Kamis, 15 September 2011

CATATAN KRITIS: PERAN STRATEGIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI DALAM MENENTUKAN WAJAH PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN


Dalam kurun waktu dua belas tahun terakhir, dunia perguruan tinggi di Indonesia terus mengalami perubahan dalam hal pengelolaannya. Perubahan tersebut setidaknya terlihat dari berbagai peraturan yang dibentuk. Belum berhenti dalam kurun waktu tersebut, 7 April 2011 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) sebagai usul inisiatif DPR, untuk kemudian dibahas bersama dengan Pemerintah. RUU PT ini juga mengatur mengenai bentuk dan tata kelola perguruan tinggi, sehingga berpotensi kembali mengubah bentuk dan tata kelola perguruan tinggi yang berjalan saat ini.

RUU PT pada dasarnya mengatur mengenai pendidikan tinggi dalam arti luas. Namun, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa fokus utama dari RUU ini sebenarnya adalah tentang perguruan tinggi. Setidaknya ada dua alasan yang dapat membuktikan hal tersebut.

Pertama, dari segi substansi pengaturan, dari 102 pasal yang diatur, 80% diantaranya mengatur mengenai perguruan tinggi. Dan Kedua, Judul awal yang dipakai oleh RUU ini, yaitu pada proses persiapan oleh DPR, adalah “Rancangan Undang-undang Tata Kelola Perguruan Tinggi”, sebelum kemudian disepakati untuk diubah dalam rapat internal Komisi X DPR RI. Judul itu pulalah yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011.[1]

Perkembangan Tata Kelola Perguruan Tinggi Dalam 12 Tahun Terakhir

Sebelum membahas secara mendalam mengenai substansi pengaturan dari RUU PT, penting untuk terlebih dahulu mengetahui perkembangan tata kelola perguruan tinggi pada 12 tahun terakhir, terutama pada perguruan tinggi yang sebelum tahun 1999 disebut sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Hal tersebut diperlukan mengingat pembentukan RUU PT bukanlah didasari adanya delegasian khusus oleh suatu UU, melainkan karena para pembuat kebijakan menganggap RUU ini diperlukan untuk mengakomodir ide perubahan yang ada, maupun dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya dalam tata kelola perguruan tinggi.

Seperti telah dikemukakan diawal tulisan bahwa tata kelola perguruan tinggi telah mengalami berbagai perubahan kebijakan dalam 12 tahun terakhir, dan RUU PT ini berpotensi membawa perubahan berikutnya. Dalam memandang hal itu, penulis tidak berposisi untuk status-quo atau anti-perubahan. Penulis memahami bahwa perubahan pada sistem adalah suatu keniscayaan. Banyak faktor yang ikut mempengaruhi hadirnya suatu perubahan. Bahkan bukan tidak mungkin pada suatu titik kondisi tersebut menjelma menjadi suatu kebutuhan yang mendesak.

Pada tahun 1999, Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. PP 60/1999 ini merupakan peraturan delegasian atau diamanatkan langsung untuk dibentuk oleh Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam PP ini diatur pula mengenai perguruan tinggi, yang salah satu pasalnya, yaitu Pasal 123 ayat (1) menyatakan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri”. Pada ayat (2) diatur kemudian bahwa ketentuan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Oleh karena itulah kemudian Pemerintah kembali membentuk PP, yaitu Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum.

Secara garis besar, bentuk perguruan tinggi yang diatur dalam PP 61/1999 adalah Badan Hukum Milik Negara. Tercatat sampai tahun 2008, telah ada 7 perguruan tinggi yang berstatus sebagai BHMN, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Sumatera Utara (USU), Institut Tekhnologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Konsep BHMN ini masih berjalan sampai saat ini, namun ditengah perjalanannya diwarnai dengan dua kali pergantian kebijakan, yaitu kebijakan tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan kebijakan tentang Badan Layanan Umum (BLU). Melalui Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) konsep BHP diterapkan. Konsep ini digadang sebagai konsep yang akan mampu menyempurnakan konsep BHMN yang sudah kadung diprotes oleh banyak kalangan. Namun sayangnya, belum sempat UU ini berjalan secara sempurna, Mahkamah Konstitusi sudah terlebih dahulu menyatakannya inkonstitusional melalui Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa UU BHP tidak memiki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, dalam amar putusan lain, MK juga menyatakan bahwa,

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu”

Dari amar putusan yang disebutkan terakhir ini dapat diketahui bahwa makna dari putusan MK adalah menyatakan UU BHP inkonstitusional, namun pengaturan untuk mengelola perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum pendidikan, yang ada dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, tetap konstitusional sepanjang badan hukum pendidikan tersebut bukan suatu bentuk badan hukum khusus. Oleh karena itu, ide untuk melakukan pengelolaan perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum pendidikan tetap mengemuka.

Pasca dibentuknya UU BHP pada akhir tahun 2008, Pemerintah kemudian mengambil beberapa langkah strategis untuk memuluskan pelaksanaan dari UU BHP ini. Salah satu langkahnya adalah dengan mengganti PP 60/1999 dan PP 61/1999 dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun, dalam PP 17/2010 tersebut tidak mengatur mengenai tata kelola perguruan tinggi, yang dianggap telah cukup diatur dalam UU BHP. Langkah inilah yang kemudian memunculkan kekosongan hukum dalam hal tata kelola perguruan tinggi pasca UU BHP dinyatakan tidak mengikat oleh MK. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional kemudian mengambil inisiatif untuk segera membentuk satu PP yang mengatur mengenai tata kelola perguruan tinggi, yang kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No, 17 tahun 2010.

Dalam PP 66/2010 inilah Pemerintah mulai menerapkan gagasanya, yaitu konsep BLU. Dengan konsep
tersebut, status perguruan tinggi yang sebelumnya berbentuk BHMN akan menjadi unit pelaksana teknis dari Kementerian Pendidikan Nasional, yang berarti berada dibawah komando Menteri Pendidikan Nasional dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Hal inilah yang kemudian mendapat tentangan keras dari para PT BHMN, karena merasa hak otonominya, baik dalam hal akademik maupun non-akademik, akan tersandera kembali seperti pada masa orde baru silam.

Pembentukan PP 66/2010 tersebut memang tidak lantas berlaku pada seluruh PT BHMN, tetapi paling lambat 31 Desember 2012, seluruh PT BHMN harus sudah menyesuaikan bentuk dan sistem keuangannya dengan bentuk BLU.[2] Namun, perlu untuk disadari bahwa apabila RUU PT mengatur lain dari apa yang diatur oleh PP 66/2010, maka baik masa transisi maupun bentuk pengelolaan perguruan tinggi otomatis menjadi tidak berlaku, karena tingkat UU yang lebih tinggi daripada PP.

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa RUU PT memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan wajah pengelolaan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan tinggi secara umum di masa depan. Setidaknya ada dua peran strategis yang bisa dicatat, pertama, waktu pengesahan RUU PT akan sangat menentukan apakah masa transisi yang diatur dalam PP 66/2010 akan tetap berlaku sampai berakhir, dan Kedua, substansi dari UU PT akan menentukan bentuk dari pengelolaan PT, terutama PT BHMN.

Substansi Pengaturan RUU PT

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu substansi dari RUU PT adalah mengenai bentuk dari pengelolaan perguruan tinggi. Pada pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa perguruan tinggi diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat. Pada tulisan ini, penulis akan fokus pada perguruan tinggi yang dibentuk oleh Pemerintah, baik PTN maupun PTN Khusus.[3]

Pada pasal 41 dikemukakan dengan jelas bahwa bentuk pengelolaan dari PTN dan PTN Khusus kedepan adalah berbadan hukum, mandiri, atau unit pelaksana teknis. Namun, apa yang akan menjadi alat ukur untuk menentukan satu perguruan tinggi masuk pada suatu kelompok belum diatur secara jelas dalam RUU ini. Adapun perbedaan antara ketiga kelompok bentuk pengelolaan perguruan tinggi diatas adalah sebagai berikut:


BERBADAN HUKUM
MANDIRI
UNIT PELAKSANA TEKNIS
Delegasian Kewenangan
Bidang Akademik dan Non-Akademik
Bidang Akademik dan Non-Akademik
-
Statuta (Peraturan Dasar)
Ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Ditetapkan oleh Majelis Pemangku (MWA) atas usul Senat Akademik
Ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik
Organ
1.       Majelis Pemangku
2.       Pimpinan
3.       Senat Akademik
4.       Satuan Pengawas
1.       Majelis Pemangku
2.       Pimpinan
3.       Senat Akademik
4.       Satuan Pengawas
1.       Pimpinan
2.       Senat Akademik
3.       Satuan Pengawas

Dari perbandingan diatas dapat diketahui bahwa ketiga kelompok bentuk pengelolaan perguruan tinggi memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari karakteristik tersebut sebenarnya bukanlah ide yang baru, atau dengan kata lain sama dengan karakteristik bentuk pengelolaan perguruan tinggi yang pernah digagas sebelumnya, seperti BHMN, BHP, maupun BLU.

Untuk melihat kemiripan tersebut, dapat dicermati dari bentuk statuta atau peraturan dasar yang dibentuknya. Dari bentuk statuta dapat dilihat lebih lanjut mengenai besar/kecilnya otonomi yang dimiliki atau besar/kecilnya peran Pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi tersebut.

Bentuk statuta dari PTN dan PTN Khusus berbadan hukum adalah ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Hal tersebut memiliki kemiripan dengan bentuk BHMN yang diatur dalam PP 61/1999. Dalam Pasal 4 PP 61/1999 diatur bahwa anggaran dasar tercantum dalam penetapan PT BHMN yang berbentuk Peraturan Pemerintah.

Sedangkan dalam bentuk statuta dari PT dan PTN Khusus mandiri adalah ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas usul dari Senat Akademik. Dengan pola pembentukan seperti itu, bentuk ini memiliki kemiripan dengan bentuk BHP. Pada pasal 22 huruf a UU BHP disebutkan bahwa salah satu tugas dari organ representasi pemangku kepentingan (istilah yang sama dengan Majelis Pemangku dalam RUU PT) adalah menyusun dan menetapkan perubahan anggaran dasar dan menetapkan anggaran rumah tangga beserta perubahannya.

Sama halnya dengan PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, dimana dari istilahnya saja sudah bisa dipahami bahwa bentuk ini sama dengan BLU pada PP 66/2010. Pengertian BLU dalam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005, Pasal 1 angka 1, adalah

instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.”

Dengan pengertian tersebut secara otomatis statuta yang dibentuk adalah tanggung jawab dari Menteri yang bersangkutan, sehingga dalam pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri tersebut.

Berdasar kepada penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pengelolaan yang diatur dalam RUU PT ini bersifat mengakomodir semua ide atau gagasan yang berkembang saat ini, dimana bentuk BHMN, BHP, maupun BLU mendapatkan tempat masing-masing. Dari cara pengaturan tersebut ada sisi positif dan sisi negatif yang berpotensi timbul. Sisi positifnya adalah semua pihak terakomodir ide dan gagasannya, sehingga akan bisa meminimalisir konflik dikemudian hari. Dan sisi negatifnya adalah menjadi tidak jelasnya bentuk pengelolaan yang menjadi prioritas dari Pemerintah untuk dikembangkan, dan juga berpotensi untuk memunculkan persaingan antar perguruan tinggi apabila dalam praktiknya kelak ada insentif yang berbeda antara bentuk penglolaan satu dengan yang lainnya.

Pengaturan Lain Dalam RUU PT

Selain mengatur mengenai bentuk pengelolaan perguruan tinggi, RUU PT juga mengatur mengenai isu lain yang penting untuk diketahui, yaitu terkait dengan Pendanaan, status dosen dan tenaga kependidikan, serta unsur dalam Majelis Pemangku.

Dalam Pasal 82 RUU PT disebutkan bahwa pendanaan dari PTN dan PTN khusus merupakan kewajiban tanggung jawab dari Pemerintah, serta dapat juga berasal dari kerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau dunia usaha. Sedangkan pemasukan dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan donatur masuk dalam bentuk sumbangan. Namun dalam Pasal 88 ayat (3) disebutkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari keseluruhan biaya operasional. Dari segi pengaturan, kedua pasal tersebut saling bertolak belakang dalam menentukan alokasi pendanaan dari mahasiswa, apakah bersifat sumbangan yang berarti sukarela, atau bukan sumbangan sehingga dapat ditentukan maksimal jumlahnya.

Terkait dengan isu status dosen dan tenaga kependidikan, RUU PT mengatur dalam Pasal 60 ayat (2) bahwa dosen dan tenaga kependidikan dapat berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan/atau pegawai tidak tetap. Sehingga dengan RUU PT memunculkan kembali kewenangan PTN dan PTN Khusus untuk merekrut dosen maupun tenaga kependidikan sendiri, diluar mekanisme penerimaan PNS.

Pada pasal 47 RUU PT diatur mengenai organ dalam perguruan tinggi. Salah satu organ yang dimaksud adalah Majelis Pemangku, atau dalam konteks BHMN disebut juga sebagai Majelis Wali Amanat (MWA). Pada pasal 49 RUU PT diatur lebih lanjut mengenai komposisi unsur yang ada dalam Majelis Pemangku tersebut, yaitu :
1.       Menteri atau yang mewakili;
2.       Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
3.       Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
4.       Wakil dari Senat Akademik;
5.       Pemimpin perguruan tinggi;
6.       gubernur;
7.       wakil dari Sivitas Akademika; dan
8.       wakil dari masyarakat.

Dari komposisi tersebut, setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, keberadaan 3 Menteri atau perwakilannya dalam Majelis Pemangku adalah sesuatu hal yang berbeda dibanding dengan unsur dalam MWA di BHMN yang hanya terdiri dari 1 Menteri atau perwakilannya. Dengan banyaknya perwakilan Pemerintah dalam Majelis Pemangku menjadikan timbul pertanyaan terkait dengan tingkat otonomi yang dimiliki oleh PTN dan PTN Khusus yang bersangkutan.

Kedua, terkait dengan wakil dari Sivitas Akademika. Dalam penjelasan aturan tersebut disebutkan bahwa Wakil dari sivitas akademika meliputi dosen dan mahasiswa dengan perwakilannya yang terbentuk melalui senat.” Dari ketentuan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan wakil sivitas akademika adalah dosen dan mahasiswa. Namun, menjadi pertanyaan mengapa dua unsur yang sebelumnya terpisah pada MWA di BHMN menjadi ada dalam satu unsur? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab oleh para perancang, karena akan berdampak kepada jumlah perwakilan yang akan masuk dalam Majelis Pemangku. Apabila dalam unsur yang sama, kemungkinan besar hanya akan ada satu orang perwakilan dengan menggunakan bendera yang sama, yaitu wakil sivitas akademika.

Kesimpulan

RUU PT memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan wajah pendidikan tinggi Indonesia di masa depan, terutama dalam hal pengelolaan perguruan tinggi. Ide atau gagasan yang menjiwai dari pengaturan dalam RUU PT sebenarnya tidaklah baru, melainkan lebih cenderung mengakomodir ide yang ada. Namun dengan pengaturan ang akomodatif, justru menimbulkan kesan bahwa pengaturan dalam RUU PT ini tidak tegas dengan konsep yang dipilih, dan berpotensi menimbulkan kebingungan yang berdampak kepada tujuan yang tidak tercapai di kemudian hari. Selain itu, masih ada beberapa pengaturan yang membingungkan, baik dalam tataran konsep maupun aplikasi di lapangan.


Bercermin dari catatan kritis diatas, masih ada cukup waktu untuk seluruh stakeholders dari RUU PT ini ikut memantau jalannya pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Dengan sangat strategisnya peran dari RUU PT ini tentu bukan metode pemantauan “main-main” yang dipilih, karena untuk memastikan lahirnya suatu UU yang baik haruslah disertai dengan peran serta masyarakat yang aktif, selain prosesnya yang transparan dan akuntabel.



                [1] Pada Prolegnas tahun 2005-2009, RUU Tata Kelola Perguruan Tinggi juga sempat diajukan untuk menjadi RUU prioritas untuk dibahas. Namun setelah melewati tahap evaluasi, RUU tersebut dianggap belum layak untuk diprioritaskan, karena substansinya sangat dekat dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[2] Pasal 220B ayat (3) PP 66/2010
[3] PTN adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan PTN Khusus adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Kementerian diluar Kementerian Pendidikan Nasional dan/atau Lembaga Pemerintahan Non-Kemeterian. Baca Pasal 31 ayat (1) dan (2)

RUU BANTUAN HUKUM: MENUJU LEMBAR BARU JAMINAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

Tahun 2010 publik beberapa kali dikagetkan dengan maraknya pemberitaan media tentang ketidakadilan dalam proses hukum yang dialami oleh sebagian warga negara Indonesia. Sebut saja Nenek Minah, warga asli Banyumas berusia 55 tahun, yang dipaksa berurusan dengan pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan karena dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp.2000,00. Lain halnya dengan Nenek Rasminah, 60 Tahun, yang dituduh mencuri piring majikannya, dimana dalam pengakuannya di persidangan mengatakan bahwa ketika pemeriksaan ia dipaksa untuk mengakui bahwa dirinya memang benar mencuri. Tidak jauh berbeda dari nasib seorang Suherlam, yang dituduh oleh majikannya mencuri serokan untuk menggoreng tahu seharga Rp.15.000,00, sampai akhirnya ia pun harus berurusan dengan meja hijau.

Ketiga kasus diatas hanya merupakan contoh kecil dari ketidakadilan terhadap warga negara di hadapan hukum. Bahkan dapat dikatakan mereka lebih beruntung dibandingkan dengan warga negara yang senasib lainnya, karena kasusnya sempat dipublikasikan oleh media dan mendapat banyak respon dari publik, sedangkan warga negara lainnya tidak.

Setidakya ada dua hal yang menjadi kesamaan dari ketiga kasus diatas, yaitu ketiganya tidak didampingi oleh pengacara dalam menjalankan proses hukum, dan ketiga terdakwa dalam kasus diatas tergolong kedalam masyarakat yang miskin. Dari fakta diatas menjadi tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa proses hukum di Indonesia masih minim dalam hal menyediakan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin atau marjinal yang membutuhkan keadilan.
Secara teori, Bantuan Hukum dianggap mampu memberikan kesamaan dan jaminan terhadap seluruh masyarakat, tanpa terkecuali, dalam menikmati perlindungan  dan menciptakan persamaan dihadapan hukum. Namun dalam praktiknya, seperti telah digambarkan sebelumnya, bantuan hukum masih minim dalam pelaksanaan.

Menurut Dr. Mauro Cappelleti pelaksanaan Bantuan Hukum di masing-masing Negara dalam kurun waktu tertentu memiliki tujuan atau motivasinya masing-masing. Pada zaman Romawi, pelaksanaan Bantuan Hukum lebih didasarkan kepada rasa ingin mendapatkan pengaruh di masyarakat. Sedangkan pada abad pertengahan Bantuan Hukum diberikan dengan tujuan sebagai derma agar mendapatkan pahala dari Tuhan. Sampai berkembang lagi pada masa setelah Revolusi Perancis serta Amerika bahwa Bantuan Hukum diberikan bukan lagi sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama manusia, tetapi lebih karena telah dijaminnya hak-hak politik warga negara. Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan lahirnya tujuan negara kesejahteraan atau welfare state, dimana pelaksanaan Bantuan Hukum oleh Negara kemudian dikaitkan dengan upaya mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi warga negaranya. Sehingga dari perkembangan itu, konteks bantuan hukum tidak lagi hanya berkaitan dengan faktor hukum saja, tetapi juga ekonomi dan politik masyarakat.

Aturan Dasar Pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia

Di Indonesia, sebagai negara berkembang dan menganut prinsip negara hukum, pengakuan atas jaminan hak setiap orang mendapatkan kesamaan kedudukan dan perlakuan dimuka hukum telah dinyatakan atau diatur jelas dalam UUD 1945. Bahkan dalam pengaturannya, ada dua Pasal sekaligus yang mengaturnya yaitu Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya jaminan hak bagi setiap orang dalam mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka secara a contrario menjadi kewajiban bagi Negara untuk melaksanakannya, salah satunya adalah dengan pelaksanaan Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin atau yang termarjinalkan.

Apabila bercermin dari tiga kasus yang dikemukakan diawal tulisan, jelas pelaksanaan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 masih jauh dari harapan. Bahkan terasa sangat ironis ditengah realita maraknya kasus korupsi yang melibatkan uang milyaran sampai triliunan rupiah, yang masih belum dapat dilacak keberadaannya, serta pelakunya pun tidak kunjung tertangkap.

Dalam kondisi inilah Pemerintah, sebagai organ pelaksana dari tugas Negara, harus lebih menggalakan pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia. Adanya kebutuhan masyarakat dan kewajiban yang diamanatkan langsung oleh UUD 1945 sudah lebih dari cukup untuk kemudian membuat Negara lebih menjamin pelaksanaan dari Bantuan Hukum. Namun, mengingat kompleksitas dari pelaksanaan Bantuan Hukum di tataran masyarakat, maka membutuhkan political will yang kuat dari Pemerintah yang berkuasa. Political will yang dimaksud adalah keberpihakan Pemerintah dalam melindungi masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan, dengan menghindarkannya dari kebodohan dan keterbelakangan, sehingga tidak terjadi lagi ada perbedaan dalam memperoleh keadilan. Tanpa political will tersebut sulit kiranya mengharapkan pelaksanaan Bantuan Hukum yang ideal di negeri ini.

Menakar Political Will Pemerintah dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum

Merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah mengukur tingkat Political Will dari suatu pemerintahan, karena tidak jarang hal itu bergerak dalam tataran yang abstrak atau tidak terukur. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa diketahui. Setidaknya ada dua instrumen yang dapat dipakai, yaitu dengan melihat pada Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011 dan Rancangan Undang-undang tentang Bantuan Hukum (RUU Bankum) yang sedang dibahas bersama DPR.

Dalam RKP tahun 2011, yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 29 tahun 2010, jelas dikemukakan bahwa Pemerintah memberikan perhatian yang khusus terhadap pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara sebagai bentuk penjaminan hak konstitusioalnya. Sejak tahun 2009, Pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, dimana ada 8 (delapan) bidang yang akan direformasi, salah satunya adalah Bantuan Hukum.

Namun, dalam pelaksanaannya, Bantuan Hukum yang dimaksud hanya mencakup proses hukum di pengadilan saja, baik dalam hal pembebasan biaya pendaftaran perkara (prodeo) dan biaya pendampingan oleh advokat/lembaga bantuan hukum.  Sedangkan konteks Bantuan Hukum saat ini mencakup pula kegiatan-kegiatan advokasi, konsultasi, atau bahkan pendidikan hukum. Selain itu, terkait dengan persebaran akses Bantuan Hukum, juga masih minim. Pendirian Pos Bantuan Hukum  (Posbakum) sebagai amanat dari Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, belum berlaku secara merata di setiap pengadilan negeri. Walaupun perlu diapresiasi kesigapan Mahkamah Agung dalam merespon kewajiban tersebut dengan membentuk Surat Edaran MA (SEMA) No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.

Sejak pertengahan tahun 2010, RUU Bankum sudah mulai dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Namun, setelah melewati dua kali masa sidang, RUU ini tidak kunjung disahkan. Sehingga terpaksa pembahasan dilanjutkan dalam masa sidang ketiga, yang merupakan masa sidang terakhir dalam membahas suatu RUU.
RUU ini diusulkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini kembali menegaskan adanya political will dari Pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang bantuan hukum. Namun, sekali lagi pembentukan produk seperti RUU Bankum hanya terkesan sebagai simbol saja, tidak disertai dengan substansi yang benar-benar ditujukan bagi perluasan akses masyarakat terhadap keadilan melalui bantuan hukum.

Isu Krusial dalam Pembahasan Substansi RUU Bankum

Setidaknya ada tiga isu krusial yang penting untuk dipastikan dalam substansi RUU Bankum. Pertama, terkait dengan ruang lingkup dari Bantuan Hukum yang dimaksud dalam RUU Bankum. Kedua, lingkup obyek penerima Bantuan Hukum. Dan Ketiga, terkait dengan penyelenggara Bantuan Hukum. Ketiga isu ini jugalah yang alot diperdebatkan dalam pembahasan RUU Bankum oleh Pemerintah dan DPR.
      
      a.           Ruang Linkup Bantuan Hukum
Ruang lingkup menjadi isu penting dalam konteks Bantuan Hukum saat ini, mengingat istilah Bantuan Hukum sudah tidak lagi hanya berkutat dalam tataran beracara di pengadilan atau litigasi saja, tetapi juga non-litigasi, baik berupa advokasi, konsultasi, dan bahkan pendidikan hukum kepada masyarakat. Bantuan Hukum harus memiliki visi untuk ikut mencerdaskan masyarakat dalam bidang hukum.

Ruang linkup bantuan hukum ini sendiri sebenarnya sudah lama dikenla di Indonesia. Sejak tahun 80-an Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) telah memperkenalkan yang namanya Bantuan Hukum Struktural, dimana kegiatannya tidak melulu beracara di pengadilan tetapi juga ikut dalam kegiatan penyadaran hukum terutama kepada kelompok masyarakat yang termarjinalkan, berpikir kritis terhadap ideologi maupun praktik penegakan hukum yang berjalan, dan juga mendorong pada perubahan suatu kebijakan.

Dalam draft RUU Bankum per 19 Januari 2011, sudah mulai terlihat ada kemajuan dari draft-draft sebelumnya yang hanya memasukan proses litigasi saja dalam konteks Bantuan Hukum. Dalam draft terbaru itu sudah masuk pengaturan mengenai non-litigasi dalam ruang lingkup Bantuan Hukum. Selain itu, “Penyuluhan Hukum” juga diatur dalam Bab tersendiri. Hal ini menggambarkan bahwa konsep perluasan ruang lingkup sudah bisa diterima oleh para perancang RUU Bankum. Namun, pengaturan mengenai ruang lingkup Bantuan Hukum ini tidak diatur secara khusus dalam Bab tertentu mengenai “Ruang lingkup”, sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan atau multi penafsiran.

Selain itu, potensi permasalahan lain dalam RUU Bankum adalah terkait dengan pengaturan teknis. RUU Bankum tidak mengatur secara tuntas pelaksanaan Bantuan Hukum dalam tataran non-itigasi ini, dimana pengaturan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini berarti ketentuan belum bisa dijalankan selama PP yang diamanatkan belum dibentuk.
      
      b.      Penerima Bantuan Hukum 
Isu lain yang krusial dalam RUU Bankum adalah mengenai penerima bantuan hukum. Pada dasarnya setiap warga negara berhak mendapatkan bantuan hukum. Namun, pengaturan dalam RUU Bankum lebih memprioritaskan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk mendapatkan jasa bantuan hukum. Dalam draft terakhir RUU Bankum tercantum bahwa penerima bantaun hukum adalah orang miskin, orang atau kelompok yang ditentukan oleh UU ini. Pengaturan tersebut tidak memiliki kejelasan pengertian, baik apa yang dimaksud dengan “orang miskin” dan apa saja yang termasuk dalam “orang atau kelompok yang ditentukan oleh UU ini”. Ketidakjelasan itu hanya akan memberikan standar ganda dalam penentuan syarat penerima bantuan hukum, dan berujung kepada pembrian bantuan hukum yang salah sasaran.

Banyak standar yang dapat digunakan dalam menentukan definisi miskin. Setidaknya ada dua standar yang banyak digunakan, yaitu dari Badan Pusat Statistik dan World Bank (WB). BPS menetapkan garis kemiskinan mencakup kebutuhan makanan dan minuman sebesar 2.100 kalori, dimana pada tahun 2010 ini setara dengan lebih kurang Rp 7.000,00 per hari. Selain itu, standar yang ditetapkan oleh WB adalah untuk kemiskinan absolut berpenghasilan dibawah 1 USD per hari, sedangkan untuk kemiskinan menengah berpenghasilan dibawah 2 USD per-hari.

Namun, melihat dari definisi “orang miskin” yang dibutuhkan oleh RUU Bankum, dua standar diatas tidaklah tepat untuk digunakan sebagai satu-satunya standar yang digunakan. Pengertian miskin tidak hanya mencakup kepada penghasilan seseorang, tetapi lebih dalam lagi, yaitu dilihat dari tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need), terutama dalam hal ini termasuk akses terhadap keadilan. Sehingga, dalam menentukan definisi miskin tersebut haruslah terlebih dahulu ditetapkan kelayakan minimum. Dengan penentuan kelayakan minimum ini pula, penerima bantuan hukum kemudian tidak hanya mereka yang dikategorikan miskin secara pendapatan atau asupan kalori, tetapi juga kelompok masyarakat yang termarjinalkan pun dapat ikut masuk dalam kelompok peneima bantuan hukum.

Adapun usul kriteria minimum yang dapat digunakan untuk menentukan kelayakan minimum dari penerima bantuan hukum adalah seperti melihat pada kebutuhan dasarnya, yatu pemenuhan pangan, sandang, dan papan; tingkat pendidikan; serta kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi di masyarakat.
         
      c.       Penyelenggara Bantuan Hukum
Isu krusial terakhir yang penting untuk diperhatikan adalah terkait dengan penyelenggara jasa bantuan hukum. Dalam perkembangannya ada 2 (dua) pendapat yang mengemuka terkait dengan hal ini, yaitu dibuat satu lembaga independen baru atau disebut sebagai Komisi Nasional Bantuan Hukum (Komnasbankum), atau fungsi pemberian Bantuan Hukum masuk kedalam tupoksi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Pada dasarnya, dalam isu ini tidak lantas hanya memilih salah satu pendapat tersebut, tetapi jauh daripada itu penting untuk terlebih dahulu memastikan kriteria dari penyelenggara jasa bantuan hukum kelak. Sehingga apapun pilihannya, yang akan berdasar kepada keputusan  politik, kemudian dapat mewujudkan kelembagaan yang mampu melaksanakan bantuan hukum sesuai dengan tujuannya.

Dalam menentukan kriteria tersebut, perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah melihat contoh penyelenggara bantuan hukum di negara lain. Dibawah ini adalah contoh bentuk penyelenggara bantuan hukum di beberapa negara, dimana pelaksanaan bantuan hukum di negara tersebut relatif sudah baik :

NEGARA
SUMBER DANA
PENYELENGGARA
PEMBERI
KETERANGAN
Australia Negara Komisi Bantuan Hukum Staf Pengacara Komisi, Pengacara Privat
Taiwan Negara dan donasi Yayasan Bantuan Hukum Pengacara tingkat lokal, Ornop Berdasarkan Legal Aid Act tahun 2004
Afrika Selatan Negara Dewan Bantuan Hukum atau Legal Aid Board (LAB) Ornop, Universitas, Pengacara Privat Berdasarkan Legal Aid Act, No. 22 of 1969
Belanda Dana Publik atau Bantuan Masyarakat Pusat Bantuan, Nasehat, dan Pembelaan Hukum Pengacara Privat

Contoh di beberapa negara diatas menunjukan suatu keberagaman dalam hal bentuk penyelenggara. Hal ini wajar terjadi mengingat setiap negara memiliki keunikannya, dan karakter masyarakatnya masing-masing. Namun, ada beberapa hal yang penting untuk dicatat, yaitu Pertama, keempat negara diatas memilih bentuk penyelenggara yang bersifat independen atau diluar tubuh Pemerintah. Kedua, walaupun independen namun pembiayaan berasal dari Anggaran Negara, walaupun tidak semua. Tercatat Australia, Taiwan, dan Afrika Selatan yang tetap memanfaatkan dana dari Anggaran Negara untuk pelaksanaan bantuan hukumnya. Hal ini menggambarkan bahwa tetap ada kontribusi negara dalam pelaksanaan bantuan hukum.

Selain melihat dari contoh negara lain, perlu disadari pula bahwa posisi penyelenggara bantuan hukum sangat strategis, karena memiliki banyak kewenangan, yaitu dari mulai menyeleksi permohonan yang diajukan oleh calon penerima bantuan hukum, melakukan sertifikasi/verifikasi kepada pemberi Bantuan Hukum, sampai mengatur anggaran pelaksanaan bantuan hukum. Selain itu, permasalahan mengenai minimnya akses masyarakat terhadap bantuan hukum pun harus dipertimbangkan untuk kemudian diselesaikan dalam konteks penyelenggara bantuan hukum ini.


Dari penjelasan mengenai penyelenggara bantuan hukum di negara lain, kestrategisan posisi, dan akses yang masih minim, kemudian dapat ditentukan kritera-kriteria yang diperlukan. Adapun usulan kriteria tersebut adalah Pertama, harus adanya jaminan akses terhadap anggaran negara untuk pembiayaan bantuan hukum. Kedua, lembaga penyelenggara bantuan hukum harus bekerja secara profesional, akuntabel, dan transparan. Ketiga, penyelenggara bantuan hukum harus mampu membuat jaringan diseluruh Indonesia, sehingga dapat memudahkan akses masyarakat terhadap para pemberi bantuan hukum.

gambar ilustrasi: http://hukumkonsultan.blogspot.com/2012/10/kantor-hukum-sutinah-zairin-rekan.html

MULTI INTEPRETASI TERHADAP MASA TRANSISI UNIVERSITAS INDONESIA DISAHKANNYA PP NO. 66 TAHUN 2010


Polemik pemberian gelar kehormatan Doctor Honoris Causa kepada Raja Arab Saudi oleh Rektor Universitas Indonesia terus bergulir dari hari ke hari. Isu yang muncul kepermukaan pun semakin meluas, tidak lagi hanya berkutat pada kontroversi pemberian gelar DR HC, tetapi masuk kepada ranah lain, salah satunya adalah sistem tata kelola di internal Universitas Indonesia.

Koreksi terhadap tata kelola dan pelaksanaan good governance di UI bukanlah isu baru, karena sudah kerap diungkapkan diberbagai kesempatan. Namun koreksi-koreksi yang ada sebelumnya terjadi secara terpisah dan tidak mendapat perhatian besar. Berkembangnya protes terhadap kebijakan Rektor UI tersebut seakan menjadi pintu masuk untuk menyuarakan kembali koreksi terhadap tata kelola UI, dimana secara kebetulan kali ini mendapatkan respon yang sangat besar dari masyarakat luas. Selain itu, langkah Rektor UI membentuk Senat Universitas Indonesia (SUI) melalui Peraturan Rektor No. 1141 A/SK/R/UI/2011 dan Senat Fakultas di Universitas Indonesia (SFUI) dengan Peraturan Rektor No. 1141 B/SK/R/UI/2011, dengan argumentasi bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik Universitas (SAU) sudah tidak ada lagi, menjadikan jabatan Rektor seakan tanpa pengawasan saat ini. Kondisi tersebut semakin mempertegas bahwa ada kesalahan dalam sistem tata kelola yang berjalan saat ini di UI.

Pembentukan SUI dan SFUI oleh Rektor UI didasarkan kepada intrepretasi terhadap peraturan yang berlaku saat ini. Rektor UI, berdasar kepada Legal Opinion yang disusun oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, SH, berpendapat bahwa setelah ada Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang menyatakan bahwa Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentag Badan Hukum Pendidikan, status UI tidak lagi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi kembali menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Salah satu konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah jabatan Rektor UI sebagai pengambil keputusan tertinggi, yang mendapatkan delegasi kewenangan langsung dari Menteri Pendidikan Nasional. Legal Opinion diatas diperkuat pula oleh adanya surat dari Jaksa Agung No. R.043/A/Gtn.1/04/2010 kepada Menteri Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pertama, terbitnya Putusan MK yang menyatakan UU BHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, mengakibatkan penyelenggaraan perguruan Tinggi dengan status hukum BHMN tidak memiliki dasr hukum mengikat, dan penyelenggaraannya harus dikembalikan menjadi PTN. Kedua, Putusan MK tersebut masih memperbolehkan adanya badan hukum pendidikan sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan. Namun, dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, belum mengatur secara tegas mengenai penyelenggara pendidikan. Sehingga diperlukan PP yang baru atau perubahan atas PP 17/2010. Ketiga, selama belum dibentuk PP baru ataupun PP perubahan dari PP 17/2010 maka perguruan tinggi yang berstatus BHMN harus dikembalikan menjadi PTN.

Dari Legal Opinion tersebut terlihat memang sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Namun apabila dilihat lebih teliti, ada beberapa hal yang luput untuk dipertimbangkan, terutama dalam memaknai masa transisi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Sebelum menjelaskan lebih detail mengenai analisa terhadap Legal Opinion yang dipakai oleh Rektor dalam menlakukan interpretasi terhadap peraturan yang ada. Ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai sejarah pengaturan tata kelola UI, terutama pasca perubahan stausnya menjadi BHMN. Dengan perubahan status pengelolaan UI menjadi BHMN, maka pengelolaannya tidak lagi berada dibawah Kementerian (dahulu Departemen) Pendidikan Nasional , tetapi diberikan kepada UI secara mandiri atas nama otonomi perguruan tinggi. Selain itu, status BHMN sebenarnya bukanlah status baru dan khusus diberikan kepada lembaga pendidikan, karena sebelumnya Bada Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) juga berstatus BHMN. Perubahan status UI dari PTN menjadi BHMN dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 152 tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. Kemudian PP tersebut yang menjadi statuta pertama UI dalam statusnya sebagai BHMN. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa PP 152/2000 menjadi peraturan pertama yang mengatur mengenai tata kelola UI pasca beralih status menjadi BHMN.

Pembetukan PP 152/2000 tidak bisa dipisahkan dari PP yang dibentuk sebelumnya, yaitu PP No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Pada Pasal 123 ayat (1) PP 60/1999 disebutkan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri.” Pasal inilah yang menjadi bibit awal pemberian otonomi kepada perguruan tinggi Pemerintah, yang telah dianggap mampu mandiri, untuk diberikan otonomi dalam pengelolaannya. Dalam ayat (2) Pasal yang sama disebutkan kemudian bahwa “Ketentuan-ketentuan mengenai Badan Hukum sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Pasal inilah yang secara langsung memberikan delegasi untuk pembentukan PP No. 61/1999. Dalam PP tersebut dijelaskan mengenai tata cara perubahan status suatu universitas dari PTN menjadi BHMN, dimana dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa perubahan status ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam pasal tersebutlah yang menjadi dasar pembentukan PP 152/2000 dan PP sejenis yang menetapkan PTN menjadi BHMN.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa perubahan status UI dari PTN menjadi BHMN dengan berdasar kepada tiga PP, yaitu PP 60/1999, PP 61/1999. dan PP 152/2000. Ketiga PP tersebut dibentuk pada saat UU Sisdiknas masih diatur dalam UU No. 2 tahun 1989. Sehingga muncul pertanyaan apakah ketiga PP tersebut menjadi otomatis tidak berlaku pasca disahkannya UU No. 20 tahun 2003 sebagai revisi dari UU No. 2 Tahun 1989? Jawabannya adalah tidak. Kondisi tersebut terjadi karena dalam peraturan peralihan, Pasal 72, UU No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa: “Penyelenggara pendidikan yang pada saat undang-undnag ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.” PP 152/2000 terus berlaku sampai pada disahkannya UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

UU BHP kemudian mengganti peran dari PP 152/2000 sebagai peraturan yang mengatur mengenai status pengelolaan perguruan tinggi termasuk tata kelola dari perguruan tinggi tersebut. Selain PP 152/2000, PP 60/1999 dan PP 61/1999 pun direvisi, yaitu dengan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP ini tidak mengandung pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi, karena pada saat itu sudah diatur dalam UU BHP. Kondisi diatas terus berjalan sampai pada MK mengeluarkan Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Dalam salah satu amar putusan tersebut menyebutkan bahwa UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Putusan ini secara otomatis menimbulkan kekosongan hukum terkait dengan pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi, ditambah lagi PP 60/1999 dan PP 61/1999 telah direvisi oleh PP 17/2010.

Kondisi tersebut disadari betul oleh Pemerintah yang kemudian membentuk Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Penambahan ketentuan melalui PP 66/2010 dikhususkan untuk pengaturan mengenai tata kelola saja. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah PP 152/2000 dihapuskan oleh PP 17/2010, pengaturan mengenai tata kelola bagi UI diatur oleh PP 66/2010. Pada PP 66/2010 memang mengatur bahwa UI tidak lagi memakai bentuk BHMN dalam pengelolaannya, tetapi kembali menjadi PTN, yang berarti berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, pelaksanaannya tidak serta merta langsung aktif seketika setelah PP 66/2010 disahkan, karena ada masa transisi atau peralihan pergantian status pengelolaan. Pasal 220A ayat (1) PP 66/2010 menyebutkan bahwa “Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini” Pengaturan mengenai masa transisi dilanjutkan dengan ketentuan dalam Pasal 220A ayat (2) yang menyatakan bahwa “Penyesuaian pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan”.

Dari kedua ketentuan diatas jelas mengatur bahwa tata kelola dalam PP 66/2000 tidak berlaku serta merta, sehingga ketentuan sebelumnya mengenai tata kelola UI, yaitu PP 152 /2000 masih tetap berlaku. Penggunaan masa transisi terhadap perubahan suatu sistem lumrah terjadi, terutama apabila dalam transisi tersebut perlu waktu yang cukup untuk melakukan penyesuaian. Begitu pula dengan perubahan tata kelola di UI, yang tidak hanya perubahan struktur yang dibutuhkan, tetapi juga hal-hal lain, yaitu mencakup status kepegawaian, status aset kepemilikan tanah dan bangunan, serta pengesahan statuta baru sebagai dasar pengelolaan UI kedepan. Selain itu, masa transisi juga harus dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi di internal UI, dimana keseluruhan prosesnya harus dapat dimaknai oleh seluruh civitas academika UI, tidak hanya milik Rektor UI seorang. Dengan adanya partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi maka masa transisi tersebut akan melahirkan rasa memiliki dari civitas academika terhadap UI, dan kebijakan apapun dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

MASA DEPAN PENANGANAN FAKIR MISKIR PASCA-DISAHKANNYA MENJADI UNDANG-UNDANG


Sidang Paripurna DPR tanggal 21 Juli 2011 resmi mensahkan Rancangan Undang-undang Penanganan Fakir Miskin (RUU PFM) menjadi Undang-undang. RUU ini merupakan usulan inisiatif dari DPR. Dalam melakukan pembahasan tingkat I, DPR diwakili oleh Komisi VIII sedangkan Pemerintah diwakili oleh Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, dan Menteri Hukum dan HAM.

Pembahasan RUU PFMrelatif tidak memakan waktu yang lama, yaitu sembilan bulan. Pembahasan dimulai pasca terbitnya Surat Presiden No. R.88/Pres/10/2010 tertanggal 25 Oktober 2010 dan berakhir pada sidang Paripurna DPR tangga 21 Juli 2011. Jangka waktu tersebut berada dalam dua masa sidang DPR, sehingga dapat dikatakan pembahasan RUU PFM tepat waktu, sesuai dengan ketentuan Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR yang menatakan bahwa pembahasan suatu RUU dilakukan dalam dua masa sidang, dan dapat diperpanjang satu kali masa sidang. Namun, apabila dilihat dari segi partisipasi publik, UU ini tergolong minim diikuti dan dikritisi oleh masyarakat. Hal ini sangat dipengaruhi dari isu RUU yang tidak banyak menjadi pemberitaan di Media.

Dalam sambutan Pemerintah di Sidang Paripurna DPR pengesahan RUU PFM menjadi UU, Menteri Sosial menyatakan bahwa pembentukan UU PFM ini merupakan bentuk komitmen DPR dan Pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi dalam memenuhi kebutuhan dasar dari fakir miskin, yang pada gilirannya diharapkan mampu mengurangi jumlah dari fakir miskin itu sendiri. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan amanat konstitusi berfokus dari pelaksanaan Pasal 34 ayat (1), yang menyatakan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar diperlihara oleh negara.

Dalam sambutan tersebut pula, Menteri Sosial menyatakan bahwa ada tiga pengaturan krusial dalam UU PFM, yaitu meliputi pendataan, sumber pendanaan, dan kelembagaan. Dalam hal pendataan, Menteri Sosial ditunjuk sebagai pihak yang berwenang dalam menentukan standar atau kriteria fakir miskin. Kriteria tersebut kemudian digunakan Badan Pusat Statistik untuk mendata seluruh fakir miskin di Indonesia, untuk kemudian dilakukan verifikasi dan validasi oleh Kementerian Sosial. Data hasil verifikasi dan validasi itu kemudian dapat digunakan oleh internal Pemerintah, maupun oleh eksternal Pemerintah, yaitu masyarakat luas.
Dalam hal pendanaan,  ditentukan ada lima sumber pendanaan untuk melaksanakan amanat dari UU ini, yaitu APBN, APBD, Hibah luar negeri maupun dalam negeri, Coorporate Social Resposibilty (CSR), dan sumber lain yang sah serta tidak mengikat. Sedangkan dari hal kelembagaan, DPR dan Pemerintah sepakat menjadikan Menteri Sosial sebagai Leading Sector dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin dan mengkoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait.
Pengesahan terhadap UU PFM mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat, terutama dari kalangan yang sudah aktif terlibat dalam kegiatan penanganan fakir miskin. Ada yang berharap UU ini menjadi momentum awal penanganan fakir miskin yang fokus dan tepat pada sasaran. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan keefektfian dari pelaksanaan UU ini, terutama dalammerealisasikan tujuannya dalam mengurangi jumlah fakir miskin.

Pertanyaan tersebut muncul karena dalam UU PFM tidak banyak mencerminkan suatu tindakan yang baru, sehingga seakan tidak ada perbaikan yang menjanjikan pasca pengesahan UU tersebut. Selain itu, tidak maksimalnya upaya Pemerintah selama ini dalam melaksnakan program penanganan fakir miskin dianggap lebih karena masalah teknis dilapangan, dan bukan karena kesalahan atau kekosongan peraturan yang mengatur.

Pengaturan mengenai penanganan fakir miskin sebenarnya bukanlah barang baru, pada tahun 1981 dibentuk Peraturan Pemerintah No.42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Enam belas tahun kemudian, peraturan dengan judul yang sama dibentuk kembali melalui Peraturan Menteri Sosial No.19/HUK/2007 yang dilengkapi dengan Peraturan Menteri Sosial lainnya, yaitu No. 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial Keluarga Miskin. Dua peraturan Menteri Sosial diatas bahkan sudah banyak menjadi rujukan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah terkait program penanganan fakir miskin.Salah satu contohnya adalah Peraturan Bupati Bintan No. 3 tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni Program Pemberdayan Fakir Miskin Kabupaten Bintan.



Munculnya perdebatan dan harapan dikalangan masyarakat harus mendapat respon positif dari Pemerintah dan instansi pelaksana terkait lainnya, karena pada dasarnya hal ini merupakan bentuk pengawasan yang positif dari para stakeholders, terutama mereka yang sudah berkecimpung aktif dan mengetahui seluk beluk aktivitas penanganan fakir miskin.