Kamis, 15 September 2011

MASA DEPAN PENANGANAN FAKIR MISKIR PASCA-DISAHKANNYA MENJADI UNDANG-UNDANG


Sidang Paripurna DPR tanggal 21 Juli 2011 resmi mensahkan Rancangan Undang-undang Penanganan Fakir Miskin (RUU PFM) menjadi Undang-undang. RUU ini merupakan usulan inisiatif dari DPR. Dalam melakukan pembahasan tingkat I, DPR diwakili oleh Komisi VIII sedangkan Pemerintah diwakili oleh Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, dan Menteri Hukum dan HAM.

Pembahasan RUU PFMrelatif tidak memakan waktu yang lama, yaitu sembilan bulan. Pembahasan dimulai pasca terbitnya Surat Presiden No. R.88/Pres/10/2010 tertanggal 25 Oktober 2010 dan berakhir pada sidang Paripurna DPR tangga 21 Juli 2011. Jangka waktu tersebut berada dalam dua masa sidang DPR, sehingga dapat dikatakan pembahasan RUU PFM tepat waktu, sesuai dengan ketentuan Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR yang menatakan bahwa pembahasan suatu RUU dilakukan dalam dua masa sidang, dan dapat diperpanjang satu kali masa sidang. Namun, apabila dilihat dari segi partisipasi publik, UU ini tergolong minim diikuti dan dikritisi oleh masyarakat. Hal ini sangat dipengaruhi dari isu RUU yang tidak banyak menjadi pemberitaan di Media.

Dalam sambutan Pemerintah di Sidang Paripurna DPR pengesahan RUU PFM menjadi UU, Menteri Sosial menyatakan bahwa pembentukan UU PFM ini merupakan bentuk komitmen DPR dan Pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi dalam memenuhi kebutuhan dasar dari fakir miskin, yang pada gilirannya diharapkan mampu mengurangi jumlah dari fakir miskin itu sendiri. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan amanat konstitusi berfokus dari pelaksanaan Pasal 34 ayat (1), yang menyatakan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar diperlihara oleh negara.

Dalam sambutan tersebut pula, Menteri Sosial menyatakan bahwa ada tiga pengaturan krusial dalam UU PFM, yaitu meliputi pendataan, sumber pendanaan, dan kelembagaan. Dalam hal pendataan, Menteri Sosial ditunjuk sebagai pihak yang berwenang dalam menentukan standar atau kriteria fakir miskin. Kriteria tersebut kemudian digunakan Badan Pusat Statistik untuk mendata seluruh fakir miskin di Indonesia, untuk kemudian dilakukan verifikasi dan validasi oleh Kementerian Sosial. Data hasil verifikasi dan validasi itu kemudian dapat digunakan oleh internal Pemerintah, maupun oleh eksternal Pemerintah, yaitu masyarakat luas.
Dalam hal pendanaan,  ditentukan ada lima sumber pendanaan untuk melaksanakan amanat dari UU ini, yaitu APBN, APBD, Hibah luar negeri maupun dalam negeri, Coorporate Social Resposibilty (CSR), dan sumber lain yang sah serta tidak mengikat. Sedangkan dari hal kelembagaan, DPR dan Pemerintah sepakat menjadikan Menteri Sosial sebagai Leading Sector dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin dan mengkoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait.
Pengesahan terhadap UU PFM mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat, terutama dari kalangan yang sudah aktif terlibat dalam kegiatan penanganan fakir miskin. Ada yang berharap UU ini menjadi momentum awal penanganan fakir miskin yang fokus dan tepat pada sasaran. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan keefektfian dari pelaksanaan UU ini, terutama dalammerealisasikan tujuannya dalam mengurangi jumlah fakir miskin.

Pertanyaan tersebut muncul karena dalam UU PFM tidak banyak mencerminkan suatu tindakan yang baru, sehingga seakan tidak ada perbaikan yang menjanjikan pasca pengesahan UU tersebut. Selain itu, tidak maksimalnya upaya Pemerintah selama ini dalam melaksnakan program penanganan fakir miskin dianggap lebih karena masalah teknis dilapangan, dan bukan karena kesalahan atau kekosongan peraturan yang mengatur.

Pengaturan mengenai penanganan fakir miskin sebenarnya bukanlah barang baru, pada tahun 1981 dibentuk Peraturan Pemerintah No.42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Enam belas tahun kemudian, peraturan dengan judul yang sama dibentuk kembali melalui Peraturan Menteri Sosial No.19/HUK/2007 yang dilengkapi dengan Peraturan Menteri Sosial lainnya, yaitu No. 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial Keluarga Miskin. Dua peraturan Menteri Sosial diatas bahkan sudah banyak menjadi rujukan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah terkait program penanganan fakir miskin.Salah satu contohnya adalah Peraturan Bupati Bintan No. 3 tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni Program Pemberdayan Fakir Miskin Kabupaten Bintan.



Munculnya perdebatan dan harapan dikalangan masyarakat harus mendapat respon positif dari Pemerintah dan instansi pelaksana terkait lainnya, karena pada dasarnya hal ini merupakan bentuk pengawasan yang positif dari para stakeholders, terutama mereka yang sudah berkecimpung aktif dan mengetahui seluk beluk aktivitas penanganan fakir miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar