Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung (Rakernas MA) merupakan agenda tahunan dari lembaga pemegang kekuasaan yudikatif itu. Dalam Rakernas, seluruh Hakim Agung dan pejabat struktural MA berkumpul. Mereka bermusyawarah lalu mengambil keputusan-keputusan tertentu, yang berkaitan dengan hukum acara maupun administrasi pengelolaan organisasi.
Pada tahun 2012, Rakernas MA diselenggarkan di Manado, Sulawesi Utara. Rakernas MA 2012 diselenggarakan dari tanggal 29 Oktober sampai 1 November 2012. Rakernas kali ini mengusung tema terkait dengan pemantapan sistem kamar dan peningkatan profesionalisme hakim. Dengan tema itu jelas penyelenggaraan Rakernas MA 2012 mengemban amanat yang tidak ringan.
Dalam pidato pembukaannya, Ketua MA Hatta Ali mengajak seluruh peserta untuk berefleksi terhadap apa yang telah mereka lakukan selama ini. Apakah yang mereka lakukan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, terutama dalam mencapai peradilan yang agung. Ajakan Ketua MA itu tentu bukan tanpa alasan. Sampai dengan tahun 2012, berarti sudah 3 tahun MA menjalankan Cetak Biru Peradilan 2010-2035. Jenjang waktu yang memang belum lama, tetapi sudah layak untuk dilakukan evaluasi demi perbaikan di masa mendatang. Terlebih ini merupakan Rakernas pertama Hatta Ali sebagai seorang Ketua MA.
Ajakan refleksi tersebut sesungguhnya sekaligus untuk mengingatkan kembali visi dan misi yang akan dicapai oleh MA dan wilayah peradilan dibawahnya. Dalam kesempatan yang sama, Ketua MA juga menjabarkan 4 prioritas program di sektor teknis peradilan yang
harus diselesaikan pada 2014 dalam rangka mencapai visi dan misi MA. Keempat prioritas itu adalah pembatasan perkara, penyederhanaan proses
berperkara, penguatan akses pada keadilan, dan penerapan sistem kamar. Jelas 4 prioritas itu bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan, terutama apabila melihat kondisi peradilan saat ini yang masih memerlukan perubahan yang signifikan dalam berbagai bidang.
Sebut saja misalnya sistem manajemen perkara di MA. Bidang ini sangat berkaitan dengan fungsi utama dari MA dan wilayah peradilan dibawahnya. Namun sampai saat ini sistem yang berjalan masih belum efektif, bakan cenderung banyak mengalami hambatan. Setidaknya ada 2 hal dominan yang melatarbelakanginya, yaitu perihal sistem dan budaya kerja. Sistem manajemen perkara di MA dan pengadilan dibawahnya, mayoritas masih dilakukan secara manual, baik dalam hal pencatatan sampai proses pelaporan. Dengan cara ini sulit untuk kemudian dilaukan penggabungan data dan pengolahan data. Bisa pun dilakukan tetapi memerlukan energi dan waktu yang sangat lama. Sulitnya perubahan sistem juga sangat dipengaruhi oleh budaya kerja yang berkembang di internal organisasi. Paradigma bekerja menggunakan gardcopy masih sangat melekat kuat pada staff administrasi di MA dan pengadilan di bawahnya. Sehingga ketika diperkenalkan dengan sistem yang berbasis elektronik atau IT, adaptasi yang dilakukan harus dengan ekstra keras.
Walaupun begitu, perlu diakui upaya perbaikan tetap terus dilakukan. Upaya itu terlihat dari adanya program-program yang mengarah kepada perbaikan sistem manajemen perkara. Namun program-program itu, ataupun program lain dalam rangka menjalankan 4 prioritas perbaikan, harus mendapatkan dukungan yang kuat, terutama dari para pimpinan MA. Sehingga apa yang dicita-citakan bersama, yaitu menuju peradilan yang agung dapat tercapai dengan maksimal.
Selasa, 30 Oktober 2012
Senin, 24 September 2012
TEKANAN MASSA DAN INDEPENDENSI HAKIM
Kamis,
20 September 2012, pagi hari saya sudah bersiap untuk melakukan penelitian
lapangan. Kali ini obyek penelitian saya adalah Hakim. Pengadilan Negeri
menjadi tempat yang harus saya kunjungi.
Pengadilan
Negeri (PN) yang saya datangi kali ini berada di wilayah Jawa Barat. Kotanya
sejuk, cenderung dingin. Jalanan pun tidak ramai, tetapi tingkat kedisiplinan berlalulintasnya
rendah. Pemandangan seperti pengendara motor tidak memakai helm, atau angkutan
kota yang berhenti ditengah jalan, sudah biasa ditemukan.
Kota
ini sebenarnya tidak asing bagi saya karena setiap tahun, pada saat lebaran,
saya pasti berkunjung kesini. Menempuh 3 sampai 6 jam dari Bandung bukan lagi
hal yang aneh. Tidak sulit menghapal jalan menuju wilayah ini, karena selain tidak
banyak, kondisi jalannya pun cenderung tidak banyak berubah. Namun kali ini
suasananya terasa lain, karena saya datang tidak dengan keluarga, dan misinya
pun lain. Bukan untuk bersilaturahmi, tapi ingin mengetahui banyak hal tentang
Hakim di kota ini.
Kota
tersebut adalah Garut. Satu kota yang memiliki sejarah panjang di wilayah Jawa
Barat. Masyarakatnya kental dengan budaya sunda, tanah Priangan. Dalam
sejarahnya, daerah Kabupaten ini dulunya adalah bagian dari wilayah Limbangan.
Pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Daendles memishakannya menjadi Kabupaten
tersendiri. Ulang tahun Garut jatuh pada tanggal 15 September, yang merupakan
tanggal pertama kali dilakukan peletakan batu pertama pembangunan
sarana-prasarana.
Pukul
09.00, saya bergegas pergi menuju PN Garut, sesaat setelah menyelsaikan sarapan
di penginapan. Jarak antara penginapan dan PN Garut tidak jauh, ditambah dengan
lengangnya jalanan, membuat jarak bisa ditempuh dalam 15 menit saja. Kondisi
itu membuat Garut terasa sangat ramah untuk beraktifitas, apalagi dibandingkan
dengan penatnya lalu lintas Jakarta di Pagi hari.
Sampai
pengadilan, perhatian saya tersita oleh adanya kerumunan massa. Banyak pertanyaan
muncul dalam benak saya, “apakah sedang ada kerusuhan, atau demonstrasi, atau
sekedar kesibukan masyarakat kebanyakan?”. Setelah memperhatikan lebih detail,
ternyata hampir semua dari mereka berpakaian serba putih dan mengenakan sorban.
Melihat sekilas, saya merasa seperti sering melihat pakaian itu. Ternyata benar
saja, kerumunan masa yang memenuhi halaman depan PN Garut adalah masa dari
kelompok Front Pembela Islam, atau biasa dikenal dengan FPI.
Sesampainya di PN Garut, saya
bergegas masuk ke dalam. Terlihat di taman samping kanan pengadilan ada kerumunan
lain dari massa FPI berkumpul. Kali ini mereka terus ber-shalawat, sambil
sesekali memekikan takbir. Mereka berkumpul tepat didepan ruang tahanan
pengadilan, yang didalamnya terduduk seorang laki-laki berperawakan kurus
tinggi dengan menggunakan peci putih dan baju koko. Dialah anggota FPI yang
sedang dibela oleh rekan-rekannya.
Suasana semakin semarak karena
saat itu PN Garut sedang banyak pengunjung. Hari itu PN Garut bisa dikatakan
dua kali lebih ramai daripada biasanya. Hal ini terjadi karena kemarinnya pengadilan
tidak menyelenggarakan sidang, karena ada kunjungan dari Pengadilan Tinggi
Bandung dalam rangka silaturahim. Terlihat pula terdakwa yang dibawa jaksa hari
itu jumlahnya jauh lebih banyak dari biasanya.
Lantunan shalawat dan pekikan
takbir yang biasanya mengalun pelan dan sendu, kali ini dibawakan lain.
Hentakan-hentakan suara dalam membawakannya membuat suasana mencekam. Belum
lagi terdengar ada teriakan-teriakan yang membuat masa menjadi lebih mudah
terprovokasi. Saya pun mulai khawatir dengan kondisi yang terjadi.
Kekhawatiran saya mulai memudar
ketika seorang anggota FPI, sepertinya pemimpin rombongan, berbicara didepan
masa. Ia awalnya membakar semangat masa dengan hentakan-hentakan instruksi
untuk bertakbir, “Takbir! AllahuAkbar!” begitu cetusnya. Kemudian Ia mulai
menjelaskan apa alasan meraka ada di PN Garut. Kemudian sang pemimpin rombongan
menghimbau untuk masa tidak terprovokasi dan tidak ada aksi anakis, karena
mereka hadir di PN Garut untuk memberikan dukungan kepada anggota FPI, bukan
untuk merusak.
Pada sisi lain pengadilan,
terlihat beberapa hakim sedang bersiap-siap untuk memulai sidang. Mereka sibuk mondar-mandir masuk ke ruang Kepala
Pengadilan Negeri (KPN). Raut wajah mereka juga tidak santai seperti biasanya,
lebih serius, begitu kira-kira. Dalam kondisi itu, ada satu hakim yang berhasil
saya ajak ngobrol. Dari obrolan itu saya
tahu bahwa hakim itu yang akan menyidangkan perkara yang melibatkan anggota FPI
sebagai terdakwa, bersama dua orang hakim lainnya. Selian itu, sang hakim juga
bercerita kalau kondisi ini seperti sudah biasa terjadi, dan massa yang sama
kerap mendatangi PN Garut dalam perkara yang berbeda.
Tekanan masyarakat seperti ini
memang tidak jarang dikeluhkan para hakim, bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi
di PN Garut saja. Bentuk tekanan pun beragam bisa demonstrasi di pengadilan,
bisa ancaman melalui SMS (short message
services), surat kaleng, sampai ancaman pelemparan terhadap rumah tinggal. Kondisi
ini jelas mengganggu konsentrasi dan independensi hakim dalam memutus, karena
walaubagaimanapun hakim tetap manusia yang memiliki rasa takut, dan sangat
mungkin untuk terpengaruh dengan ancaman-ancaman yang ada.
Tidak lama, hakim yang saya ajak ngobrol pun pamit karena harus ada
pertemuan dengan KPN. Pertemuan itu terlihat baru saja diagendakan, karena
terlihat serba mendadakn. Tidak sampai 10 menit, rapat pun selesai. Terlihat beberapa
hakim keluar dari ruang KPN, dan kembali masuk ke ruang hakim. Terakhir,
keluarlah tiga orang hakim dengan berpakaian toga hakim lengkap. Namun, ketiga
orang hakim ini bukanlah hakim yang akan menyidangkan kasus FPI, sesuai dengan
informasi yang saya dapat. Saya berpikir mungkin mereka akan menyidangkan
perkara lain.
Sebelum turun untuk menuju ke ruang
sidang di lantai 1. Saya sempat berbincang dnegan ketiga hakim tersebut. Mereka
terlihat sudah siap bersidang, dan terlihat cukup rileks dibandingkan hakim lainnya.
walaupun saya tidak cukup tahu apakah itu memang benar, atau hanya tampilan
luarnya saja. Saya yang kala itu memegang kamera, dengan nada bercanda,
menawarkan untuk memfoto mereka sebelum bersidang. Ternyata mereka menyambut tawaran
saya, sampai saya memotret mereka dengan senyum dibibir.setelah difoto, salah satu
dari mereka berkata, “Mas, ini mah biasa, masih bisa terkendali. Tapi perlu
juga diketahui masyarakat banyak.”
Pukul 11.10, sidang tindak pidana
kepemilikian senjata tajam, dengan terdakwa seorang anggota FPI Garut, mulai
disidangkan. Ternyata hakim yang menyidangkan adalah tiga hakim yang saya foto
sebelumnya, yang berarti berbeda dengan informasi yang saya dapat awalnya. Sehingga
dapat diketahui bahwa pada rapat di ruang KPN sebelum sidang dimulai salah
satunya membahas terkait dengan majelis hakim yang akan menyidangkan. Tentu saya
sangat penasaran terkait dengan alasan pergantian hakim itu, bukankah
penunjukan hakim sudah dari jauh-jauh hari?
Persidangan dimulai dengan
kondisi ruang sidang yang sangat penuh dengan massa. Sampai mereka tidak semua
bisa masuk dan duduk di dalam ruang sidang. Terpaksa beberapa dari mereka harus
menunggu atau menonton dari luar ruangan. Suasana persidangan tertib, tidak ada
satu orang pun pengunjung yang bersuara keras didalam ruang sidang. Bahkan beberapa
diantara mereka, terutama yang duduk dideretan palin gdepna, terlihat sangat
serius mengikuti jalannya persidangan.
Sidang kali ini mengagendakan
pembacaan dakwaan. Jaksa membacakan dakwaan secara cepat. Ketika mejelis hakim
menanyakan perihal saksi, Jaksa tidak menyanggupi untuk menghadirkan pada
sidang saat itu, dan meminta untuk persidangan diundur satu minggu. Ketika
sudah menanyakan pihak terdakwa dan pengacaranya, akhirnya sidang yang baru
saja berjalan sekitar 30 menit ditunda. Pukul 11. 40 sidang selesai.
Massa pun berhamburan keluar ruang
sidang dengan terus ber-shalawat dan bertakbir. Setelah keluar ruang sidang
ternyata mereka kembali berkerumun didepan ruang tahanan pengadilan dan terus
memberikan semangat dan dukungan kepada sang terdakwa yang terlihat didampingi
oleh pengacaranya. Selang beberapa saat, pengacara dan sang pemimpin rombongan mengumpulkan
kembali massa, dan berbicara perihal persidangan yang ditunda. Sang pengacara
mengingatkan kepada massa bahwa persidangan mungkin akan berlangsung lebih dari
sepuluh kali sidang, sehingga perlu tenaga lebih untuk mengawalnya.
Didalam ruang sidang, terlihat
ketiga hakim yang menyidangkan perkara masih duduk di tempat hakim. Awalnya
saya berpikir mereka menunggu kerumunan massa ini membubarkan diri, dan jalan
keluar hakim sudah sepi dari pengunjung. Namun ternyata, mereka melanjutkan
untuk menyidangkan perkara berikutnya, bahkan ada 2 perkara lanjutan yang
disidangkan berturut-turut, yaitu perkara pencurian dan perakara penggelapan.
Setelah mengikuti sidang, saya
masih penasaran dengan pertimbangan penggantian hakim tadi, karena pasti ada
pertimbangan khusus. Apakah massa FPI tadi sudah memberikan tekanan tersendiri
kepada para hakim? Atau ada “permainan”? itulah yang saya ingin cari
jawabannya.
Beberapa saat saya menunggu, saya
berhasil menemui salah satu dari 3 hakim yang menyidangkan perkara yang terdakwanya
adalah anggota FPI tadi, yang kebetulan ia adalah KPN Garut saat ini. Setelah
berbasa-basi rekan saya sesama peneliti menanyakan perihal pergantian hakim
itu. Sang hakim membenarkan ada perubahan hakim. “salah satu hakim yang akan
menyidangkan harus ke Jakarta, karena mengikuti pemilukada Gubernur DKI Jakarta.”
Saya masih belum jelas apakah itu alasan yang kuat untuk mengganti majeis?.
Hakim itu pun melanjutkan, “dalam kondisi seperti ini pengadilan tidak boleh
melakukan kesalahan sekecil apapun. Ketidakadaan hakim akan berakibat sidang
yang ditunda, atau apabila dipaksanakan akan ada masalah formil persidangan
disana. Daripada pengadilan melakukan kesalahan yang tidak perlu, yang
mengakibatkan massa menjadi marah dan bisa saja merusak bahkan mengancam hakim-hakim
dan perangkat pengadilan disini, maka saya ambil keputusan untuk mengganti
majelis dengan yang ada, yang penting sidang bisa berjalan.”
Dari argumentasi itu baru jelas
mengapa penting untuk mengubah susunan majelis hakim pada saat-saat terntentu. Dalam
lanjutan jawbannya, hakim tersebut menyatakan bahwa memang Ia menyadari bahwa keputusannya
mengandung resiko, “tapi biarlah itu resiko saya, jangan sampai pengadilan yang
terhina dengan melakukan kesalahan yang tidak perlu”.
Pengalaman saya di PN Garut ini mengingtakan bahwa sampai saat ini seorang hakim, terutama di tingkatan PN, masih sulit merasakan
independensi dalam memutus perkara. Cerita diatas pun memperlihatkan bagaimana
faktor tekanan massa dan keamanan memberikan pengaruh besar, bukan hanya
sekedar kesejahteraan yang tercermin dari angka nominal gaji, yang selama ini
terus diperbicangkan. Sepertinya memang sudah saatnya memandang hakim sebagai seorang
manusia, bukan lagi seorang pekerja dalam peradilan yang bertugas untuk memutus
perkara.
Kamis, 13 September 2012
UPAYA PANTANG MENYERAH INTERVENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pembentukan Panitia Kerja dengan
nama “Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah” oleh
Komisi III DPR menuai banyak penolakan dari masyarakat. Argumentasi bahwa Panja
ini dapat mencederai independensi peradilan di Indonesia menjadi argumentasi
yang banyak diserukan.
Secara formal, Komisi III, sebagai salah satu alat kelengkapan DPR, memiliki kewenangan dalam membentuk Panja. Pasal 144 ayat (1) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Panja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran. Selain itu, dalam Pasal 144 ayat (2) diatur bahwa Panja bertugas untuk membahas substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atan rapat kerja Badan Anggaran. Sehingga pembentukan Panja tersebut dapat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur.
Pembentukan Panja Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah ini jelas berpotensi untuk melakukan intervensi yang mengancam kemerdekaan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang berarti berpotensi melanggar hukum. Setidaknya ada 3 (tiga) indikasi yang patut dikemukakan dalam menilai potensi pelanggaran hukum itu. Pertama, objek yang akan menjadi pusat dari pekerjaan Panja adalah Putusan MA, yang merupakan produk langsung dari hakim MA. Pengkritisan terhadap putusan MA ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, dan secara kelembagaan akan mengancam independensi peradilan dalam memutus suatu perkara.
Kedua, subyek yang akan melaksanakan pekerjaan ini adalah anggota DPR, yang merupakan lembaga politik dan memiliki kepentingan tertentu. Sebagai lembaga politik, sulit untuk kemudian memisahkan peninjauan terhadap Putusan dari kepentingan politik. Argumentasi ini bukan berarti melarang sama sekali penijauan terhadap Putusan MA atau pengadilan dibawahnya, namun harus jelas dan sesuai konteksnya, yaitu untuk kepentingan peningkatan kualitas dalam rangka peninjauan akademik. Sehingga akan lebih tepat apabila peninjauan terhadap putusan MA ini dilakukan oleh kalangan akademisi, dan untuk kepentingan akademis.
Ketiga, adanya ketidakjelasan dari maksud dan tujuan dari pembentukan Panja. Apabila merujuk kepada argumentasi dari beberapa anggota DPR, Panja ini akan menyisir putusan-putusan MA berkekuatan hukum tetap yang dianggap bermasalah, terutama dengan permasalahan tidak dapat dieksekusi. Tujuan ini dalam pelaksanaannya bukan tidak mungkin akan mempertanyakan kembali kasus yang bersangkutan, dimana dalam hal ini sangat rentan adanya kepentingan-kepentingan lain, yang bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk membuka kasusnya kembali.
Dengan ketiga argumentasi diatas, jelas Komisi III DPR sudah harus melakukan peninjauan kembali bahkan membatalkan pembentukan Panja tersebut. Selanjutnya, apabila memang benar DPR berniat untuk melakukan peninjauan terhadap putusan MA untuk kepentingan memahami permasalahan yang akan menjadi bahan revisi dari Undang-undang MA, maka akan lebih baik apabila dikerjakan oleh tenaga peneliti atau staff di sekretariat Komisi III, sehingga kecurigaan akan adanya kepentingan politik dibalik pembentukan Panja dapat terhidarkan, sekaligus tidak membebani anggota dengan pekerjaan yang sifatnya teknis.
Sebaliknya, apabila Komisi III DPR tetap memaksakan diri melanjutkan Panja tersebut, maka independensi peradilan di Indonesia akan terancam. Sekaligus semakin menguatkan kesan bahwa DPR, dalam hal ini juga termasuk partai politik dibelakangnya, memang sedang ingin mengintervensi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah sebelumnya berhasil memasukan unsur DPR kedalam Dewan etik hakim konstitusi dalam ketentuan UU No. 18 tahun 2011 tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ketentuan itu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2011 lalu.
Secara formal, Komisi III, sebagai salah satu alat kelengkapan DPR, memiliki kewenangan dalam membentuk Panja. Pasal 144 ayat (1) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Panja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, badan legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran. Selain itu, dalam Pasal 144 ayat (2) diatur bahwa Panja bertugas untuk membahas substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atan rapat kerja Badan Anggaran. Sehingga pembentukan Panja tersebut dapat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur.
Tentu dalam membahas pembentukan
Panja ini tidak hanya cukup dalam tataran syarat formal atau prosedur semata,
namun lebih jauh dari itu, yaitu terkait praktik dalam menjalankan kekuasaan di
dalam sebuah Negara Hukum. UUD 1945 telah dengan tegas dan jelas memngatur
pembagian kekuasaan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan MA sebagai puncak
dari kekuasaan kehakiman (yudikatif) di
Indonesia. Pembagian kekuasaan itu pun sudah pula diberi batasan-batasan dan
fungsi check and balances yang jelas
antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
diatur dengan tegas bahwa “Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pembentukan Panja Putusan Mahkamah Agung Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah ini jelas berpotensi untuk melakukan intervensi yang mengancam kemerdekaan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang berarti berpotensi melanggar hukum. Setidaknya ada 3 (tiga) indikasi yang patut dikemukakan dalam menilai potensi pelanggaran hukum itu. Pertama, objek yang akan menjadi pusat dari pekerjaan Panja adalah Putusan MA, yang merupakan produk langsung dari hakim MA. Pengkritisan terhadap putusan MA ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, dan secara kelembagaan akan mengancam independensi peradilan dalam memutus suatu perkara.
Kedua, subyek yang akan melaksanakan pekerjaan ini adalah anggota DPR, yang merupakan lembaga politik dan memiliki kepentingan tertentu. Sebagai lembaga politik, sulit untuk kemudian memisahkan peninjauan terhadap Putusan dari kepentingan politik. Argumentasi ini bukan berarti melarang sama sekali penijauan terhadap Putusan MA atau pengadilan dibawahnya, namun harus jelas dan sesuai konteksnya, yaitu untuk kepentingan peningkatan kualitas dalam rangka peninjauan akademik. Sehingga akan lebih tepat apabila peninjauan terhadap putusan MA ini dilakukan oleh kalangan akademisi, dan untuk kepentingan akademis.
Ketiga, adanya ketidakjelasan dari maksud dan tujuan dari pembentukan Panja. Apabila merujuk kepada argumentasi dari beberapa anggota DPR, Panja ini akan menyisir putusan-putusan MA berkekuatan hukum tetap yang dianggap bermasalah, terutama dengan permasalahan tidak dapat dieksekusi. Tujuan ini dalam pelaksanaannya bukan tidak mungkin akan mempertanyakan kembali kasus yang bersangkutan, dimana dalam hal ini sangat rentan adanya kepentingan-kepentingan lain, yang bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk membuka kasusnya kembali.
Dengan ketiga argumentasi diatas, jelas Komisi III DPR sudah harus melakukan peninjauan kembali bahkan membatalkan pembentukan Panja tersebut. Selanjutnya, apabila memang benar DPR berniat untuk melakukan peninjauan terhadap putusan MA untuk kepentingan memahami permasalahan yang akan menjadi bahan revisi dari Undang-undang MA, maka akan lebih baik apabila dikerjakan oleh tenaga peneliti atau staff di sekretariat Komisi III, sehingga kecurigaan akan adanya kepentingan politik dibalik pembentukan Panja dapat terhidarkan, sekaligus tidak membebani anggota dengan pekerjaan yang sifatnya teknis.
Sebaliknya, apabila Komisi III DPR tetap memaksakan diri melanjutkan Panja tersebut, maka independensi peradilan di Indonesia akan terancam. Sekaligus semakin menguatkan kesan bahwa DPR, dalam hal ini juga termasuk partai politik dibelakangnya, memang sedang ingin mengintervensi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Setelah sebelumnya berhasil memasukan unsur DPR kedalam Dewan etik hakim konstitusi dalam ketentuan UU No. 18 tahun 2011 tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ketentuan itu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2011 lalu.
Langganan:
Postingan (Atom)