Dalam kurun waktu dua belas tahun
terakhir, dunia perguruan tinggi di Indonesia terus mengalami perubahan dalam
hal pengelolaannya. Perubahan tersebut setidaknya terlihat dari berbagai
peraturan yang dibentuk. Belum berhenti dalam kurun waktu tersebut, 7 April
2011 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang
Pendidikan Tinggi (RUU PT) sebagai usul inisiatif DPR, untuk kemudian dibahas
bersama dengan Pemerintah. RUU PT ini juga mengatur mengenai bentuk dan tata
kelola perguruan tinggi, sehingga berpotensi kembali mengubah bentuk dan tata
kelola perguruan tinggi yang berjalan saat ini.
RUU PT pada dasarnya mengatur
mengenai pendidikan tinggi dalam arti luas. Namun, tidaklah berlebihan apabila
dikatakan bahwa fokus utama dari RUU ini sebenarnya adalah tentang perguruan
tinggi. Setidaknya ada dua alasan yang dapat membuktikan hal tersebut.
Pertama, dari segi substansi pengaturan, dari 102 pasal yang diatur,
80% diantaranya mengatur mengenai perguruan tinggi. Dan Kedua, Judul awal yang dipakai oleh RUU ini, yaitu pada proses
persiapan oleh DPR, adalah “Rancangan Undang-undang Tata Kelola Perguruan
Tinggi”, sebelum kemudian disepakati untuk diubah dalam rapat internal Komisi X
DPR RI. Judul itu pulalah yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tahun 2011.[1]
Perkembangan Tata Kelola Perguruan Tinggi Dalam 12 Tahun Terakhir
Sebelum membahas secara mendalam mengenai
substansi pengaturan dari RUU PT, penting untuk terlebih dahulu mengetahui
perkembangan tata kelola perguruan tinggi pada 12 tahun terakhir, terutama pada
perguruan tinggi yang sebelum tahun 1999 disebut sebagai Perguruan Tinggi
Negeri (PTN).
Hal tersebut diperlukan mengingat
pembentukan RUU PT bukanlah didasari adanya delegasian khusus oleh suatu UU,
melainkan karena para pembuat kebijakan menganggap RUU ini diperlukan untuk
mengakomodir ide perubahan yang ada, maupun dampak yang dihasilkan dari
perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya dalam tata kelola perguruan tinggi.
Seperti telah dikemukakan diawal
tulisan bahwa tata kelola perguruan tinggi telah mengalami berbagai perubahan
kebijakan dalam 12 tahun terakhir, dan RUU PT ini berpotensi membawa perubahan
berikutnya. Dalam memandang hal itu, penulis tidak berposisi untuk status-quo atau anti-perubahan. Penulis
memahami bahwa perubahan pada sistem adalah suatu keniscayaan. Banyak faktor
yang ikut mempengaruhi hadirnya suatu perubahan. Bahkan bukan tidak mungkin
pada suatu titik kondisi tersebut menjelma menjadi suatu kebutuhan yang
mendesak.
Pada tahun 1999, Pemerintah membentuk
Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. PP 60/1999
ini merupakan peraturan delegasian atau diamanatkan langsung untuk dibentuk
oleh Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
PP ini diatur pula mengenai perguruan tinggi, yang salah satu pasalnya, yaitu
Pasal 123 ayat (1) menyatakan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat
ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri”. Pada ayat (2)
diatur kemudian bahwa ketentuan tersebut ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah. Oleh karena itulah kemudian Pemerintah kembali membentuk PP, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai
Badan Hukum.
Secara garis besar, bentuk
perguruan tinggi yang diatur dalam PP 61/1999 adalah Badan Hukum Milik Negara.
Tercatat sampai tahun 2008, telah ada 7 perguruan tinggi yang berstatus sebagai
BHMN, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM),
Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Sumatera Utara (USU), Institut
Tekhnologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).
Konsep BHMN ini masih berjalan
sampai saat ini, namun ditengah perjalanannya diwarnai dengan dua kali
pergantian kebijakan, yaitu kebijakan tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan kebijakan
tentang Badan Layanan Umum (BLU). Melalui Undang-undang No. 9 tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) konsep BHP diterapkan. Konsep ini
digadang sebagai konsep yang akan mampu menyempurnakan konsep BHMN yang sudah kadung
diprotes oleh banyak kalangan. Namun sayangnya, belum sempat UU ini berjalan secara
sempurna, Mahkamah Konstitusi sudah terlebih dahulu menyatakannya
inkonstitusional melalui Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.
