Senin, 20 September 2010

KRITISI TERHADAP UNDANG-UNDANG MD3 KEDUA

PERMASALAHAN
Tata Tertib DPR (Pasal 206)
Tata Tertib berlaku di lingkungan internal DPR. Kurang sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 khususnya Pasal 7 ayat (4): “... diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

ANALISA
Tata Tertib DPR tahun 2009-2014 (Tatib DPR) dituangkan dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat No. 1 tahun 2009. Tatib DPR dibentuk berdasarkan adanya kewenangan delegasi yang diberikan oleh UU No. 27 tahun 2009 (UU MD3), sebagai Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kepada DPR untuk melaksanakan atau mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU MD3 tersebut. Adapun ketentuan yang menyatakan adanya kewenangan delegasi dari UU MD3 kepada DPR dalam membentuk Tatib DPR adalah dalam Pasal 206 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.” Setelah mengetahui dasar kewenangan dalam pembentukan Tatib DPR, penting kemudian untuk mengetahui bahwa apakah Tatib DPR tersebut masuk kedalam kelompok Peraturan Perundang-undangan menurut UU No.10 tahun 2004?
Definisi Peraturan Perundang-undangan dapat dijumpai dalam Pasl 1 ayat (2) UU No. 10 tahun 2004, yang menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.” Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan untuk dikelompokan dalam Peraturan Perundang-undangan, yaitu peraturan tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara umum.
Secara kasat mata dapat diketahui bahwa Tatib DPR merupakan suatu peraturan tertulis dan dibentuk oleh lembaga negara yaitu DPR, yang diberikan kewenangan oleh Pasal 206 ayat (1) UU MD3. Namun, Tatib DPR bukanlah peraturan yang mengikat secara umum, karena hanya mengikat kepada sekelompok orang, yaitu internal anggota DPR.
Menurut Prof. Maria Indrati dalam bukunya Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, menyatakan bahwa berdasarkan alamat yang dituju (addressat) atau untuk siapa norma hukum tersebut ditujukan, norma hukum dapat dikelompokan menjadi norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum umum adalah suatu norma yang ditujukan bagi orang banyak dan tidak tertentu. Umum dalam hal ini adalah berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua orang, semua warga negara, untuk seluruh provinsi, satu wilayah. Sedangkan untuk norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan kepada seseorang, bebarapa orang, atau banyak orang yang telah tertentu.

KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa Tatib DPR adalah norma hukum individual, bukan norma hukum umum. Oleh karena itu pula Tatib DPR tidaklah bisa dikatakan sebagai Peraturan Perundang-undangan, karena tidak memenuhi syarat dari definisi Peraturan Perundang-undangan, yaitu mengikat secara umum. Dengan tidak termasuknya Tatib DPR pada pengertian sebagai Peraturan Perundang-undangan, maka Pasal 206 dalam UU MD3 tidaklah bertentangan dengan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004, karena konteks pengaturan dari pasal 7 ayat (4) UU No.10 tahun 2004 adalah Peraturan Perundang-undangan.

KRITISI TERHADAP UNDANG-UNDANG MD3 PERTAMA

PERMASALAHAN
Judul “Pemberhentian Sementara” pada Pasal 219 ayat (2) UU MD3
Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.
Judul pasal ini sebaiknya “Pemberhentian” saja, karena pasal ini mengatur mengenai pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap.

ANALISA
Dalam hal teknik penulisan, materi peraturan perundang-undangan dapat dikelompokan dan disusun secara sistematis dalam suatu buku, bab, bagian, dan paragraf tergantung kepada tingkatan dan kompleksitas materi yang akan dikelompokan. Dalam tiap kelompok materi perundang-undangan tersebut haruslah diberi judul, agar memudahkan para pengguna peraturan memahami isi dan maksud dari peraturan tersebut. Adapun judul yang digunakan haruslah mencerminkan keseluruhan isi dari kelompok tersebut.
Pasal atau ketentuan mengenai “Pemberhentian” diatur dalam semua Undang-undang yang mengatur mengenai pembentukan suatu lembaga, terutama lembaga negara. Namun, dalam teknik penulisannya tidaklah sama. Ada dalam beberapa UU penglompokan aturan mengenai “Pemberhentian” yang diatur langsung dalam kolompok (Bab) mengenai “Pemberhentian”. Namun, ada juga beberapa UU yang mengelompokannya dalam Bab lain, seperti Bab “Pimpinan” atau “Anggota”. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa perbedaan teknik penulisan tersebut diakibatkan karena tingkat kompleksitas yang berbeda antara satu peraturan dengan peraturan lain, terutama dalam hal materi perundang-undangan mengani “Pemberhentian”.
Contoh yang dapat diambil mengenai ketentuan yang mengatur tentang “Pemberhentian”, yaitu dalam UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY), dan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Dalam UU KY, ketentuan mengenai “Pemberhentian” diatur dalam Bab IV Bagian Kedua. Judul dari Bab IV tersebut adalah “PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN”, sedangkan judul dari Bagian Kedua dari Bab IV tersebut adalah “Pemberhentian”. Dalam Bab IV Bagian Kedua UU KY tersebut mengatur mengenai pemberhentian tetap dan pemberhentian sementara. Dalam Pasal 32 diatur mengenai pemberhentian tetap, yaitu:
“Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial apabila:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; atau
d. berakhir masa jabatannya.”
Sedangkan dalam Pasal 35 ayat (1) diatur mengenai pemberhentian sementara, yaitu:
“Apabila terhadap seorang Anggota Komisi Yudisial ada perintah penangkapan yang diikutidengan penahanan, Anggota Komisi Yudisial tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.”


Dalam UU KPK, ketentuan mengenai “Pemberhentian” tidak diatur dalam Bab atau Bagian yang langsunf diberi judul “Pemberhentian”, seperti yang dilakukan dalam UU KY. Namun, dalam UU KPK, ketentuan mengenai “Pemberhentian” dimasukan dalam Bab V tentang Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Bab V UU KPK, ketentuan mengenai “Pemberhentian”, terutama pemberhentian tetap, diatur dalam Pasal 32 ayat (1), yaitu
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya;
c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya;
e. mengundurkan diri; atau
f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.”


Sedangkan untuk ketentuan mengenai pemberhentian sementara diatur dalam Pasal 32 ayat (2), yaitu “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.”

KESIMPULAN
Dari kedua contoh UU yang mengatur mengenai ketentuan “Pemberhentian” diatas, dan penjelasan singkat mengenai pentingnya judul dalam kelompok materi perundang-undangan, dapat diketahui bahwa judul yang digunakan dalam suatu kelompok materi perundang-undangan (dalam hal ini Bab) haruslah mampu mencerminkan isi dari Bab tersebut. Sehingga judul dalam ketentuan Bab III Bagian Kelima Belas Paragraf 3 seharusnya “Pemberhentian” bukanlah “Pemberhentian Sementara”, mengingat isi dari Paragraf tersebut tidak hanya ketentuan mengenai pemberhentian sementara saja, tetap juga mengenai pemberhentian tetap bagi anggota DPR.