pengaruh di
masyarakat. Sedangkan pada abad pertengahan Bantuan Hukum diberikan dengan
tujuan sebagai derma agar mendapatkan pahala dari Tuhan. Sampai berkembang lagi
pada masa setelah Revolusi Perancis serta Amerika bahwa Bantuan Hukum diberikan
bukan lagi sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama manusia, tetapi lebih karena
telah dijaminnya hak-hak politik warga negara. Perkembangan selanjutnya
berkaitan dengan lahirnya tujuan negara kesejahteraan atau welfare state, dimana pelaksanaan Bantuan Hukum oleh Negara
kemudian dikaitkan dengan upaya mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi warga
negaranya. Sehingga dari perkembangan itu, konteks bantuan hukum tidak lagi
hanya berkaitan dengan faktor hukum saja, tetapi juga ekonomi dan politik
masyarakat.
Aturan Dasar
Pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia
Di Indonesia, sebagai negara
berkembang dan menganut prinsip negara hukum, pengakuan atas jaminan hak setiap
orang mendapatkan kesamaan kedudukan dan perlakuan dimuka hukum telah
dinyatakan atau diatur jelas dalam UUD 1945. Bahkan dalam pengaturannya, ada
dua Pasal sekaligus yang mengaturnya yaitu Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945. Dengan adanya jaminan hak bagi setiap orang dalam mendapatkan
perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka secara a contrario menjadi kewajiban bagi Negara untuk melaksanakannya,
salah satunya adalah dengan pelaksanaan Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin
atau yang termarjinalkan.
Apabila bercermin dari tiga kasus
yang dikemukakan diawal tulisan, jelas pelaksanaan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 masih jauh dari harapan. Bahkan terasa sangat ironis
ditengah realita maraknya kasus korupsi yang melibatkan uang milyaran sampai
triliunan rupiah, yang masih belum dapat dilacak keberadaannya, serta pelakunya
pun tidak kunjung tertangkap.
Dalam kondisi inilah Pemerintah,
sebagai organ pelaksana dari tugas Negara, harus lebih menggalakan pelaksanaan
Bantuan Hukum di Indonesia. Adanya kebutuhan masyarakat dan kewajiban yang
diamanatkan langsung oleh UUD 1945 sudah lebih dari cukup untuk kemudian
membuat Negara lebih menjamin pelaksanaan dari Bantuan Hukum. Namun, mengingat
kompleksitas dari pelaksanaan Bantuan Hukum di tataran masyarakat, maka
membutuhkan political will yang kuat
dari Pemerintah yang berkuasa. Political
will yang dimaksud adalah keberpihakan Pemerintah dalam melindungi
masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan, dengan menghindarkannya
dari kebodohan dan keterbelakangan, sehingga tidak terjadi lagi ada perbedaan
dalam memperoleh keadilan. Tanpa political
will tersebut sulit kiranya mengharapkan pelaksanaan Bantuan Hukum yang
ideal di negeri ini.
Menakar Political Will Pemerintah
dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum
Merupakan suatu pekerjaan yang
tidak mudah mengukur tingkat Political
Will dari suatu pemerintahan, karena tidak jarang hal itu bergerak dalam
tataran yang abstrak atau tidak terukur. Namun, hal itu bukan berarti tidak
bisa diketahui. Setidaknya ada dua instrumen yang dapat dipakai, yaitu dengan
melihat pada Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011 dan Rancangan
Undang-undang tentang Bantuan Hukum (RUU Bankum) yang sedang dibahas bersama
DPR.
Dalam RKP tahun 2011, yang
dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 29 tahun 2010, jelas dikemukakan bahwa
Pemerintah memberikan perhatian yang khusus terhadap pemberian Bantuan Hukum
kepada warga negara sebagai bentuk penjaminan hak konstitusioalnya. Sejak tahun
2009, Pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan,
dimana ada 8 (delapan) bidang yang akan direformasi, salah satunya adalah
Bantuan Hukum.
Namun, dalam pelaksanaannya,
Bantuan Hukum yang dimaksud hanya mencakup proses hukum di pengadilan saja,
baik dalam hal pembebasan biaya pendaftaran perkara (prodeo) dan biaya
pendampingan oleh advokat/lembaga bantuan hukum. Sedangkan konteks Bantuan Hukum saat ini
mencakup pula kegiatan-kegiatan advokasi, konsultasi, atau bahkan pendidikan
hukum. Selain itu, terkait dengan persebaran akses Bantuan Hukum, juga masih
minim. Pendirian Pos Bantuan Hukum (Posbakum) sebagai amanat dari Undang-undang
No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, belum berlaku secara merata di
setiap pengadilan negeri. Walaupun perlu diapresiasi kesigapan Mahkamah Agung
dalam merespon kewajiban tersebut dengan membentuk Surat Edaran MA (SEMA) No.
10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
Sejak pertengahan tahun 2010, RUU
Bankum sudah mulai dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Namun, setelah melewati dua
kali masa sidang, RUU ini tidak kunjung disahkan. Sehingga terpaksa pembahasan
dilanjutkan dalam masa sidang ketiga, yang merupakan masa sidang terakhir dalam
membahas suatu RUU.
RUU ini diusulkan oleh
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini kembali menegaskan
adanya political will dari Pemerintah
untuk melakukan reformasi di bidang bantuan hukum. Namun, sekali lagi
pembentukan produk seperti RUU Bankum hanya terkesan sebagai simbol saja, tidak
disertai dengan substansi yang benar-benar ditujukan bagi perluasan akses
masyarakat terhadap keadilan melalui bantuan hukum.
Isu Krusial dalam Pembahasan Substansi RUU Bankum
Setidaknya ada tiga isu krusial
yang penting untuk dipastikan dalam substansi RUU Bankum. Pertama, terkait dengan ruang lingkup dari Bantuan Hukum yang
dimaksud dalam RUU Bankum. Kedua, lingkup
obyek penerima Bantuan Hukum. Dan Ketiga,
terkait dengan penyelenggara Bantuan Hukum. Ketiga isu ini jugalah yang
alot diperdebatkan dalam pembahasan RUU Bankum oleh Pemerintah dan DPR.
a. Ruang Linkup Bantuan Hukum
Ruang lingkup menjadi isu penting
dalam konteks Bantuan Hukum saat ini, mengingat istilah Bantuan Hukum sudah
tidak lagi hanya berkutat dalam tataran beracara di pengadilan atau litigasi
saja, tetapi juga non-litigasi, baik berupa advokasi, konsultasi, dan bahkan
pendidikan hukum kepada masyarakat. Bantuan Hukum harus memiliki visi untuk
ikut mencerdaskan masyarakat dalam bidang hukum.
Ruang linkup bantuan hukum ini
sendiri sebenarnya sudah lama dikenla di Indonesia. Sejak tahun 80-an Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) telah memperkenalkan yang namanya Bantuan
Hukum Struktural, dimana kegiatannya tidak melulu beracara di pengadilan tetapi
juga ikut dalam kegiatan penyadaran hukum terutama kepada kelompok masyarakat
yang termarjinalkan, berpikir kritis terhadap ideologi maupun praktik penegakan
hukum yang berjalan, dan juga mendorong pada perubahan suatu kebijakan.
Dalam draft RUU Bankum per 19
Januari 2011, sudah mulai terlihat ada kemajuan dari draft-draft sebelumnya
yang hanya memasukan proses litigasi saja dalam konteks Bantuan Hukum. Dalam
draft terbaru itu sudah masuk pengaturan mengenai non-litigasi dalam ruang
lingkup Bantuan Hukum. Selain itu, “Penyuluhan Hukum” juga diatur dalam Bab
tersendiri. Hal ini menggambarkan bahwa konsep perluasan ruang lingkup sudah
bisa diterima oleh para perancang RUU Bankum. Namun, pengaturan mengenai ruang
lingkup Bantuan Hukum ini tidak diatur secara khusus dalam Bab tertentu
mengenai “Ruang lingkup”, sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan atau multi
penafsiran.
Selain itu, potensi permasalahan lain
dalam RUU Bankum adalah terkait dengan pengaturan teknis. RUU Bankum tidak
mengatur secara tuntas pelaksanaan Bantuan Hukum dalam tataran non-itigasi ini,
dimana pengaturan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hal
ini berarti ketentuan belum bisa dijalankan selama PP yang diamanatkan belum
dibentuk.
b. Penerima Bantuan Hukum
Isu lain yang krusial dalam RUU
Bankum adalah mengenai penerima bantuan hukum. Pada dasarnya setiap warga
negara berhak mendapatkan bantuan hukum. Namun, pengaturan dalam RUU Bankum
lebih memprioritaskan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk mendapatkan
jasa bantuan hukum. Dalam draft terakhir RUU Bankum tercantum bahwa penerima
bantaun hukum adalah orang miskin, orang atau kelompok yang ditentukan oleh UU
ini. Pengaturan tersebut tidak memiliki kejelasan pengertian, baik apa yang
dimaksud dengan “orang miskin” dan apa saja yang termasuk dalam “orang atau
kelompok yang ditentukan oleh UU ini”. Ketidakjelasan itu hanya akan memberikan
standar ganda dalam penentuan syarat penerima bantuan hukum, dan berujung
kepada pembrian bantuan hukum yang salah sasaran.
Banyak standar yang dapat
digunakan dalam menentukan definisi miskin. Setidaknya ada dua standar yang
banyak digunakan, yaitu dari Badan Pusat Statistik dan World Bank (WB). BPS
menetapkan garis kemiskinan mencakup kebutuhan makanan dan minuman sebesar
2.100 kalori, dimana pada tahun 2010 ini setara dengan lebih kurang Rp 7.000,00
per hari. Selain itu, standar yang ditetapkan oleh WB adalah untuk kemiskinan
absolut berpenghasilan dibawah 1 USD per hari, sedangkan untuk kemiskinan
menengah berpenghasilan dibawah 2 USD per-hari.
Namun, melihat dari definisi
“orang miskin” yang dibutuhkan oleh RUU Bankum, dua standar diatas tidaklah
tepat untuk digunakan sebagai satu-satunya standar yang digunakan. Pengertian
miskin tidak hanya mencakup kepada penghasilan seseorang, tetapi lebih dalam
lagi, yaitu dilihat dari tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya (basic need), terutama dalam
hal ini termasuk akses terhadap keadilan. Sehingga, dalam menentukan definisi
miskin tersebut haruslah terlebih dahulu ditetapkan kelayakan minimum. Dengan
penentuan kelayakan minimum ini pula, penerima bantuan hukum kemudian tidak
hanya mereka yang dikategorikan miskin secara pendapatan atau asupan kalori,
tetapi juga kelompok masyarakat yang termarjinalkan pun dapat ikut masuk dalam
kelompok peneima bantuan hukum.
Adapun usul kriteria minimum yang
dapat digunakan untuk menentukan kelayakan minimum dari penerima bantuan hukum
adalah seperti melihat pada kebutuhan dasarnya, yatu pemenuhan pangan, sandang,
dan papan; tingkat pendidikan; serta kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi
di masyarakat.
c. Penyelenggara Bantuan Hukum
Isu krusial terakhir yang penting
untuk diperhatikan adalah terkait dengan penyelenggara jasa bantuan hukum.
Dalam perkembangannya ada 2 (dua) pendapat yang mengemuka terkait dengan hal
ini, yaitu dibuat satu lembaga independen baru atau disebut sebagai Komisi
Nasional Bantuan Hukum (Komnasbankum), atau fungsi pemberian Bantuan Hukum
masuk kedalam tupoksi dari Kementerian Hukum dan HAM.