Dalam amar
putusannya, MK menyatakan bahwa UU BHP tidak memiki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, dalam amar putusan lain, MK juga menyatakan bahwa,
“Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional konstitusional sepanjang frasa “badan
hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara
pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan
hukum tertentu”
Dari amar
putusan yang disebutkan terakhir ini dapat diketahui bahwa makna dari putusan
MK adalah menyatakan UU BHP inkonstitusional, namun pengaturan untuk mengelola
perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum pendidikan, yang ada dalam Pasal 53
ayat (1) UU Sisdiknas, tetap konstitusional sepanjang badan hukum pendidikan
tersebut bukan suatu bentuk badan hukum khusus. Oleh karena itu, ide untuk
melakukan pengelolaan perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum pendidikan
tetap mengemuka.
Pasca dibentuknya UU BHP pada akhir
tahun 2008, Pemerintah kemudian mengambil beberapa langkah strategis untuk
memuluskan pelaksanaan dari UU BHP ini. Salah satu langkahnya adalah dengan
mengganti PP 60/1999 dan PP 61/1999 dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun, dalam PP
17/2010 tersebut tidak mengatur mengenai tata kelola perguruan tinggi, yang
dianggap telah cukup diatur dalam UU BHP. Langkah inilah yang kemudian
memunculkan kekosongan hukum dalam hal tata kelola perguruan tinggi pasca UU BHP
dinyatakan tidak mengikat oleh MK. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan
Nasional kemudian mengambil inisiatif untuk segera membentuk satu PP yang
mengatur mengenai tata kelola perguruan tinggi, yang kemudian lahirlah
Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No, 17 tahun
2010.
Dalam PP 66/2010 inilah Pemerintah mulai
menerapkan gagasanya, yaitu konsep BLU. Dengan konsep
tersebut, status perguruan tinggi yang sebelumnya berbentuk BHMN akan menjadi unit pelaksana teknis dari Kementerian Pendidikan Nasional, yang berarti berada dibawah komando Menteri Pendidikan Nasional dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Hal inilah yang kemudian mendapat tentangan keras dari para PT BHMN, karena merasa hak otonominya, baik dalam hal akademik maupun non-akademik, akan tersandera kembali seperti pada masa orde baru silam.
tersebut, status perguruan tinggi yang sebelumnya berbentuk BHMN akan menjadi unit pelaksana teknis dari Kementerian Pendidikan Nasional, yang berarti berada dibawah komando Menteri Pendidikan Nasional dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Hal inilah yang kemudian mendapat tentangan keras dari para PT BHMN, karena merasa hak otonominya, baik dalam hal akademik maupun non-akademik, akan tersandera kembali seperti pada masa orde baru silam.
Pembentukan PP 66/2010 tersebut memang
tidak lantas berlaku pada seluruh PT BHMN, tetapi paling lambat 31 Desember
2012, seluruh PT BHMN harus sudah menyesuaikan bentuk dan sistem keuangannya
dengan bentuk BLU.[2]
Namun, perlu untuk disadari bahwa apabila RUU PT mengatur lain dari apa yang
diatur oleh PP 66/2010, maka baik masa transisi maupun bentuk pengelolaan
perguruan tinggi otomatis menjadi tidak berlaku, karena tingkat UU yang lebih
tinggi daripada PP.
Dari penjelasan diatas terlihat
bahwa RUU PT memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan wajah
pengelolaan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan tinggi secara umum di
masa depan. Setidaknya ada dua peran strategis yang bisa dicatat, pertama, waktu pengesahan RUU PT akan
sangat menentukan apakah masa transisi yang diatur dalam PP 66/2010 akan tetap
berlaku sampai berakhir, dan Kedua, substansi
dari UU PT akan menentukan bentuk dari pengelolaan PT, terutama PT BHMN.
Substansi Pengaturan RUU PT
Seperti telah dikemukakan
sebelumnya bahwa salah satu substansi dari RUU PT adalah mengenai bentuk dari
pengelolaan perguruan tinggi. Pada pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa perguruan
tinggi diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat. Pada tulisan ini,
penulis akan fokus pada perguruan tinggi yang dibentuk oleh Pemerintah, baik
PTN maupun PTN Khusus.[3]
Pada pasal 41 dikemukakan dengan
jelas bahwa bentuk pengelolaan dari PTN dan PTN Khusus kedepan adalah berbadan
hukum, mandiri, atau unit pelaksana teknis. Namun, apa yang akan menjadi alat
ukur untuk menentukan satu perguruan tinggi masuk pada suatu kelompok belum
diatur secara jelas dalam RUU ini. Adapun perbedaan antara ketiga kelompok
bentuk pengelolaan perguruan tinggi diatas adalah sebagai berikut:
BERBADAN
HUKUM
|
MANDIRI
|
UNIT
PELAKSANA TEKNIS
|
|
Delegasian Kewenangan
|
Bidang Akademik dan Non-Akademik
|
Bidang Akademik dan Non-Akademik
|
-
|
Statuta (Peraturan Dasar)
|
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri
|
Ditetapkan oleh Majelis Pemangku (MWA) atas usul
Senat Akademik
|
Ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik
|
Organ
|
1. Majelis
Pemangku
2. Pimpinan
3. Senat
Akademik
4. Satuan
Pengawas
|
1. Majelis
Pemangku
2. Pimpinan
3. Senat
Akademik
4. Satuan
Pengawas
|
1. Pimpinan
2. Senat
Akademik
3. Satuan
Pengawas
|
Dari perbandingan diatas dapat
diketahui bahwa ketiga kelompok bentuk pengelolaan perguruan tinggi memiliki
karakteristiknya masing-masing. Dari karakteristik tersebut sebenarnya bukanlah
ide yang baru, atau dengan kata lain sama dengan karakteristik bentuk
pengelolaan perguruan tinggi yang pernah digagas sebelumnya, seperti BHMN, BHP,
maupun BLU.
Untuk melihat kemiripan tersebut,
dapat dicermati dari bentuk statuta atau peraturan dasar yang dibentuknya. Dari
bentuk statuta dapat dilihat lebih lanjut mengenai besar/kecilnya otonomi yang
dimiliki atau besar/kecilnya peran Pemerintah dalam pengelolaan perguruan
tinggi tersebut.
Bentuk statuta dari PTN dan PTN
Khusus berbadan hukum adalah ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Hal tersebut
memiliki kemiripan dengan bentuk BHMN yang diatur dalam PP 61/1999. Dalam Pasal
4 PP 61/1999 diatur bahwa anggaran dasar tercantum dalam penetapan PT BHMN yang
berbentuk Peraturan Pemerintah.
Sedangkan dalam bentuk statuta
dari PT dan PTN Khusus mandiri adalah ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas
usul dari Senat Akademik. Dengan pola pembentukan seperti itu, bentuk ini
memiliki kemiripan dengan bentuk BHP. Pada pasal 22 huruf a UU BHP disebutkan
bahwa salah satu tugas dari organ representasi pemangku kepentingan (istilah
yang sama dengan Majelis Pemangku dalam RUU PT) adalah menyusun dan menetapkan
perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta
perubahannya.
Sama halnya dengan PTN dan PTN
Khusus unit pelaksana teknis, dimana dari istilahnya saja sudah bisa dipahami
bahwa bentuk ini sama dengan BLU pada PP 66/2010. Pengertian BLU dalam
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005, Pasal 1 angka 1, adalah
“instansi
di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat, berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas.”
Dengan pengertian tersebut secara
otomatis statuta yang dibentuk adalah tanggung jawab dari Menteri yang
bersangkutan, sehingga dalam pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri tersebut.
Berdasar kepada penjelasan
diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pengelolaan yang diatur dalam RUU PT ini
bersifat mengakomodir semua ide atau gagasan yang berkembang saat ini, dimana
bentuk BHMN, BHP, maupun BLU mendapatkan tempat masing-masing. Dari cara pengaturan
tersebut ada sisi positif dan sisi negatif yang berpotensi timbul. Sisi
positifnya adalah semua pihak terakomodir ide dan gagasannya, sehingga akan
bisa meminimalisir konflik dikemudian hari. Dan sisi negatifnya adalah menjadi
tidak jelasnya bentuk pengelolaan yang menjadi prioritas dari Pemerintah untuk
dikembangkan, dan juga berpotensi untuk memunculkan persaingan antar perguruan
tinggi apabila dalam praktiknya kelak ada insentif yang berbeda antara bentuk
penglolaan satu dengan yang lainnya.
Pengaturan Lain Dalam RUU PT
Selain mengatur mengenai bentuk
pengelolaan perguruan tinggi, RUU PT juga mengatur mengenai isu lain yang
penting untuk diketahui, yaitu terkait dengan Pendanaan, status dosen dan
tenaga kependidikan, serta unsur dalam Majelis Pemangku.
Dalam Pasal 82 RUU PT disebutkan
bahwa pendanaan dari PTN dan PTN khusus merupakan kewajiban tanggung jawab dari
Pemerintah, serta dapat juga berasal dari kerja sama dengan pemerintah daerah
dan/atau dunia usaha. Sedangkan pemasukan dari mahasiswa, orang tua mahasiswa,
dan donatur masuk dalam bentuk sumbangan. Namun dalam Pasal 88 ayat (3)
disebutkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari keseluruhan biaya
operasional. Dari segi pengaturan, kedua pasal tersebut saling bertolak
belakang dalam menentukan alokasi pendanaan dari mahasiswa, apakah bersifat
sumbangan yang berarti sukarela, atau bukan sumbangan sehingga dapat ditentukan
maksimal jumlahnya.
Terkait dengan isu status dosen
dan tenaga kependidikan, RUU PT mengatur dalam Pasal 60 ayat (2) bahwa dosen
dan tenaga kependidikan dapat berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan/atau
pegawai tidak tetap. Sehingga dengan RUU PT memunculkan kembali kewenangan PTN
dan PTN Khusus untuk merekrut dosen maupun tenaga kependidikan sendiri, diluar
mekanisme penerimaan PNS.
Pada pasal 47 RUU PT diatur
mengenai organ dalam perguruan tinggi. Salah satu organ yang dimaksud adalah
Majelis Pemangku, atau dalam konteks BHMN disebut juga sebagai Majelis Wali
Amanat (MWA). Pada pasal 49 RUU PT diatur lebih lanjut mengenai komposisi unsur
yang ada dalam Majelis Pemangku tersebut, yaitu :
1.
Menteri atau yang
mewakili;
2.
Menteri yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
3.
Menteri lain atau
pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
4.
Wakil dari Senat Akademik;
5.
Pemimpin perguruan tinggi;
6.
gubernur;
7.
wakil dari Sivitas Akademika; dan
8.
wakil dari masyarakat.
Dari komposisi tersebut,
setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, keberadaan 3 Menteri atau perwakilannya dalam Majelis
Pemangku adalah sesuatu hal yang berbeda dibanding dengan unsur dalam MWA di
BHMN yang hanya terdiri dari 1 Menteri atau perwakilannya. Dengan banyaknya perwakilan
Pemerintah dalam Majelis Pemangku menjadikan timbul pertanyaan terkait dengan
tingkat otonomi yang dimiliki oleh PTN dan PTN Khusus yang bersangkutan.
Kedua, terkait dengan wakil dari Sivitas Akademika. Dalam
penjelasan aturan tersebut disebutkan bahwa “Wakil dari sivitas akademika meliputi dosen
dan mahasiswa dengan perwakilannya yang terbentuk melalui senat.” Dari
ketentuan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan wakil
sivitas akademika adalah dosen dan mahasiswa. Namun, menjadi pertanyaan mengapa
dua unsur yang sebelumnya terpisah pada MWA di BHMN menjadi ada dalam satu
unsur? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab oleh para perancang, karena
akan berdampak kepada jumlah perwakilan yang akan masuk dalam Majelis Pemangku.
Apabila dalam unsur yang sama, kemungkinan besar hanya akan ada satu orang
perwakilan dengan menggunakan bendera yang sama, yaitu wakil sivitas akademika.
Kesimpulan
RUU PT memiliki peran yang sangat
strategis dalam menentukan wajah pendidikan tinggi Indonesia di masa depan,
terutama dalam hal pengelolaan perguruan tinggi. Ide atau gagasan yang menjiwai
dari pengaturan dalam RUU PT sebenarnya tidaklah baru, melainkan lebih
cenderung mengakomodir ide yang ada. Namun dengan pengaturan ang akomodatif, justru
menimbulkan kesan bahwa pengaturan dalam RUU PT ini tidak tegas dengan konsep
yang dipilih, dan berpotensi menimbulkan kebingungan yang berdampak kepada
tujuan yang tidak tercapai di kemudian hari. Selain itu, masih ada beberapa
pengaturan yang membingungkan, baik dalam tataran konsep maupun aplikasi di
lapangan.
Bercermin
dari catatan kritis diatas, masih ada cukup waktu untuk seluruh stakeholders
dari RUU PT ini ikut memantau jalannya pembahasan antara Pemerintah dan DPR.
Dengan sangat strategisnya peran dari RUU PT ini tentu bukan metode pemantauan
“main-main” yang dipilih, karena untuk memastikan lahirnya suatu UU yang baik
haruslah disertai dengan peran serta masyarakat yang aktif, selain prosesnya
yang transparan dan akuntabel.
[1]
Pada Prolegnas tahun 2005-2009, RUU Tata Kelola Perguruan Tinggi juga sempat
diajukan untuk menjadi RUU prioritas untuk dibahas. Namun setelah melewati
tahap evaluasi, RUU tersebut dianggap belum layak untuk diprioritaskan, karena
substansinya sangat dekat dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
[2] Pasal 220B ayat (3) PP 66/2010
[3] PTN adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan PTN Khusus adalah perguruan tinggi
yang diselenggarakan oleh Kementerian diluar Kementerian Pendidikan Nasional dan/atau
Lembaga Pemerintahan Non-Kemeterian. Baca Pasal 31 ayat (1) dan (2)