Kamis, 15 September 2011

CATATAN KRITIS: PERAN STRATEGIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI DALAM MENENTUKAN WAJAH PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN


Dalam kurun waktu dua belas tahun terakhir, dunia perguruan tinggi di Indonesia terus mengalami perubahan dalam hal pengelolaannya. Perubahan tersebut setidaknya terlihat dari berbagai peraturan yang dibentuk. Belum berhenti dalam kurun waktu tersebut, 7 April 2011 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) sebagai usul inisiatif DPR, untuk kemudian dibahas bersama dengan Pemerintah. RUU PT ini juga mengatur mengenai bentuk dan tata kelola perguruan tinggi, sehingga berpotensi kembali mengubah bentuk dan tata kelola perguruan tinggi yang berjalan saat ini.

RUU PT pada dasarnya mengatur mengenai pendidikan tinggi dalam arti luas. Namun, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa fokus utama dari RUU ini sebenarnya adalah tentang perguruan tinggi. Setidaknya ada dua alasan yang dapat membuktikan hal tersebut.

Pertama, dari segi substansi pengaturan, dari 102 pasal yang diatur, 80% diantaranya mengatur mengenai perguruan tinggi. Dan Kedua, Judul awal yang dipakai oleh RUU ini, yaitu pada proses persiapan oleh DPR, adalah “Rancangan Undang-undang Tata Kelola Perguruan Tinggi”, sebelum kemudian disepakati untuk diubah dalam rapat internal Komisi X DPR RI. Judul itu pulalah yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011.[1]

Perkembangan Tata Kelola Perguruan Tinggi Dalam 12 Tahun Terakhir

Sebelum membahas secara mendalam mengenai substansi pengaturan dari RUU PT, penting untuk terlebih dahulu mengetahui perkembangan tata kelola perguruan tinggi pada 12 tahun terakhir, terutama pada perguruan tinggi yang sebelum tahun 1999 disebut sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Hal tersebut diperlukan mengingat pembentukan RUU PT bukanlah didasari adanya delegasian khusus oleh suatu UU, melainkan karena para pembuat kebijakan menganggap RUU ini diperlukan untuk mengakomodir ide perubahan yang ada, maupun dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya dalam tata kelola perguruan tinggi.

Seperti telah dikemukakan diawal tulisan bahwa tata kelola perguruan tinggi telah mengalami berbagai perubahan kebijakan dalam 12 tahun terakhir, dan RUU PT ini berpotensi membawa perubahan berikutnya. Dalam memandang hal itu, penulis tidak berposisi untuk status-quo atau anti-perubahan. Penulis memahami bahwa perubahan pada sistem adalah suatu keniscayaan. Banyak faktor yang ikut mempengaruhi hadirnya suatu perubahan. Bahkan bukan tidak mungkin pada suatu titik kondisi tersebut menjelma menjadi suatu kebutuhan yang mendesak.

Pada tahun 1999, Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. PP 60/1999 ini merupakan peraturan delegasian atau diamanatkan langsung untuk dibentuk oleh Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam PP ini diatur pula mengenai perguruan tinggi, yang salah satu pasalnya, yaitu Pasal 123 ayat (1) menyatakan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri”. Pada ayat (2) diatur kemudian bahwa ketentuan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Oleh karena itulah kemudian Pemerintah kembali membentuk PP, yaitu Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum.

Secara garis besar, bentuk perguruan tinggi yang diatur dalam PP 61/1999 adalah Badan Hukum Milik Negara. Tercatat sampai tahun 2008, telah ada 7 perguruan tinggi yang berstatus sebagai BHMN, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Sumatera Utara (USU), Institut Tekhnologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Konsep BHMN ini masih berjalan sampai saat ini, namun ditengah perjalanannya diwarnai dengan dua kali pergantian kebijakan, yaitu kebijakan tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan kebijakan tentang Badan Layanan Umum (BLU). Melalui Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) konsep BHP diterapkan. Konsep ini digadang sebagai konsep yang akan mampu menyempurnakan konsep BHMN yang sudah kadung diprotes oleh banyak kalangan. Namun sayangnya, belum sempat UU ini berjalan secara sempurna, Mahkamah Konstitusi sudah terlebih dahulu menyatakannya inkonstitusional melalui Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa UU BHP tidak memiki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, dalam amar putusan lain, MK juga menyatakan bahwa,

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu”

Dari amar putusan yang disebutkan terakhir ini dapat diketahui bahwa makna dari putusan MK adalah menyatakan UU BHP inkonstitusional, namun pengaturan untuk mengelola perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum pendidikan, yang ada dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, tetap konstitusional sepanjang badan hukum pendidikan tersebut bukan suatu bentuk badan hukum khusus. Oleh karena itu, ide untuk melakukan pengelolaan perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum pendidikan tetap mengemuka.

Pasca dibentuknya UU BHP pada akhir tahun 2008, Pemerintah kemudian mengambil beberapa langkah strategis untuk memuluskan pelaksanaan dari UU BHP ini. Salah satu langkahnya adalah dengan mengganti PP 60/1999 dan PP 61/1999 dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun, dalam PP 17/2010 tersebut tidak mengatur mengenai tata kelola perguruan tinggi, yang dianggap telah cukup diatur dalam UU BHP. Langkah inilah yang kemudian memunculkan kekosongan hukum dalam hal tata kelola perguruan tinggi pasca UU BHP dinyatakan tidak mengikat oleh MK. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional kemudian mengambil inisiatif untuk segera membentuk satu PP yang mengatur mengenai tata kelola perguruan tinggi, yang kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No, 17 tahun 2010.

Dalam PP 66/2010 inilah Pemerintah mulai menerapkan gagasanya, yaitu konsep BLU. Dengan konsep
tersebut, status perguruan tinggi yang sebelumnya berbentuk BHMN akan menjadi unit pelaksana teknis dari Kementerian Pendidikan Nasional, yang berarti berada dibawah komando Menteri Pendidikan Nasional dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Hal inilah yang kemudian mendapat tentangan keras dari para PT BHMN, karena merasa hak otonominya, baik dalam hal akademik maupun non-akademik, akan tersandera kembali seperti pada masa orde baru silam.

Pembentukan PP 66/2010 tersebut memang tidak lantas berlaku pada seluruh PT BHMN, tetapi paling lambat 31 Desember 2012, seluruh PT BHMN harus sudah menyesuaikan bentuk dan sistem keuangannya dengan bentuk BLU.[2] Namun, perlu untuk disadari bahwa apabila RUU PT mengatur lain dari apa yang diatur oleh PP 66/2010, maka baik masa transisi maupun bentuk pengelolaan perguruan tinggi otomatis menjadi tidak berlaku, karena tingkat UU yang lebih tinggi daripada PP.

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa RUU PT memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan wajah pengelolaan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan tinggi secara umum di masa depan. Setidaknya ada dua peran strategis yang bisa dicatat, pertama, waktu pengesahan RUU PT akan sangat menentukan apakah masa transisi yang diatur dalam PP 66/2010 akan tetap berlaku sampai berakhir, dan Kedua, substansi dari UU PT akan menentukan bentuk dari pengelolaan PT, terutama PT BHMN.

Substansi Pengaturan RUU PT

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu substansi dari RUU PT adalah mengenai bentuk dari pengelolaan perguruan tinggi. Pada pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa perguruan tinggi diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat. Pada tulisan ini, penulis akan fokus pada perguruan tinggi yang dibentuk oleh Pemerintah, baik PTN maupun PTN Khusus.[3]

Pada pasal 41 dikemukakan dengan jelas bahwa bentuk pengelolaan dari PTN dan PTN Khusus kedepan adalah berbadan hukum, mandiri, atau unit pelaksana teknis. Namun, apa yang akan menjadi alat ukur untuk menentukan satu perguruan tinggi masuk pada suatu kelompok belum diatur secara jelas dalam RUU ini. Adapun perbedaan antara ketiga kelompok bentuk pengelolaan perguruan tinggi diatas adalah sebagai berikut:


BERBADAN HUKUM
MANDIRI
UNIT PELAKSANA TEKNIS
Delegasian Kewenangan
Bidang Akademik dan Non-Akademik
Bidang Akademik dan Non-Akademik
-
Statuta (Peraturan Dasar)
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Ditetapkan oleh Majelis Pemangku (MWA) atas usul Senat Akademik
Ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik
Organ
1.       Majelis Pemangku
2.       Pimpinan
3.       Senat Akademik
4.       Satuan Pengawas
1.       Majelis Pemangku
2.       Pimpinan
3.       Senat Akademik
4.       Satuan Pengawas
1.       Pimpinan
2.       Senat Akademik
3.       Satuan Pengawas

Dari perbandingan diatas dapat diketahui bahwa ketiga kelompok bentuk pengelolaan perguruan tinggi memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari karakteristik tersebut sebenarnya bukanlah ide yang baru, atau dengan kata lain sama dengan karakteristik bentuk pengelolaan perguruan tinggi yang pernah digagas sebelumnya, seperti BHMN, BHP, maupun BLU.

Untuk melihat kemiripan tersebut, dapat dicermati dari bentuk statuta atau peraturan dasar yang dibentuknya. Dari bentuk statuta dapat dilihat lebih lanjut mengenai besar/kecilnya otonomi yang dimiliki atau besar/kecilnya peran Pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi tersebut.

Bentuk statuta dari PTN dan PTN Khusus berbadan hukum adalah ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Hal tersebut memiliki kemiripan dengan bentuk BHMN yang diatur dalam PP 61/1999. Dalam Pasal 4 PP 61/1999 diatur bahwa anggaran dasar tercantum dalam penetapan PT BHMN yang berbentuk Peraturan Pemerintah.

Sedangkan dalam bentuk statuta dari PT dan PTN Khusus mandiri adalah ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas usul dari Senat Akademik. Dengan pola pembentukan seperti itu, bentuk ini memiliki kemiripan dengan bentuk BHP. Pada pasal 22 huruf a UU BHP disebutkan bahwa salah satu tugas dari organ representasi pemangku kepentingan (istilah yang sama dengan Majelis Pemangku dalam RUU PT) adalah menyusun dan menetapkan perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta perubahannya.

Sama halnya dengan PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, dimana dari istilahnya saja sudah bisa dipahami bahwa bentuk ini sama dengan BLU pada PP 66/2010. Pengertian BLU dalam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005, Pasal 1 angka 1, adalah

instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.”

Dengan pengertian tersebut secara otomatis statuta yang dibentuk adalah tanggung jawab dari Menteri yang bersangkutan, sehingga dalam pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri tersebut.

Berdasar kepada penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pengelolaan yang diatur dalam RUU PT ini bersifat mengakomodir semua ide atau gagasan yang berkembang saat ini, dimana bentuk BHMN, BHP, maupun BLU mendapatkan tempat masing-masing. Dari cara pengaturan tersebut ada sisi positif dan sisi negatif yang berpotensi timbul. Sisi positifnya adalah semua pihak terakomodir ide dan gagasannya, sehingga akan bisa meminimalisir konflik dikemudian hari. Dan sisi negatifnya adalah menjadi tidak jelasnya bentuk pengelolaan yang menjadi prioritas dari Pemerintah untuk dikembangkan, dan juga berpotensi untuk memunculkan persaingan antar perguruan tinggi apabila dalam praktiknya kelak ada insentif yang berbeda antara bentuk penglolaan satu dengan yang lainnya.

Pengaturan Lain Dalam RUU PT

Selain mengatur mengenai bentuk pengelolaan perguruan tinggi, RUU PT juga mengatur mengenai isu lain yang penting untuk diketahui, yaitu terkait dengan Pendanaan, status dosen dan tenaga kependidikan, serta unsur dalam Majelis Pemangku.

Dalam Pasal 82 RUU PT disebutkan bahwa pendanaan dari PTN dan PTN khusus merupakan kewajiban tanggung jawab dari Pemerintah, serta dapat juga berasal dari kerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau dunia usaha. Sedangkan pemasukan dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan donatur masuk dalam bentuk sumbangan. Namun dalam Pasal 88 ayat (3) disebutkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari keseluruhan biaya operasional. Dari segi pengaturan, kedua pasal tersebut saling bertolak belakang dalam menentukan alokasi pendanaan dari mahasiswa, apakah bersifat sumbangan yang berarti sukarela, atau bukan sumbangan sehingga dapat ditentukan maksimal jumlahnya.

Terkait dengan isu status dosen dan tenaga kependidikan, RUU PT mengatur dalam Pasal 60 ayat (2) bahwa dosen dan tenaga kependidikan dapat berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan/atau pegawai tidak tetap. Sehingga dengan RUU PT memunculkan kembali kewenangan PTN dan PTN Khusus untuk merekrut dosen maupun tenaga kependidikan sendiri, diluar mekanisme penerimaan PNS.

Pada pasal 47 RUU PT diatur mengenai organ dalam perguruan tinggi. Salah satu organ yang dimaksud adalah Majelis Pemangku, atau dalam konteks BHMN disebut juga sebagai Majelis Wali Amanat (MWA). Pada pasal 49 RUU PT diatur lebih lanjut mengenai komposisi unsur yang ada dalam Majelis Pemangku tersebut, yaitu :
1.       Menteri atau yang mewakili;
2.       Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
3.       Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
4.       Wakil dari Senat Akademik;
5.       Pemimpin perguruan tinggi;
6.       gubernur;
7.       wakil dari Sivitas Akademika; dan
8.       wakil dari masyarakat.

Dari komposisi tersebut, setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, keberadaan 3 Menteri atau perwakilannya dalam Majelis Pemangku adalah sesuatu hal yang berbeda dibanding dengan unsur dalam MWA di BHMN yang hanya terdiri dari 1 Menteri atau perwakilannya. Dengan banyaknya perwakilan Pemerintah dalam Majelis Pemangku menjadikan timbul pertanyaan terkait dengan tingkat otonomi yang dimiliki oleh PTN dan PTN Khusus yang bersangkutan.

Kedua, terkait dengan wakil dari Sivitas Akademika. Dalam penjelasan aturan tersebut disebutkan bahwa Wakil dari sivitas akademika meliputi dosen dan mahasiswa dengan perwakilannya yang terbentuk melalui senat.” Dari ketentuan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan wakil sivitas akademika adalah dosen dan mahasiswa. Namun, menjadi pertanyaan mengapa dua unsur yang sebelumnya terpisah pada MWA di BHMN menjadi ada dalam satu unsur? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab oleh para perancang, karena akan berdampak kepada jumlah perwakilan yang akan masuk dalam Majelis Pemangku. Apabila dalam unsur yang sama, kemungkinan besar hanya akan ada satu orang perwakilan dengan menggunakan bendera yang sama, yaitu wakil sivitas akademika.

Kesimpulan

RUU PT memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan wajah pendidikan tinggi Indonesia di masa depan, terutama dalam hal pengelolaan perguruan tinggi. Ide atau gagasan yang menjiwai dari pengaturan dalam RUU PT sebenarnya tidaklah baru, melainkan lebih cenderung mengakomodir ide yang ada. Namun dengan pengaturan ang akomodatif, justru menimbulkan kesan bahwa pengaturan dalam RUU PT ini tidak tegas dengan konsep yang dipilih, dan berpotensi menimbulkan kebingungan yang berdampak kepada tujuan yang tidak tercapai di kemudian hari. Selain itu, masih ada beberapa pengaturan yang membingungkan, baik dalam tataran konsep maupun aplikasi di lapangan.


Bercermin dari catatan kritis diatas, masih ada cukup waktu untuk seluruh stakeholders dari RUU PT ini ikut memantau jalannya pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Dengan sangat strategisnya peran dari RUU PT ini tentu bukan metode pemantauan “main-main” yang dipilih, karena untuk memastikan lahirnya suatu UU yang baik haruslah disertai dengan peran serta masyarakat yang aktif, selain prosesnya yang transparan dan akuntabel.



                [1] Pada Prolegnas tahun 2005-2009, RUU Tata Kelola Perguruan Tinggi juga sempat diajukan untuk menjadi RUU prioritas untuk dibahas. Namun setelah melewati tahap evaluasi, RUU tersebut dianggap belum layak untuk diprioritaskan, karena substansinya sangat dekat dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[2] Pasal 220B ayat (3) PP 66/2010
[3] PTN adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan PTN Khusus adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Kementerian diluar Kementerian Pendidikan Nasional dan/atau Lembaga Pemerintahan Non-Kemeterian. Baca Pasal 31 ayat (1) dan (2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar