Kamis, 15 September 2011

RUU BANTUAN HUKUM: MENUJU LEMBAR BARU JAMINAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

Tahun 2010 publik beberapa kali dikagetkan dengan maraknya pemberitaan media tentang ketidakadilan dalam proses hukum yang dialami oleh sebagian warga negara Indonesia. Sebut saja Nenek Minah, warga asli Banyumas berusia 55 tahun, yang dipaksa berurusan dengan pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan karena dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp.2000,00. Lain halnya dengan Nenek Rasminah, 60 Tahun, yang dituduh mencuri piring majikannya, dimana dalam pengakuannya di persidangan mengatakan bahwa ketika pemeriksaan ia dipaksa untuk mengakui bahwa dirinya memang benar mencuri. Tidak jauh berbeda dari nasib seorang Suherlam, yang dituduh oleh majikannya mencuri serokan untuk menggoreng tahu seharga Rp.15.000,00, sampai akhirnya ia pun harus berurusan dengan meja hijau.

Ketiga kasus diatas hanya merupakan contoh kecil dari ketidakadilan terhadap warga negara di hadapan hukum. Bahkan dapat dikatakan mereka lebih beruntung dibandingkan dengan warga negara yang senasib lainnya, karena kasusnya sempat dipublikasikan oleh media dan mendapat banyak respon dari publik, sedangkan warga negara lainnya tidak.

Setidakya ada dua hal yang menjadi kesamaan dari ketiga kasus diatas, yaitu ketiganya tidak didampingi oleh pengacara dalam menjalankan proses hukum, dan ketiga terdakwa dalam kasus diatas tergolong kedalam masyarakat yang miskin. Dari fakta diatas menjadi tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa proses hukum di Indonesia masih minim dalam hal menyediakan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin atau marjinal yang membutuhkan keadilan.
Secara teori, Bantuan Hukum dianggap mampu memberikan kesamaan dan jaminan terhadap seluruh masyarakat, tanpa terkecuali, dalam menikmati perlindungan  dan menciptakan persamaan dihadapan hukum. Namun dalam praktiknya, seperti telah digambarkan sebelumnya, bantuan hukum masih minim dalam pelaksanaan.

Menurut Dr. Mauro Cappelleti pelaksanaan Bantuan Hukum di masing-masing Negara dalam kurun waktu tertentu memiliki tujuan atau motivasinya masing-masing. Pada zaman Romawi, pelaksanaan Bantuan Hukum lebih didasarkan kepada rasa ingin mendapatkan pengaruh di masyarakat. Sedangkan pada abad pertengahan Bantuan Hukum diberikan dengan tujuan sebagai derma agar mendapatkan pahala dari Tuhan. Sampai berkembang lagi pada masa setelah Revolusi Perancis serta Amerika bahwa Bantuan Hukum diberikan bukan lagi sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama manusia, tetapi lebih karena telah dijaminnya hak-hak politik warga negara. Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan lahirnya tujuan negara kesejahteraan atau welfare state, dimana pelaksanaan Bantuan Hukum oleh Negara kemudian dikaitkan dengan upaya mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi warga negaranya. Sehingga dari perkembangan itu, konteks bantuan hukum tidak lagi hanya berkaitan dengan faktor hukum saja, tetapi juga ekonomi dan politik masyarakat.

Aturan Dasar Pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia

Di Indonesia, sebagai negara berkembang dan menganut prinsip negara hukum, pengakuan atas jaminan hak setiap orang mendapatkan kesamaan kedudukan dan perlakuan dimuka hukum telah dinyatakan atau diatur jelas dalam UUD 1945. Bahkan dalam pengaturannya, ada dua Pasal sekaligus yang mengaturnya yaitu Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya jaminan hak bagi setiap orang dalam mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka secara a contrario menjadi kewajiban bagi Negara untuk melaksanakannya, salah satunya adalah dengan pelaksanaan Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin atau yang termarjinalkan.

Apabila bercermin dari tiga kasus yang dikemukakan diawal tulisan, jelas pelaksanaan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 masih jauh dari harapan. Bahkan terasa sangat ironis ditengah realita maraknya kasus korupsi yang melibatkan uang milyaran sampai triliunan rupiah, yang masih belum dapat dilacak keberadaannya, serta pelakunya pun tidak kunjung tertangkap.

Dalam kondisi inilah Pemerintah, sebagai organ pelaksana dari tugas Negara, harus lebih menggalakan pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia. Adanya kebutuhan masyarakat dan kewajiban yang diamanatkan langsung oleh UUD 1945 sudah lebih dari cukup untuk kemudian membuat Negara lebih menjamin pelaksanaan dari Bantuan Hukum. Namun, mengingat kompleksitas dari pelaksanaan Bantuan Hukum di tataran masyarakat, maka membutuhkan political will yang kuat dari Pemerintah yang berkuasa. Political will yang dimaksud adalah keberpihakan Pemerintah dalam melindungi masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan, dengan menghindarkannya dari kebodohan dan keterbelakangan, sehingga tidak terjadi lagi ada perbedaan dalam memperoleh keadilan. Tanpa political will tersebut sulit kiranya mengharapkan pelaksanaan Bantuan Hukum yang ideal di negeri ini.

Menakar Political Will Pemerintah dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum

Merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah mengukur tingkat Political Will dari suatu pemerintahan, karena tidak jarang hal itu bergerak dalam tataran yang abstrak atau tidak terukur. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa diketahui. Setidaknya ada dua instrumen yang dapat dipakai, yaitu dengan melihat pada Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011 dan Rancangan Undang-undang tentang Bantuan Hukum (RUU Bankum) yang sedang dibahas bersama DPR.

Dalam RKP tahun 2011, yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 29 tahun 2010, jelas dikemukakan bahwa Pemerintah memberikan perhatian yang khusus terhadap pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara sebagai bentuk penjaminan hak konstitusioalnya. Sejak tahun 2009, Pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, dimana ada 8 (delapan) bidang yang akan direformasi, salah satunya adalah Bantuan Hukum.

Namun, dalam pelaksanaannya, Bantuan Hukum yang dimaksud hanya mencakup proses hukum di pengadilan saja, baik dalam hal pembebasan biaya pendaftaran perkara (prodeo) dan biaya pendampingan oleh advokat/lembaga bantuan hukum.  Sedangkan konteks Bantuan Hukum saat ini mencakup pula kegiatan-kegiatan advokasi, konsultasi, atau bahkan pendidikan hukum. Selain itu, terkait dengan persebaran akses Bantuan Hukum, juga masih minim. Pendirian Pos Bantuan Hukum  (Posbakum) sebagai amanat dari Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, belum berlaku secara merata di setiap pengadilan negeri. Walaupun perlu diapresiasi kesigapan Mahkamah Agung dalam merespon kewajiban tersebut dengan membentuk Surat Edaran MA (SEMA) No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.

Sejak pertengahan tahun 2010, RUU Bankum sudah mulai dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Namun, setelah melewati dua kali masa sidang, RUU ini tidak kunjung disahkan. Sehingga terpaksa pembahasan dilanjutkan dalam masa sidang ketiga, yang merupakan masa sidang terakhir dalam membahas suatu RUU.
RUU ini diusulkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini kembali menegaskan adanya political will dari Pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang bantuan hukum. Namun, sekali lagi pembentukan produk seperti RUU Bankum hanya terkesan sebagai simbol saja, tidak disertai dengan substansi yang benar-benar ditujukan bagi perluasan akses masyarakat terhadap keadilan melalui bantuan hukum.

Isu Krusial dalam Pembahasan Substansi RUU Bankum

Setidaknya ada tiga isu krusial yang penting untuk dipastikan dalam substansi RUU Bankum. Pertama, terkait dengan ruang lingkup dari Bantuan Hukum yang dimaksud dalam RUU Bankum. Kedua, lingkup obyek penerima Bantuan Hukum. Dan Ketiga, terkait dengan penyelenggara Bantuan Hukum. Ketiga isu ini jugalah yang alot diperdebatkan dalam pembahasan RUU Bankum oleh Pemerintah dan DPR.
      
      a.           Ruang Linkup Bantuan Hukum
Ruang lingkup menjadi isu penting dalam konteks Bantuan Hukum saat ini, mengingat istilah Bantuan Hukum sudah tidak lagi hanya berkutat dalam tataran beracara di pengadilan atau litigasi saja, tetapi juga non-litigasi, baik berupa advokasi, konsultasi, dan bahkan pendidikan hukum kepada masyarakat. Bantuan Hukum harus memiliki visi untuk ikut mencerdaskan masyarakat dalam bidang hukum.

Ruang linkup bantuan hukum ini sendiri sebenarnya sudah lama dikenla di Indonesia. Sejak tahun 80-an Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) telah memperkenalkan yang namanya Bantuan Hukum Struktural, dimana kegiatannya tidak melulu beracara di pengadilan tetapi juga ikut dalam kegiatan penyadaran hukum terutama kepada kelompok masyarakat yang termarjinalkan, berpikir kritis terhadap ideologi maupun praktik penegakan hukum yang berjalan, dan juga mendorong pada perubahan suatu kebijakan.

Dalam draft RUU Bankum per 19 Januari 2011, sudah mulai terlihat ada kemajuan dari draft-draft sebelumnya yang hanya memasukan proses litigasi saja dalam konteks Bantuan Hukum. Dalam draft terbaru itu sudah masuk pengaturan mengenai non-litigasi dalam ruang lingkup Bantuan Hukum. Selain itu, “Penyuluhan Hukum” juga diatur dalam Bab tersendiri. Hal ini menggambarkan bahwa konsep perluasan ruang lingkup sudah bisa diterima oleh para perancang RUU Bankum. Namun, pengaturan mengenai ruang lingkup Bantuan Hukum ini tidak diatur secara khusus dalam Bab tertentu mengenai “Ruang lingkup”, sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan atau multi penafsiran.

Selain itu, potensi permasalahan lain dalam RUU Bankum adalah terkait dengan pengaturan teknis. RUU Bankum tidak mengatur secara tuntas pelaksanaan Bantuan Hukum dalam tataran non-itigasi ini, dimana pengaturan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini berarti ketentuan belum bisa dijalankan selama PP yang diamanatkan belum dibentuk.
      
      b.      Penerima Bantuan Hukum 
Isu lain yang krusial dalam RUU Bankum adalah mengenai penerima bantuan hukum. Pada dasarnya setiap warga negara berhak mendapatkan bantuan hukum. Namun, pengaturan dalam RUU Bankum lebih memprioritaskan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk mendapatkan jasa bantuan hukum. Dalam draft terakhir RUU Bankum tercantum bahwa penerima bantaun hukum adalah orang miskin, orang atau kelompok yang ditentukan oleh UU ini. Pengaturan tersebut tidak memiliki kejelasan pengertian, baik apa yang dimaksud dengan “orang miskin” dan apa saja yang termasuk dalam “orang atau kelompok yang ditentukan oleh UU ini”. Ketidakjelasan itu hanya akan memberikan standar ganda dalam penentuan syarat penerima bantuan hukum, dan berujung kepada pembrian bantuan hukum yang salah sasaran.

Banyak standar yang dapat digunakan dalam menentukan definisi miskin. Setidaknya ada dua standar yang banyak digunakan, yaitu dari Badan Pusat Statistik dan World Bank (WB). BPS menetapkan garis kemiskinan mencakup kebutuhan makanan dan minuman sebesar 2.100 kalori, dimana pada tahun 2010 ini setara dengan lebih kurang Rp 7.000,00 per hari. Selain itu, standar yang ditetapkan oleh WB adalah untuk kemiskinan absolut berpenghasilan dibawah 1 USD per hari, sedangkan untuk kemiskinan menengah berpenghasilan dibawah 2 USD per-hari.

Namun, melihat dari definisi “orang miskin” yang dibutuhkan oleh RUU Bankum, dua standar diatas tidaklah tepat untuk digunakan sebagai satu-satunya standar yang digunakan. Pengertian miskin tidak hanya mencakup kepada penghasilan seseorang, tetapi lebih dalam lagi, yaitu dilihat dari tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need), terutama dalam hal ini termasuk akses terhadap keadilan. Sehingga, dalam menentukan definisi miskin tersebut haruslah terlebih dahulu ditetapkan kelayakan minimum. Dengan penentuan kelayakan minimum ini pula, penerima bantuan hukum kemudian tidak hanya mereka yang dikategorikan miskin secara pendapatan atau asupan kalori, tetapi juga kelompok masyarakat yang termarjinalkan pun dapat ikut masuk dalam kelompok peneima bantuan hukum.

Adapun usul kriteria minimum yang dapat digunakan untuk menentukan kelayakan minimum dari penerima bantuan hukum adalah seperti melihat pada kebutuhan dasarnya, yatu pemenuhan pangan, sandang, dan papan; tingkat pendidikan; serta kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi di masyarakat.
         
      c.       Penyelenggara Bantuan Hukum
Isu krusial terakhir yang penting untuk diperhatikan adalah terkait dengan penyelenggara jasa bantuan hukum. Dalam perkembangannya ada 2 (dua) pendapat yang mengemuka terkait dengan hal ini, yaitu dibuat satu lembaga independen baru atau disebut sebagai Komisi Nasional Bantuan Hukum (Komnasbankum), atau fungsi pemberian Bantuan Hukum masuk kedalam tupoksi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Pada dasarnya, dalam isu ini tidak lantas hanya memilih salah satu pendapat tersebut, tetapi jauh daripada itu penting untuk terlebih dahulu memastikan kriteria dari penyelenggara jasa bantuan hukum kelak. Sehingga apapun pilihannya, yang akan berdasar kepada keputusan  politik, kemudian dapat mewujudkan kelembagaan yang mampu melaksanakan bantuan hukum sesuai dengan tujuannya.

Dalam menentukan kriteria tersebut, perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah melihat contoh penyelenggara bantuan hukum di negara lain. Dibawah ini adalah contoh bentuk penyelenggara bantuan hukum di beberapa negara, dimana pelaksanaan bantuan hukum di negara tersebut relatif sudah baik :

NEGARA
SUMBER DANA
PENYELENGGARA
PEMBERI
KETERANGAN
Australia Negara Komisi Bantuan Hukum Staf Pengacara Komisi, Pengacara Privat
Taiwan Negara dan donasi Yayasan Bantuan Hukum Pengacara tingkat lokal, Ornop Berdasarkan Legal Aid Act tahun 2004
Afrika Selatan Negara Dewan Bantuan Hukum atau Legal Aid Board (LAB) Ornop, Universitas, Pengacara Privat Berdasarkan Legal Aid Act, No. 22 of 1969
Belanda Dana Publik atau Bantuan Masyarakat Pusat Bantuan, Nasehat, dan Pembelaan Hukum Pengacara Privat

Contoh di beberapa negara diatas menunjukan suatu keberagaman dalam hal bentuk penyelenggara. Hal ini wajar terjadi mengingat setiap negara memiliki keunikannya, dan karakter masyarakatnya masing-masing. Namun, ada beberapa hal yang penting untuk dicatat, yaitu Pertama, keempat negara diatas memilih bentuk penyelenggara yang bersifat independen atau diluar tubuh Pemerintah. Kedua, walaupun independen namun pembiayaan berasal dari Anggaran Negara, walaupun tidak semua. Tercatat Australia, Taiwan, dan Afrika Selatan yang tetap memanfaatkan dana dari Anggaran Negara untuk pelaksanaan bantuan hukumnya. Hal ini menggambarkan bahwa tetap ada kontribusi negara dalam pelaksanaan bantuan hukum.

Selain melihat dari contoh negara lain, perlu disadari pula bahwa posisi penyelenggara bantuan hukum sangat strategis, karena memiliki banyak kewenangan, yaitu dari mulai menyeleksi permohonan yang diajukan oleh calon penerima bantuan hukum, melakukan sertifikasi/verifikasi kepada pemberi Bantuan Hukum, sampai mengatur anggaran pelaksanaan bantuan hukum. Selain itu, permasalahan mengenai minimnya akses masyarakat terhadap bantuan hukum pun harus dipertimbangkan untuk kemudian diselesaikan dalam konteks penyelenggara bantuan hukum ini.


Dari penjelasan mengenai penyelenggara bantuan hukum di negara lain, kestrategisan posisi, dan akses yang masih minim, kemudian dapat ditentukan kritera-kriteria yang diperlukan. Adapun usulan kriteria tersebut adalah Pertama, harus adanya jaminan akses terhadap anggaran negara untuk pembiayaan bantuan hukum. Kedua, lembaga penyelenggara bantuan hukum harus bekerja secara profesional, akuntabel, dan transparan. Ketiga, penyelenggara bantuan hukum harus mampu membuat jaringan diseluruh Indonesia, sehingga dapat memudahkan akses masyarakat terhadap para pemberi bantuan hukum.

gambar ilustrasi: http://hukumkonsultan.blogspot.com/2012/10/kantor-hukum-sutinah-zairin-rekan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar