Kamis, 13 September 2012

UPAYA PANTANG MENYERAH INTERVENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pembentukan Panitia Kerja dengan nama “Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah” oleh Komisi III DPR menuai banyak penolakan dari masyarakat. Argumentasi bahwa Panja ini dapat mencederai independensi peradilan di Indonesia menjadi argumentasi yang banyak diserukan.

Secara formal, Komisi III, sebagai salah satu alat kelengkapan DPR, memiliki kewenangan dalam membentuk Panja. Pasal 144 ayat (1) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Panja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran. Selain itu, dalam Pasal 144 ayat (2) diatur bahwa Panja bertugas untuk membahas substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atan rapat kerja Badan Anggaran. Sehingga pembentukan Panja tersebut dapat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur.
Tentu dalam membahas pembentukan Panja ini tidak hanya cukup dalam tataran syarat formal atau prosedur semata, namun lebih jauh dari itu, yaitu terkait praktik dalam menjalankan kekuasaan di dalam sebuah Negara Hukum. UUD 1945 telah dengan tegas dan jelas memngatur pembagian kekuasaan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan MA sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman  (yudikatif) di Indonesia. Pembagian kekuasaan itu pun sudah pula diberi batasan-batasan dan fungsi check and balances yang jelas antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 diatur dengan tegas bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Pembentukan Panja Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah ini jelas berpotensi untuk melakukan intervensi yang mengancam kemerdekaan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang berarti berpotensi melanggar hukum. Setidaknya ada 3 (tiga) indikasi yang patut dikemukakan dalam menilai potensi pelanggaran hukum itu. Pertama, objek yang akan menjadi pusat dari pekerjaan Panja adalah Putusan MA, yang merupakan produk langsung dari hakim MA. Pengkritisan terhadap putusan MA ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, dan secara kelembagaan akan mengancam independensi peradilan dalam memutus suatu perkara.

Kedua, subyek yang akan melaksanakan pekerjaan ini adalah anggota DPR, yang merupakan lembaga politik dan memiliki kepentingan tertentu. Sebagai lembaga politik, sulit untuk kemudian memisahkan peninjauan terhadap Putusan dari kepentingan politik. Argumentasi ini bukan berarti melarang sama sekali penijauan terhadap Putusan MA atau pengadilan dibawahnya, namun harus jelas dan sesuai konteksnya, yaitu untuk kepentingan peningkatan kualitas dalam rangka peninjauan akademik. Sehingga akan lebih tepat apabila peninjauan terhadap putusan MA ini dilakukan oleh kalangan akademisi, dan untuk kepentingan akademis.

Ketiga, adanya ketidakjelasan dari maksud dan tujuan dari pembentukan Panja. Apabila merujuk kepada argumentasi dari beberapa anggota DPR, Panja ini akan menyisir putusan-putusan MA berkekuatan hukum tetap yang dianggap bermasalah, terutama dengan permasalahan tidak dapat dieksekusi. Tujuan ini dalam pelaksanaannya bukan tidak mungkin akan mempertanyakan kembali kasus yang bersangkutan, dimana dalam hal ini sangat rentan adanya kepentingan-kepentingan lain, yang bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk membuka kasusnya kembali.

Dengan ketiga argumentasi diatas, jelas Komisi III DPR sudah harus melakukan peninjauan kembali bahkan  membatalkan pembentukan Panja tersebut. Selanjutnya, apabila memang benar DPR berniat untuk melakukan peninjauan terhadap putusan MA untuk kepentingan memahami permasalahan yang akan menjadi bahan revisi dari Undang-undang MA, maka akan lebih baik apabila dikerjakan oleh tenaga peneliti atau staff di sekretariat Komisi III, sehingga kecurigaan akan adanya kepentingan politik dibalik pembentukan Panja dapat terhidarkan, sekaligus tidak membebani anggota dengan pekerjaan yang sifatnya teknis.

Sebaliknya, apabila Komisi III DPR tetap memaksakan diri melanjutkan Panja tersebut, maka independensi peradilan di Indonesia akan terancam. Sekaligus semakin menguatkan kesan bahwa DPR, dalam hal ini juga termasuk partai politik dibelakangnya, memang sedang ingin mengintervensi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah sebelumnya berhasil memasukan unsur DPR kedalam Dewan etik hakim konstitusi dalam ketentuan UU No. 18 tahun 2011 tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ketentuan itu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2011 lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar