Kamis, 15 September 2011

MULTI INTEPRETASI TERHADAP MASA TRANSISI UNIVERSITAS INDONESIA DISAHKANNYA PP NO. 66 TAHUN 2010


Polemik pemberian gelar kehormatan Doctor Honoris Causa kepada Raja Arab Saudi oleh Rektor Universitas Indonesia terus bergulir dari hari ke hari. Isu yang muncul kepermukaan pun semakin meluas, tidak lagi hanya berkutat pada kontroversi pemberian gelar DR HC, tetapi masuk kepada ranah lain, salah satunya adalah sistem tata kelola di internal Universitas Indonesia.

Koreksi terhadap tata kelola dan pelaksanaan good governance di UI bukanlah isu baru, karena sudah kerap diungkapkan diberbagai kesempatan. Namun koreksi-koreksi yang ada sebelumnya terjadi secara terpisah dan tidak mendapat perhatian besar. Berkembangnya protes terhadap kebijakan Rektor UI tersebut seakan menjadi pintu masuk untuk menyuarakan kembali koreksi terhadap tata kelola UI, dimana secara kebetulan kali ini mendapatkan respon yang sangat besar dari masyarakat luas. Selain itu, langkah Rektor UI membentuk Senat Universitas Indonesia (SUI) melalui Peraturan Rektor No. 1141 A/SK/R/UI/2011 dan Senat Fakultas di Universitas Indonesia (SFUI) dengan Peraturan Rektor No. 1141 B/SK/R/UI/2011, dengan argumentasi bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik Universitas (SAU) sudah tidak ada lagi, menjadikan jabatan Rektor seakan tanpa pengawasan saat ini. Kondisi tersebut semakin mempertegas bahwa ada kesalahan dalam sistem tata kelola yang berjalan saat ini di UI.

Pembentukan SUI dan SFUI oleh Rektor UI didasarkan kepada intrepretasi terhadap peraturan yang berlaku saat ini. Rektor UI, berdasar kepada Legal Opinion yang disusun oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, SH, berpendapat bahwa setelah ada Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang menyatakan bahwa Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentag Badan Hukum Pendidikan, status UI tidak lagi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi kembali menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Salah satu konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah jabatan Rektor UI sebagai pengambil keputusan tertinggi, yang mendapatkan delegasi kewenangan langsung dari Menteri Pendidikan Nasional. Legal Opinion diatas diperkuat pula oleh adanya surat dari Jaksa Agung No. R.043/A/Gtn.1/04/2010 kepada Menteri Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pertama, terbitnya Putusan MK yang menyatakan UU BHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, mengakibatkan penyelenggaraan perguruan Tinggi dengan status hukum BHMN tidak memiliki dasr hukum mengikat, dan penyelenggaraannya harus dikembalikan menjadi PTN. Kedua, Putusan MK tersebut masih memperbolehkan adanya badan hukum pendidikan sepanjang dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan. Namun, dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, belum mengatur secara tegas mengenai penyelenggara pendidikan. Sehingga diperlukan PP yang baru atau perubahan atas PP 17/2010. Ketiga, selama belum dibentuk PP baru ataupun PP perubahan dari PP 17/2010 maka perguruan tinggi yang berstatus BHMN harus dikembalikan menjadi PTN.

Dari Legal Opinion tersebut terlihat memang sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Namun apabila dilihat lebih teliti, ada beberapa hal yang luput untuk dipertimbangkan, terutama dalam memaknai masa transisi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Sebelum menjelaskan lebih detail mengenai analisa terhadap Legal Opinion yang dipakai oleh Rektor dalam menlakukan interpretasi terhadap peraturan yang ada. Ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai sejarah pengaturan tata kelola UI, terutama pasca perubahan stausnya menjadi BHMN. Dengan perubahan status pengelolaan UI menjadi BHMN, maka pengelolaannya tidak lagi berada dibawah Kementerian (dahulu Departemen) Pendidikan Nasional , tetapi diberikan kepada UI secara mandiri atas nama otonomi perguruan tinggi. Selain itu, status BHMN sebenarnya bukanlah status baru dan khusus diberikan kepada lembaga pendidikan, karena sebelumnya Bada Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) juga berstatus BHMN. Perubahan status UI dari PTN menjadi BHMN dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 152 tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. Kemudian PP tersebut yang menjadi statuta pertama UI dalam statusnya sebagai BHMN. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa PP 152/2000 menjadi peraturan pertama yang mengatur mengenai tata kelola UI pasca beralih status menjadi BHMN.

Pembetukan PP 152/2000 tidak bisa dipisahkan dari PP yang dibentuk sebelumnya, yaitu PP No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Pada Pasal 123 ayat (1) PP 60/1999 disebutkan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri.” Pasal inilah yang menjadi bibit awal pemberian otonomi kepada perguruan tinggi Pemerintah, yang telah dianggap mampu mandiri, untuk diberikan otonomi dalam pengelolaannya. Dalam ayat (2) Pasal yang sama disebutkan kemudian bahwa “Ketentuan-ketentuan mengenai Badan Hukum sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Pasal inilah yang secara langsung memberikan delegasi untuk pembentukan PP No. 61/1999. Dalam PP tersebut dijelaskan mengenai tata cara perubahan status suatu universitas dari PTN menjadi BHMN, dimana dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa perubahan status ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam pasal tersebutlah yang menjadi dasar pembentukan PP 152/2000 dan PP sejenis yang menetapkan PTN menjadi BHMN.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa perubahan status UI dari PTN menjadi BHMN dengan berdasar kepada tiga PP, yaitu PP 60/1999, PP 61/1999. dan PP 152/2000. Ketiga PP tersebut dibentuk pada saat UU Sisdiknas masih diatur dalam UU No. 2 tahun 1989. Sehingga muncul pertanyaan apakah ketiga PP tersebut menjadi otomatis tidak berlaku pasca disahkannya UU No. 20 tahun 2003 sebagai revisi dari UU No. 2 Tahun 1989? Jawabannya adalah tidak. Kondisi tersebut terjadi karena dalam peraturan peralihan, Pasal 72, UU No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa: “Penyelenggara pendidikan yang pada saat undang-undnag ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.” PP 152/2000 terus berlaku sampai pada disahkannya UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

UU BHP kemudian mengganti peran dari PP 152/2000 sebagai peraturan yang mengatur mengenai status pengelolaan perguruan tinggi termasuk tata kelola dari perguruan tinggi tersebut. Selain PP 152/2000, PP 60/1999 dan PP 61/1999 pun direvisi, yaitu dengan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP ini tidak mengandung pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi, karena pada saat itu sudah diatur dalam UU BHP. Kondisi diatas terus berjalan sampai pada MK mengeluarkan Putusan No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Dalam salah satu amar putusan tersebut menyebutkan bahwa UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Putusan ini secara otomatis menimbulkan kekosongan hukum terkait dengan pengaturan mengenai tata kelola perguruan tinggi, ditambah lagi PP 60/1999 dan PP 61/1999 telah direvisi oleh PP 17/2010.

Kondisi tersebut disadari betul oleh Pemerintah yang kemudian membentuk Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Penambahan ketentuan melalui PP 66/2010 dikhususkan untuk pengaturan mengenai tata kelola saja. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah PP 152/2000 dihapuskan oleh PP 17/2010, pengaturan mengenai tata kelola bagi UI diatur oleh PP 66/2010. Pada PP 66/2010 memang mengatur bahwa UI tidak lagi memakai bentuk BHMN dalam pengelolaannya, tetapi kembali menjadi PTN, yang berarti berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, pelaksanaannya tidak serta merta langsung aktif seketika setelah PP 66/2010 disahkan, karena ada masa transisi atau peralihan pergantian status pengelolaan. Pasal 220A ayat (1) PP 66/2010 menyebutkan bahwa “Pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini” Pengaturan mengenai masa transisi dilanjutkan dengan ketentuan dalam Pasal 220A ayat (2) yang menyatakan bahwa “Penyesuaian pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan”.

Dari kedua ketentuan diatas jelas mengatur bahwa tata kelola dalam PP 66/2000 tidak berlaku serta merta, sehingga ketentuan sebelumnya mengenai tata kelola UI, yaitu PP 152 /2000 masih tetap berlaku. Penggunaan masa transisi terhadap perubahan suatu sistem lumrah terjadi, terutama apabila dalam transisi tersebut perlu waktu yang cukup untuk melakukan penyesuaian. Begitu pula dengan perubahan tata kelola di UI, yang tidak hanya perubahan struktur yang dibutuhkan, tetapi juga hal-hal lain, yaitu mencakup status kepegawaian, status aset kepemilikan tanah dan bangunan, serta pengesahan statuta baru sebagai dasar pengelolaan UI kedepan. Selain itu, masa transisi juga harus dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi di internal UI, dimana keseluruhan prosesnya harus dapat dimaknai oleh seluruh civitas academika UI, tidak hanya milik Rektor UI seorang. Dengan adanya partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi maka masa transisi tersebut akan melahirkan rasa memiliki dari civitas academika terhadap UI, dan kebijakan apapun dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar