Selasa, 10 Januari 2012

MENGEMBALIKAN MUSIK SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA


9 Maret Sebagai Hari Musik Indonesia
Genap 7 (tujuh) tahun sudah, Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Indonesia. Pemilihan tanggal 9 Maret sebagai hari Musik Indonesia adalah karena tanggal ini tercatat sebagai tanggal kelahiran dari pencipta lagu kebangsaan Negara Indonesia, Indonesia Raya, yaitu Wage Rudolf Supratman.
Pemilihan tanggal lahir dari pahlawan nasional, WR.Supratman, sebagai tanggal dari hari Musik Indonesia bukanlah tanpa makna. Karya agungnya yang berjudul “Indonesia Raya” merupakan bukti nyata dari seorang WR.Supratman akan kebanggaannya menjadi seorang Indonesia dan semangat dalam berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Dimana kedua sikap itulah yang patut di contoh dewasa ini, terutama bagi para generasi muda Indonesia.

Musik Sebagai Alat Pemersatu Bangsa
Dalam memaknai musik, memang bukanlah hanya memandangnya sekedar bagian dari kebudayaan Indonesia yang harus terus dilestarikan, tetapi musik sudah harus dimaknai dan dimanfaatkan sebagai alat perjuangan bangsa, terutama dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah telah membuktikan bagimana musik dapat menjadi alat pemersatu bangsa. Salah satunya adalah lagu “Indonesia Raya” yang telah menjadi alat pemersatu para pemuda-pemudi Indonesia dalam berjuang merebut kemerdekaan, pasca dikumandangakan untuk pertama kali dalam Kongres Sumpah Pemuda II, pada tanggal 28 Oktober 1928.
Musik di Indonesia dewasa ini telah menjadi komoditi pasar yang sangat luar biasa besar. Bahkan bisnis ilegalnya sekalipun di Indonesia telah mencapai omset 4,3 triliun rupiah pada tahun 2009, dimana 1,3 triliun rupiah seharusnya merupakan “jatah” bagi pajak negara. Dalam perkembangannya, di dunia musik Indonesia banyak bermunculan beberapa grup band anak muda yang terus bersaing untuk menebar pesona kepada para fans demi mendapatkan popularitas dan memanjakannya dengan buaian musik yang merdu nan indah. Namun sayang, peran musik sebagai alat perjuangan bangsa sudah sangat terlupakan, larut dalam hingar bingar konsumerisme dunia musik Indonesia. Oleh karena itulah, hari Musik Indonesia menjadi sangat penting untuk diperangati dan dimaknai dewasa ini, guna memaknai kembali potensi dari suatu musik sebagai alat pemersatu bangsa.

Musik dan Kebijakan Nasional
Kemampuan atau pengaruh luar biasa dari musik seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) alinea ke-4 disebutkan bahwa salah satu dasar dari bangsa ini adalah persatuan Indonesia, dimana hal tersebut juga termasuk dalam sila III Pancasila. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menciptakan persatuan Indonesia adalah melalui musik.
Permasalahan yang perlu diselesaikan dewasa ini adalah belum seriusnya pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah, dalam mengeluarkan kebijakan yang berkesinambungan, demi memanfaatkan musik sebagai alat pemersatu bangsa. Kondisi tersebut bisa terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dari hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tahun 2009 disebutkan bahwa dari 108 peraturan perundang-undangan (baik dalam tingkat Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Menteri, maupun Istruksi Menteri) yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan, tidak ada satupun yang mengatur khusus tentang musik secara mendalam. Berbeda dengan film yang sudah memiliki UU Perfilman, musik baru diatur secara sebagian dalam UU Hak Cipta dan Peraturan Daerah di beberapa daerah di Indonesia. Adapun dalam peraturan perundang-undangan lain pembahasan mengenai musik tidak sebanyak dalam peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas.
Dalam UU Hak Cipta diatur mengenai kekayaan intelekutual yang terkandung dalam suatu musik atau lagu. Secara spesifik, UU ini mengatur mengenai hak privat yang terkandung dalam suatu musik atau lagu, dimana hak tersebut dapat dimanfaatkan secara ekonomis bagi sang pemilik hak. Sehingga secara garis besar dapat dikatakan bahwa UU ini mengatur mengenai musik sebagai komoditas bisnis. Berbeda dengan UU, Perda  yang mengatur tentang musik banyak mengatur tentang perlindungan terhadap musik daerah. Salah satu contoh dari Perda yang mengatur hal tersebut adalah Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim No.13 tahun 2000 tentang Lagu dan Tarian Daerah Muara Enim. Perda semacam ini mulai banyak dirintis untuk dibentuk di berbagai daerah, salah satunya di Provinsi Maluku, dikarenakan dua alasan. Pertama, secara umum sebagai dampak dari diberlakukannya prinsip otonomi daerah di Indonesia, sehingga Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia dapat membentuk Perda. Kedua, secara khusus dipicu oleh kasus “diambilnya” lagu daerah “Rasa Sayange” oleh Malaysia. Dari kedua alasan tersebut dapat terlihat bahwa Perda pun pada hakikatnya hanya mengatur mengenai “hak kepemilikan” dari suatu lagu daerah.
Terlihat secara umum, kedua jenis peraturan perundang-undangan yang menyangkut dengan musik diatas, baik UU maupun Perda, belum mampu menyentuh kepada masalah utama yang harus dipecahkan, yaitu pengaturan substanstif yang mampu memberikan stimulus kepada para seniman musik untuk menciptakan karya-karya yang mampu membangkitkan potensi musik untuk berperan dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, ketidakseriusan pemerintahan di Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan yang berkesinambungan dalam bidang musik memiliki andil dalam mengakibatkan dunia musik tanah air dewasa ini berhasil dikuasai penuh oleh pasar. Salah satu contoh kasus dari dampak yang timbul akibat kondisi tersebut adalah ketidakmampuan lagu anak-anak untuk berkembang di Indonesia saat ini. Lagu anak-anak memiliki pasar yang kecil, setidaknya tidak sebesar lagu untuk orang dewasa, sehingga sulit untuk mencari pemilik modal yang mau berinvestasi dalam pengembangan lagu anak-anak. Ketika sudah seperti itu, tugas Pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4, menjadi sulit dan akan terus terhambat.
Apabila sebelumnya sudah dibahas mengenai kebijakan dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan atau sedang berlaku, lalu bagaimana dengan Rancangan Undang-undang (RUU) yang akan dibentuk? Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014 yang dikeluarkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR tercatat ada 4 RUU, dari 247 RUU, yang secara judul berkaitan dengan musik, yaitu RUU Kebudayaan, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Kaitan yang dimaksud diatas hanya sebatas pengamatan dari judul RUU saja, sehingga tidak menjamin kemudian substansinya sesuai dengan judul yang digunakan.

Penutup
Dari data dan fakta diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa pemerintahan di Indonesia sampai hari ini belum bisa menunjukan keseriusannya dalam mengembangkan kebijakan yang berkesinambungan dalam bidang musik di Indonesia. Sehingga tepatlah kiranya hari Musik Indonesia ini menjadi moment yang pas bagi pemerintahan di Indonesia untuk segera menyadari dan menyikapi kondisi ini dengan cepat dan nyata, sehingga musik di Indonesia dapat kembali menjadi alat perjuangan dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Gambar ilustrasi : http://izhulsangmusafir.wordpress.com/2011/12/18/jenis-jenis-musik-tradisional/

KAJIAN KRITIS TERHADAP PEMBENTUKAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA DAERAH TENTANG PELARANGAN AKTIVITAS JEMAAH AHMADIYAH INDONESIA DI BERBAGAI DAERAH


Pasca bentrokan di Cikeusik awal Februari 2011 lalu, pro dan kontra penolakan Ahmadiyah semakin memanas. Aksi demonstrasi massa sampai rapat-rapat di Gedung DPR sibuk membahas polemik tersebut, hingga perkembangan terakhir yaitu beberapa kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang intinya melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di daerahnya.

Tercatat sudah ada 5 (lima) daerah yang mengeluarkan peraturan serupa, antara lain Kota Samarinda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Selatan. Sebelumnya, sudah ada 7 (tujuh) daerah lainnya yang melarang aktivitas JAI, diantaranya adalah Lombok Timur, Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan Garut. Jumlah tersebut bukan tidak mungkin akan terus bertambah seiring dengan bergulirnya sikap penolakan terhadap aktivitas JAI.

Terlepas dari pro-kontra mengenai substansi peraturannya, penting untuk memastikan apakah SK kepala daerah tersebut sah atau tidak secara hukum? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, karena apabila SK itu tidak sah menurut hukum, maka akan menjadi preseden yang buruk bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia. Bukan tidak mungkin preseden tersebut akan terjadi dalam isu lain, atau menjadi alat politik bagi penguasa untuk menindas suatu kaum atau golongan.

Ada 2 (dua) poin penting yang bisa dijadikan tolak ukur dalam menjawab pertanyaan diatas, yaitu Pertama dengan melihat dasar kewenangan kepala daerah dalam mengeluarkan SK dan kedua, melihat dasar hukum dari pembentukan SK itu sendiri.

a.      Dasar Kewenangan Pembentukan SK Kepala Daerah
Kewenangan bagi kepala daerah untuk membentuk suatu peraturan berasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Istilah “peraturan-peraturan lain” yang disebutkan dalam UUD 1945 diatur lebih lanjut dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004). Pada Bab VI UU 32/2004 diatur mengenai Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Dalam Pasal 146 ayat (1) UU 32/2004, ada dua jenis peraturan kepala daerah yang diatur, yaitu peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa setiap kepala daerah di Indonesia memiliki kewenangan membentuk keputusan kepala daerah. Namun, kewenangan tersebut bukan tanpa batasan. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, pada akhir kalimatnya mengatakan bahwa “... untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Bagian itu tidak bisa dipisahkan dari kata-kata sebelumnya, karena merupakan satu kesatuan kalimat. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan peraturan oleh daerah adalah hanya untuk menjalankan otonomi di daerahnya. Begitu pula dengan SK pelarangan aktivitas JAI yang pembentukannya adalah untuk menjalankan otonomi di daerahnya masing-masing, tidak lebih.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 juga mengatur bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Perlu diketahui mana saja yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana saja yang menjadi urusan pemerintah daerah. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan bahwa yang menjadi urusan Pemerintah Pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Selain dari 6 (enam) hal ini, merupakan urusan pemerintah daerah.

Berdasar pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepala daerah berhak untuk mengeluarkan SK Kepala Daerah. Namun, kewenangan tersebut hanya berlaku apabila SK yang dibentuk mengatur perihal urusan pemerintahan daerah, atau di luar enam urusan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, SK Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI patut untuk diragukan keabsahannya, karena mengatur perihal agama, yang merupakan urusan dari Pemerintah Pusat.

b.     Dasar Hukum SK Kepala Daerah
Dalam bentuk formal suatu peraturan terdapat bagian Dasar Hukum, yang diawali dengan kata “mengingat”. Bagian ini menyebutkan peraturan perundang-undangan apa saja yang menjadi dasar hukum ataupun rujukan yang dipakai dalam membentuk peraturan bersangkutan.

Dalam SK Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI di berbagai daerah, mayoritas menggunakan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Peraturan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, sebagai dasar hukum. Undang-Undang ini juga yang mejadi dasar hukum Surat Ketetapan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri No 3 Tahun 2008, No Kep-033/A/JA/6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Dari judulnya, UU No 1/PNPS/1965 ini memiliki perbedaan dari judul undang-undang pada umumnya. Hal itu sudah bisa menandakan ada kekhususan yang dimiliki oleh UU tersebut dan penting untuk mengetahui lebih lanjut kaitannya dengan SK Kepala Daerah tentang pelarangan aktivitas JAI di berbagai daerah.

Undang-Undang No 1/PNPS/1965 berasal dari Penetapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Waktu itu, Penpres dianggap sah karena berasal dari wewenang Presiden, walaupun tidak diakui oleh UUD 1945. Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59 kepada DPR, tertanggal 20 Agustus 1959, dilanjutkan dengan Surat Nomor 3639/Hk59, tertanggal 26 November1959, menjadi alat bagi Presiden Soekarno saat itu untuk menyatakan dalilnya tersebut, bahwa Penpres adalah bentuk hukum yang sah berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada masa Orde Baru, pemerintahan saat itu, yang dipimpin oleh Presiden Suharto, menganggap Penpres adalah penyimpangan dari UUD 1945. Melalui UU No 5 Tahun 1969, bentuk hukum Penpres dihapuskan. Namun, penghapusan tersebut tidak lantas menghilangkan substansi pengaturannya, melainkan bentuk Penpres tersebut diganti menjadi bentuk hukum Undang-Undang, seperti Penpres No 1/1965 yang diubah menjadi UU No 1/PNPS/Tahun 1965. Selain itu, ada pula penpres lain, yaitu Penpres No 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudian diubah menjadi UU No 11/PNPS/1963.

Undang-Undang No 5/1969, yang merupakan dasar hukum penggantian bentuk hukum dari Penpres menjadi UU, mengisyaratkan dalam penjelasannya bahwa:

"Harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi daripada penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang yang baru."

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa sebenarnya perlu kemudian membentuk undang-undang baru terkait dengan substansi dari penpres tersebut. Hal itulah yang juga menjadi argumentasi  dibentuk UU No 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang No 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang bahkan tidak mengatur baru melainkan mencabut dengan tegas produk hukum bekas penpres tersebut.

Pada 2009, Mahkamah Konstitusi telah melakukan judicial review terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 1965. Amar putusan MK, melalui Putusan No 140/PUU-VII/2009, menyebutkan bahwa “menolak permohonan dari Pemohon untuk seluruhnya”, yang berarti UU itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

Putusan MK tersebut menegaskan bahwa UU ini masih mempunyai daya laku (validity), karena tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, perlu diketahui bahwa selain daya laku, suatu peraturan juga harus memiliki daya guna (efficacy),yang mencerminkan kemanfaatan peraturan tersebut di masyarakat. Maraknya tindakan sewenang-wenang dari pelaksanaan UU No 1/PNPS/Tahun 1965 adalah bukti lemahnya daya guna dalam UU ini. Selain itu, latar belakang yang sudah tidak relevan menjadikan UU ini tidak lagi memiliki daya guna yang sama dengan pada saat baru dibentuk. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR sudah harus berpikir untuk melakukan revisi terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 2006, untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi kekinian.

Tuntutan untuk membentuk undang-undang baru juga berkaitan dengan materi muatannya yang mengatur tentang pembatasan HAM bagi warga negara. Pasal 73 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:

“Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”

Berdasar dari pasal itu, jelas bahwa pengaturan yang bermaterikan pembatasan HAM harus memakai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang, tidak lebih rendah. Dengan demikian, sudah seharusnya DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap UU No 1/PNPS/Tahun 1965.

Kesimpulan
Berdasar kepada penjabaran dua poin di atas, dapat terlihat bahwa SK yang dikeluarkan oleh beberapa kepala daerah mengenai pelarangan aktivitas JAI sangat lemah dari segi kewenangan pembentukan dan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, SK kepala daerah yang sudah terlanjur dibentuk harus segera ditinjau (review).
Respon segera dari pemerintah pusat dalam me-review SK tersebut akan sangat menentukan preseden yang akan timbul. Semakin lambat respon pemerintah pusat, akan timbul kesan pembiaran, dan kemudian memunculkan penilaian bahwa apa yang terjadi adalah benar. Apabila hal tersebut terjadi, maka bukan tidak mungkin kejadian ini akan menjadi contoh buruk dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Dampaknya ke depan, akan muncul pola-pola yang sama, dimana pemerintah daerah mengatur apa yang seharusnya menjadi urusan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Solusi
Permasalahan di atas tentu menuntut adanya solusi konkrit untuk menyelesaikannya. Dalam upaya tersebut, setidaknya ada dua solusi yang dapat diajukan, yaitu solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang.

Sebagai solusi jangka pendek, SK Kepala Daerah yang sudah terlanjur dibentuk tentang pelarangan aktivitas JAI harus segera di-review, hingga dapat dibatalkan, sesuai dengan mekanisme dalam UU 32/2004 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Sedangkan untuk solusi jangka panjang adalah Pemerintah dan DPR harus merevisi UU No 1/PNPS/Tahun 1965, untuk menyesuaikan dengan kondisi kekinian.

POLITIK LEGISLASI SEBAGAI KOMPONEN MENDASAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK DI INDONESIA

Perkembangan politik di Indonesia tentu banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah perkembangan bangsa ini. Sejarah bagaimana dari masa ke masa, politik Indonesia memiliki warna dan ciri khasnya sendiri, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi. Selain itu, perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat Indonesia saat itu.
Masa orde baru memiliki porsi besar dalam membentuk kondisi dan pandangan masyarakat Indonesia terhadap politik. Pada masa orde baru, masyarakat cenderung dididik untuk tidak banyak ikut campur dalam masalah politik. Hal itu terlihat dengan munculnya doktrin bahwa politik hanya urusan pejabat elit, masyarakat hanya bertugas untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Selain itu, kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan politik, terutama yang bertentangan dengan rezim penguasa, ditekan habis sampai tidak mampu berkembang dengan baik. Pendekatan itu kemudian menciptakan masyarakat yang apatis dan cenderung tabu untuk berbicara perihal politik.
Kondisi tersebut masih sangat terasa pada Orde Reformasi saat ini, walaupun masyarakatnya sudah lebih memiliki kebebasan dalam bertindak dan berekspresi. Salah satu faktor yang melanggengkan kondisi masyarakat itu adalah kondisi dimana politik masih menjadi “mainan” kaum elite, dan lebih diperburuk lagi dengan politik yang hanya dijadikan media untuk merengkuh kekuasaan sekelompok orang, tanpa kemudian berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat banyak.
Alat kekuasaan paling efektif bagi elit untuk berpolitik adalah hukum, atau dalam hal ini maknanya dipersempit menjadi Undang-undang. Fakta bahwa UU lebih kental nuansa politik dibandingkan aspek hukum sudah semakin mudah untuk dibuktikan. Dengan UU para elit (pembentuk UU) dapat menentukan apa saja yang menjadi kepentingannya, dan UU tersebut kemudian mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga, mau tidak mau, tahu tidak tahu, seluruh masyarakat harus mengikutinya. Sangat efektif bukan? Oleh karena itu, komponen pembentukan UU atau legislasi, harus menjadi perhatian serius, baik sebagai obyek perbaikan, maupun media perbaikan itu sendiri, dari pendidikan politik di Indonesia.

CATATAN POLITIK LEGISLASI INDONESIA 2009-2011
Setelah mengetahui pentingnya politik legislasi berdasarkan penjelasan diatas, tentu perlu untuk melihat pula bagaimana kondisi politik legislasi Indonesia saat ini? DPR dan Pemerintah yang saat ini menjabat adalah mereka yang dipilih untuk masa jabatan 2009-2014. Sehingga untuk mengetahui potret politik legislasi Indonesia yang menggambarkan kondisi kekinian, dapat dilihat dari capaian kinerja legislasi tahun 2009-2011.
Dalam aspek kuantitas, pada tahun 2010 dan 2011, DPR dan Pemerintah telah gagal memenuhi target capaian legislasi. Pada tahun 2010 (dimulai dari akhir tahun 2009) DPR dan Pemerintah berhasil mensahkan 16 UU, dari target 70 UU. Sedangkan pada tahun 2011, yang baru saja usai, hanya dapat diselesaikan 24 UU dari 93 UU yang ditargetkan. Jumlah tersebut hanya berkisar dibawah 25% setiap tahunnya.
Dari 16 dan 24 UU yang dihasilkan pada tahun 2009-2010 dan 2011, 12 UU diantaranya adalah UU yang sifatnya kumulatif terbuka, atau diluar perencanaan awal (seperti UU APBN dan UU ratifikasi perjanjian internasional). Sehingga UU yang masuk dalam perencanaan awal ada sebanyak 28 UU, yang terdiri dari 12 UU mengatur bidang politik, hukum, dan HAM; 6 UU bidang Ekonomi; dan 10 UU bidang sosial dan bidaya. Dari data diatas terlihat bahwa dalam dua tahun terakhir politik atau kepentingan DPR dan Pemerintah lebih menjadikan regulasi dalam bidang politik, hukum, dan dan HAM sebagai prioritas dibanding bidang ekonomi dan sosial-budaya. Padahal apabila melihat Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 dan 2011 lebih mengarah kepada peningkatan perekonomian dan investasi.
Dari data diatas terlihat bahwa politik legislasi DPR dan Pemerintah dilaksanakan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat, sehingga dengan kata lain dapat dikatakan bahwa DPR dan Pemerintah sebenarnya memiliki kepentingan lain dalam menggerakan legislasi, diluar perencanaan yang telah ditetapkan.
Dalam aspek kuantitas diatas memang belum dapat terlihat dengan jelas gambaran politik legislasi yang dimaksud. Namun aspek kuantitas ini merupakan awal untuk mengetahui aspek kualitas, yang akan memperlihatkan lebih jelas gambaran dari politik legislasi tahun 2009-2011. Dalam aspek kualitas setidaknya ada dua hasil analisa yang mengemuka dari capaian legislasi 2010 dan 2011.
Analisa Pertama, adanya kecenderungan UU yang dihasilkan memperbesar wewenang DPR dan Pemerintah, tidak hanya dalam arti kelembagaan tetapi juga partai politik dibelakangnya. Ironisnya perbesaran kewenangan tersebut tidak berada dalam tataran sistem ketatanegaraan yang baik, sehingga cenderung terlihat memperbesar di satu sisi namun memperlemah disisilainnya. Bahkan kerap bertentangan pula dengan kepentingan masyarakat secara umum, yang seharusnya menjadi poin utama dalam pembahasan RUU tersebut.
Contoh UU dalam hal ini adalah seperti ketentuan dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu perihal keanggotaan penyelenggara pemilu yang boleh dari unsur partai politik (untuk ketentuan ini sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi). Selain itu, dalam ketentuan UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan dari UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa anggota dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi salah satunya berasal dari DPR. Serta dalam UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur bahwa jumlah calon pimpinan Komisi Yudisial yang diserahkan kepada DPR oleh Panitia Seleksi sebanyak 21 (dua puluh satu) orang, atau 3 (tiga) kali jumlah yang dibutuhkan. Padahal pada UU sebelumnya, jumlahnya hanya 14 (empat belas) orang, atau 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan. Dengan semakin banyaknya calon Pimpinan Komisi Yudisial yang diseleksi oleh DPR, maka akan semakin kental nuansa politik kepentingan dalam tubuh Pimpinan Komisi Yudisial, dan sebaliknya memperkecil peran Panitia Seleksi yang menyeleksi calon justru dari aspek terpenting, yaitu integritas, kemampuan, dan kepemimpinan.
Analisa Kedua adalah terkait dengan tidak konsistennya pembentuk UU dalam melaksanakan komitmen untuk melakukan moratorium dalam pembentukan komisi atau lembaga baru. Ada beberapa UU capaian tahun 2010 dan 2011, yang masih memunculkan usulan untuk membentuk komisi atau lembaga baru, baik yang akhirnya terbentuk ataupun kandas dalam pembahasan. Contohnya UU Holtikultura, UU Bantuan Hukum, UU Rumah Susun, UU Pencegahan dan Pembalakan Liar, dan UU Pengelolaan Zakat.
Munculnya lembaga baru cenderung akan lebih dimanfaatkan sebagai sarana pembagian kekuasaan, karena tim seleksi anggota lembaga tersebut berada dibawah Pemerintah langsung, atau melaluai seleksi di DPR. Selain itu, kemunculan usul tersebut bukan hanya sekedar melanggar komitmen dalam pelaksanaan moratorium pembentukan komisi atau lembaga baru, tetapi juga dalam praktiknya kerap menyebabkan deadlock dalam pembahasan RUU, karena kedua belah pihak (DPR dan Pemerintah) berbeda pendapat. Uniknya dalam hal ini, keseluruhan UU (tahun 2011) yang mengusulkan adanya komisi atau lembaga baru merupakan usul inisiatif dari DPR.
Dari analisa diatas dapat diketahui bahwa politik legislasi DPR dan Pemerintah pada tahun 2010 dan 2011 lebih cenderung kepada memperbesar wewenangnya, baik dengan cara mengatur langsung dalam UU atau membuat lembaga atau komisi baru. Perbesaran wewenang itu tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang baik dari lembaga lain, sehingga potensi terjadinya abuse of power sangat besar. Dilain sisi, politik legislasi ini jelas jauh dari kepentingan masyarakat luas, karena tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat itu sendiri.

KESIMPULAN
Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini dalam bidang politik adalah kembali memberikan pemahaman bahwa politik bukan hanya milik para elit, tetapi masyarakat dari semua kalangan, sehingga kesan tabu dan apatis terhadap politik akan terus memudar.
Untuk mencapainya, salah satu komponen yang dapat digunakan adalah bidang legislasi, yang dari uraian diatas terbukti dapat memperlihatkan gambaran politik di Indonesia. Dalam hal pendidikan politik, politik legislasi dapat dijadikan obyek perbaikan, sekaligus media dalam mencapai harapan diatas. Sebagai obyek perbaikan karena pada saat ini proses legislasi masih belum transparan, akuntabel, dan partisipatif. Dengan terpenuhinya ketiga hal itu, legislasi baru kemudian dapat mejadi media dalam pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia.

gambar ilustrasi: http://sdhimas.blogspot.com/2013/08/dilema-antar-kepentingan-individu-dan.html