Pada dasarnya, dalam isu ini
tidak lantas hanya memilih salah satu pendapat tersebut, tetapi jauh daripada
itu penting untuk terlebih dahulu memastikan kriteria dari penyelenggara jasa
bantuan hukum kelak. Sehingga apapun pilihannya, yang akan berdasar kepada keputusan politik, kemudian dapat mewujudkan
kelembagaan yang mampu melaksanakan bantuan hukum sesuai dengan tujuannya.
Dalam menentukan kriteria
tersebut, perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah melihat contoh
penyelenggara bantuan hukum di negara lain. Dibawah ini adalah contoh bentuk penyelenggara
bantuan hukum di beberapa negara, dimana pelaksanaan bantuan hukum di negara
tersebut relatif sudah baik :
NEGARA
|
SUMBER DANA
|
PENYELENGGARA
|
PEMBERI
|
KETERANGAN
|
Australia |
Negara |
Komisi Bantuan Hukum |
Staf Pengacara Komisi,
Pengacara Privat |
|
Taiwan |
Negara dan donasi |
Yayasan Bantuan Hukum |
Pengacara tingkat lokal, Ornop |
Berdasarkan Legal Aid Act tahun
2004 |
Afrika Selatan |
Negara |
Dewan Bantuan Hukum atau Legal Aid Board (LAB) |
Ornop, Universitas, Pengacara
Privat |
Berdasarkan Legal Aid Act, No.
22 of 1969 |
Belanda |
Dana Publik atau Bantuan
Masyarakat |
Pusat Bantuan, Nasehat, dan
Pembelaan Hukum |
Pengacara Privat |
Contoh di beberapa negara diatas
menunjukan suatu keberagaman dalam hal bentuk penyelenggara. Hal ini wajar
terjadi mengingat setiap negara memiliki keunikannya, dan karakter
masyarakatnya masing-masing. Namun, ada beberapa hal yang penting untuk
dicatat, yaitu Pertama, keempat
negara diatas memilih bentuk penyelenggara yang bersifat independen atau diluar
tubuh Pemerintah. Kedua, walaupun
independen namun pembiayaan berasal dari Anggaran Negara, walaupun tidak semua.
Tercatat Australia, Taiwan, dan Afrika Selatan yang tetap memanfaatkan dana
dari Anggaran Negara untuk pelaksanaan bantuan hukumnya. Hal ini menggambarkan
bahwa tetap ada kontribusi negara dalam pelaksanaan bantuan hukum.
Selain melihat dari contoh negara
lain, perlu disadari pula bahwa posisi penyelenggara bantuan hukum sangat
strategis, karena memiliki banyak kewenangan, yaitu dari mulai menyeleksi
permohonan yang diajukan oleh calon penerima bantuan hukum, melakukan
sertifikasi/verifikasi kepada pemberi Bantuan Hukum, sampai mengatur anggaran
pelaksanaan bantuan hukum. Selain itu, permasalahan mengenai minimnya akses
masyarakat terhadap bantuan hukum pun harus dipertimbangkan untuk kemudian
diselesaikan dalam konteks penyelenggara bantuan hukum ini.
Dari
penjelasan mengenai penyelenggara bantuan hukum di negara lain, kestrategisan
posisi, dan akses yang masih minim, kemudian dapat ditentukan kritera-kriteria
yang diperlukan. Adapun usulan kriteria tersebut adalah Pertama, harus adanya jaminan akses terhadap anggaran negara untuk
pembiayaan bantuan hukum. Kedua,
lembaga penyelenggara bantuan hukum harus bekerja secara profesional, akuntabel,
dan transparan. Ketiga, penyelenggara
bantuan hukum harus mampu membuat jaringan diseluruh Indonesia, sehingga dapat
memudahkan akses masyarakat terhadap para pemberi bantuan hukum.
gambar ilustrasi: http://hukumkonsultan.blogspot.com/2012/10/kantor-hukum-sutinah-zairin-rekan.html
gambar ilustrasi: http://hukumkonsultan.blogspot.com/2012/10/kantor-hukum-sutinah-zairin-rekan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar