Sidang Paripurna DPR tanggal 21
Juli 2011 resmi mensahkan Rancangan Undang-undang Penanganan Fakir Miskin (RUU
PFM) menjadi Undang-undang. RUU ini merupakan usulan inisiatif dari DPR. Dalam
melakukan pembahasan tingkat I, DPR diwakili oleh Komisi VIII sedangkan Pemerintah
diwakili oleh Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, dan Menteri
Hukum dan HAM.
Pembahasan RUU PFMrelatif tidak
memakan waktu yang lama, yaitu sembilan bulan. Pembahasan dimulai pasca
terbitnya Surat Presiden No. R.88/Pres/10/2010 tertanggal 25 Oktober 2010 dan
berakhir pada sidang Paripurna DPR tangga 21 Juli 2011. Jangka waktu tersebut
berada dalam dua masa sidang DPR, sehingga dapat dikatakan pembahasan RUU PFM
tepat waktu, sesuai dengan ketentuan Pasal 141 ayat (1) Tata Tertib DPR yang
menatakan bahwa pembahasan suatu RUU dilakukan dalam dua masa sidang, dan dapat diperpanjang satu kali masa sidang. Namun,
apabila dilihat dari segi partisipasi publik, UU ini tergolong minim diikuti
dan dikritisi oleh masyarakat. Hal ini sangat dipengaruhi dari isu RUU yang
tidak banyak menjadi pemberitaan di Media.
Dalam sambutan Pemerintah di
Sidang Paripurna DPR pengesahan RUU PFM menjadi UU, Menteri Sosial menyatakan
bahwa pembentukan UU PFM ini merupakan bentuk komitmen DPR dan Pemerintah dalam
menjalankan amanat konstitusi dalam memenuhi kebutuhan dasar dari fakir miskin,
yang pada gilirannya diharapkan mampu mengurangi jumlah dari fakir miskin itu
sendiri. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan amanat
konstitusi berfokus dari pelaksanaan Pasal 34 ayat (1), yang menyatakan bahwa
Fakir miskin dan anak terlantar diperlihara oleh negara.
Dalam sambutan tersebut pula,
Menteri Sosial menyatakan bahwa ada tiga pengaturan krusial dalam UU PFM, yaitu
meliputi pendataan, sumber pendanaan, dan kelembagaan. Dalam hal pendataan,
Menteri Sosial ditunjuk sebagai pihak yang berwenang dalam menentukan standar
atau kriteria fakir miskin. Kriteria tersebut kemudian digunakan Badan Pusat
Statistik untuk mendata seluruh fakir miskin di Indonesia, untuk kemudian
dilakukan verifikasi dan validasi oleh Kementerian Sosial. Data hasil
verifikasi dan validasi itu kemudian dapat digunakan oleh internal Pemerintah,
maupun oleh eksternal Pemerintah, yaitu masyarakat luas.
Dalam hal pendanaan, ditentukan ada lima sumber pendanaan untuk
melaksanakan amanat dari UU ini, yaitu APBN, APBD, Hibah luar negeri maupun
dalam negeri, Coorporate Social
Resposibilty (CSR), dan sumber lain yang sah serta tidak mengikat.
Sedangkan dari hal kelembagaan, DPR dan Pemerintah sepakat menjadikan Menteri
Sosial sebagai Leading Sector dalam
pelaksanaan penanganan fakir miskin dan mengkoordinasikan pelaksanaan
penanganan fakir miskin yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait.
Pengesahan terhadap UU PFM
mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat, terutama dari kalangan yang
sudah aktif terlibat dalam kegiatan penanganan fakir miskin. Ada yang berharap
UU ini menjadi momentum awal penanganan fakir miskin yang fokus dan tepat pada
sasaran. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan keefektfian dari pelaksanaan
UU ini, terutama dalammerealisasikan tujuannya dalam mengurangi jumlah fakir
miskin.
Pertanyaan tersebut muncul karena
dalam UU PFM tidak banyak mencerminkan suatu tindakan yang baru, sehingga seakan
tidak ada perbaikan yang menjanjikan pasca pengesahan UU tersebut. Selain itu,
tidak maksimalnya upaya Pemerintah selama ini dalam melaksnakan program
penanganan fakir miskin dianggap lebih karena masalah teknis dilapangan, dan
bukan karena kesalahan atau kekosongan peraturan yang mengatur.
Pengaturan mengenai penanganan
fakir miskin sebenarnya bukanlah barang baru, pada tahun 1981 dibentuk Peraturan
Pemerintah No.42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir
Miskin. Enam belas tahun kemudian, peraturan dengan judul yang sama dibentuk
kembali melalui Peraturan Menteri Sosial No.19/HUK/2007 yang dilengkapi dengan
Peraturan Menteri Sosial lainnya, yaitu No. 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan
Pemberian Bantuan Sosial Keluarga Miskin. Dua peraturan Menteri Sosial diatas
bahkan sudah banyak menjadi rujukan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan
daerah terkait program penanganan fakir miskin.Salah satu contohnya adalah Peraturan Bupati Bintan
No. 3 tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak
Huni Program Pemberdayan Fakir Miskin Kabupaten Bintan.
Munculnya
perdebatan dan harapan dikalangan masyarakat harus mendapat respon positif dari
Pemerintah dan instansi pelaksana terkait lainnya, karena pada dasarnya hal ini
merupakan bentuk pengawasan yang positif dari para stakeholders, terutama mereka yang sudah berkecimpung aktif dan
mengetahui seluk beluk aktivitas penanganan fakir miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar