Senin, 18 Oktober 2010

SATU TAHUN SBY-BOEDIONO: CATATAN KRITIS PENEGAKAN KONSTITUSI

Isu penegakan UUD 1945 sebagai peraturan tertinggi di Negeri ini bukanlah isu yang asing ditelinga masyarakat Indonesia. Prinsip tersebut sudah sering dikumandangkan, dari mulai tataran keilmuan sampai jargon-jargon politik yang biasa diutarakan para calon penguasa. Amandemen yang dilakukan pasca runtuhnya rezim orde baru merupakan salah satu bentuk dari upaya memperkuat posisi UUD 1945, sebagai peraturan perundang-undangan yang memiliki cerminan dari cita-cita bangsa Indonesia didalamnya.

Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, membuktikan bahwa UUD 1945 adalah amanat langsung dari rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan, untuk dilaksanakan oleh penyelenggara negara, khususnya Pemerintah. Sehingga jelas dalam hal ini bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat), yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pasca Amandemen yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Dengan dasar atau prinsip yang kuat seharusnya sudah tidak ada lagi keraguan bagi siapapun, terutama bagi Pemerintah sebagai pelaksana amanah dari UUD 1945, dalam menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di negeri ini. Namun, ironis apabila melihat kondisi Negara Indonesia pada saat ini, dimana pelanggaran atau kelalaian dalam pelaksanaan ketentuan dalam UUD 1945 masih sering terjadi.

Dengan mengambil rentang waktu satu tahun Pemerintahan SBY-Boediono, 20 Oktober 2009 sampai 20 Oktober 2010, setidaknya ada dua pelanggaran atau kelalain Pemerintah dalam menjalankan UUD 1945. Pertama, terkait dengan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-VIII/2010, dan Kedua, terkait dengan perpanjangan masa jabatan anggota Komisi Yudisial oleh PresidenKedua kasus tersebut secara nyata memperlihatkan adanya tindakan kontra produktif terhadap usaha penegakan konstitusi.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 49/PUU-VIII/2010

Pada tanggal 22 September 2010, MK membacakan Putusan No. 49/PUU-VIII/2010 mengenai Judicial Review Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) terhadap UUD 1945. Dalam amar Putusan disebutkan bahwa MK memutuskan Pasal 22 ayat (1) huruf d sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstutisional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”. Amar putusan tersebut berdampak kepada keharusan Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk memberhentikan Jaksa Agung saat itu dan menunjuk Jaksa Agung baru. Putusan MK tersebut menganggap Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supandji, tidaklah sah karena belum diangkat kembali selepas berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu jilid I.

Menanggapi Putusan MK tersebut, Pemeirntah, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Sekretaris Negara, menyampaikan bahwa pengangkatan dan pemberhentian seorang Jaksa Agung adalah berdasarkan Keppres. Sehingga Jaksa Agung masih tetap sah sebelum ada Keppres yang mencabut Keppres pengangkatan jabatan Jaksa Agung. Sekilas argumen yang dibangun oleh Pemerintah ini benar, karena pada dasarnya memang jabatan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Namun, apabila dilihat lebih jauh, dasar argumennya sangat rapuh. Logika yang dibangun oleh Pemerintah adalah menempatkan Keppres berada diatas UUD 1945. Pemerintah menganggap bahwa pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung haruslah menunggu Keppres dikeluarkan oleh Presiden dengan mengabaikan Putusan MK tersebut. Jelas logika menempatkan Keppres diatas UUD 1945 adalah kesalahan fatal, dan hal inilah yang menjadikan Pemerintah lalai dalam menjalankan UUD 1945.

Tiga hari berselang dari pembacaan Putusan MK tersebut, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Keppres pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, yaitu Keppres No. 104/P/2010 mengenai Pemberhentian Dengan Hormat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung (Keppres 104/P/2010). Namun langkah tersebut sebenarnya terlambat, mengingat seharusnya tindakan administratif bisa segera dilakukan pasca putusan MK dibacakan, apabila Pemerintah masih menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Negara Indonesia.

PERPANJANGAN MASA JABATAN ANGGOTA KOMISI YUDISIAL

Kelalaian Pemerintah dalam melaksanakan amanah konstitusi juga terjadi pada bulan agustus 2010 lalu, ketika itu Presiden mengeluarkan Keppres perpanjangan masa jabatan Anggota KY Periode 2005-2010 sampai terpilihnya anggota KY yang baru. Tindakan penerbitan Keppres tersebut merupakan bentuk kelalaian Pemerintah dalam menjalankan Konstitusi karena ketentuan dalam Undang-undang No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari UUD 1945 Pasal 24B ayat (4), tidak mengatur perihal perpanjangan masa jabatan. Sehingga Keppres yang dikeluarkan pun tidak memiliki dasar yuridis.

Selain itu, apabila dikaji lebih dalam latar belakang yang mendasarinya, terbitnya Keppres perpanjangan masa jabatan tersebut bukanlah karena suatu keadaan yang sama sekali tidak bisa dihindari oleh Pemerintah, melainkan adalah karena kelalaian Pemerintah sendiri dalam melaksanakan proses pemilihan anggota KY jilid II.

Ada dua hal penting untuk dikemukakan dalam membuktikan bahwa Pemerintah telah lalai melaksanakan ketentuan dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU KY. Pertama, Pemerintah terlambat membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota KY Periode 2010-2015 (Pansel). Pemerintah membentuk Pansel melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Pembentukan Pantia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial (Keppres No.5/2010). Keppres tersebut ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 23 April 2010, dan disisi lain Anggota KY Periode 2010-2015 sudh harus terpilih pada tanggal 2 Agustus 2010, yang berarti hanya ada waktu kurang dari empat bulan untuk menjalankan proses keseluruhan. Jelas waktu empat bulan tidaklah cukup untuk memilih anggota KY yang memiliki kualitas dan integritas yang baik. Sebagai perbandingan, pada pemilihan anggota KY Periode 2005-2010 memakan waktu hampir 7 bulan, dari mulai penandatanganan Keppres pembentukan Pansel, sampai dilantiknya Anggota Komisi Yudisial Periode 2005-2010, yaitu pada tanggal 2 Agustus 2005.

Kedua, keterlambatan pembentukan pansel ternyata tidak lantas membuat Pemerintah memprioritaskan proses pemilihan anggota KY. Hal ini dapat dilihat ketika anggaran yang diperuntukan bagi Pansel tidak kunjung cair sampai hampir dua bulan. Tidak kunjung cairnya anggaran bagi Pansel jelas membuat kinerja Pansel terhambat, dan hal tersebut berdampak langsung kepada proses yang sedang berjalan, khususnya pada proses sosialisasi calon Anggota KY Periode 2010-2015 yang mundur sampai 18 Juli 2010.

Keterlambatan pembentukan Panitia Seleksi sebenarnya pernah pula dialami oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ombudsman, Komisi Kejaksaan, sampai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Namun, jelas KY tidaklah bisa disetarakan dengan lembaga-lembaga tersebut, terutama apabila melihat dari dasar pembentukannya. Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, sedangkan keempat lembaga lain yang tersebut diatas dibentuk berdasarkan Undang-undang. Oleh karena itu pula, keterlambatan pemilihan Anggota KY Jilid II yang berdampak kepada perpanjangan masa jabatan Anggota KY Jilid I merupakan bentuk kelalaian Pemerintah dalam menjalankan UUD 1945.

DILEMA PENEGAKAN HUKUM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Pelanggaran atau kelalaian Pemerintah dalam melaksanakan konstitusi, seperti dijabarkan diatas, sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ada dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran atau kelalaian pelaksanaan konstitusi tersebut. Adapun dampak tersebut adalah berkaitan erat dengan janji dan program Pemerintahan SBY-Boediono. Pada masa kampanye, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden ini mengedepankan janji pemberantasan korupsi dalam isu hukum. Selanjutnya setelah terpilih, SBY-Boediono mencanangkan 15 program aksi prioritas, dimana program nomer wahidnya adalah pemberantasan mafia hukum di semua lembaga negara dan penegak hukum.

Janji yang sudah kadung memikat hati konstituen, dan program aksi prioritas yang sudah terlanjur terencana, nyatanya hanya dapat menjadi ironi dalam upayanya. Pemerintah bahkan melakukan hal sebaliknya dengan membuat lemah lembaga-lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, yaitu Kejaksaan dan KY.

Berdasar kepada tugas pokok dan fungsinya, Kejaksaan seharusnya menjadi garda terdepan bagi Pemerintah dalam pelaksanaan programnya yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, selain Polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Secara khusus, Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan dalam kasus korupsi. Sementara itu, walaupun tidak berperan langsung dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KY tetap memiliki peran yang menetukan.

Kewenangannya dalam mengusulkan hakim agung dan memproses aduan masyarakat terkait dengan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, menjadikan lembaga negara ini ikut menentukan terciptanya lembaga peradilan yang baik dan bersih dari praktik-praktik manipulatif.

Fakta-fakta tersebut diatas jelas menjadi tamparan hebat bagi Pemerintahan SBY-Boediono dalam satu tahun masa jabatannya. Tuntutan akan peradilan yang bersih dan pemberantasan korupsi sudah menjadi harga mati untuk diwujudkan oleh Pemerintahan di Indonesia, siapapun yang menjabat. Oleh karena itu, sudah sebaiknya Pemerintahan hari ini memberikan banyak bukti kepada masyarakat, bukan lagi ironi karena janji tidak ditepati.

Gambar Ilustrasi : https://jakarta45.wordpress.com/2011/05/29/kenegarawanan-tahun-vivere-pericoloso-17-agustus-1964-bung-karno/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar