Kejadian pengrusakan di Mahkamah
Konstitusi, pada saat pembacaan Putusan terhadap gugatan terkait dengan hasil
dalam pemilu Provinsi Maluku, semakin menegaskan bahwa rasa aman di ruang sidang
telah hilang. Ruangan yang seharusnya menjadi tempat “adu kekuatan” antara argumentasi
dan bukti-bukti, sudah berubah menjadi adu kekuatan fisik yang menonjolkan
kekerasan. Kondisi yang apabila dibiarkan akan berpotensi meruntuhkan pembentukan
pengadilan yang berwibawa.
Pasca kejadian tersebut media-media
mulai memberitakan kejadian dan menampilkan liputan terjadinya pengrusakan di
ruang sidang dan diluar sidang MK. Dalam pemberitaan diperlihatkan bagaimana
sekelompok orang berteriak, bahkan membanting fasilitas di ruang sidang, tanpa
ada pihak keamanan yang berusaha mencegah karena jumlah yang tidak sebanding.
Dalam pemberitaan yang ada, opini yang dibangun seakan mengerucut bahwa
kejadian itu adalah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK. Namun,
apakah opini itu sepenuhnya benar?
Kejadian pengrusakan tersebut
terjadi tidak lama setelah adanya kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh
salah satu mantan hakim konstitusi. Perkara itu yang kemudian menjadi pemicu
adanya opini bahwa masyarakat menjadi semakin tidak percaya kepada MK. Namun
pertanyaan yang patut diajukan adalah, apabila benar tidak percaya lalu mengapa
mereka masih mensidangkan kasusnya di MK? Bukankah ada opsi para pihak untuk
mencabut gugatannya? Masih diprosesnya perkara yang
bersangkutan membuktikan bahwa rasa percaya itu masih ada, dan menjadi hal yang
lumrah terjadi bahwa ada pihak yang kecewa dengan putusan pengadilan, termasuk di
MK. Sehingga membuat kedua belah pihak yang sedang berperkara merasa puas atau
merasa mendapatkan keadilan adalah kondisi yang sangat sulit dipenuhi.
Apabila dilihat lebih mendalam
kepada akar masalah dari kejadian itu, aspek keamanan sidang yang perlu
mendapat perhatian lebih. Pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sebagai
pelaku pengrusakan ruang sidang, tidak mungkin bisa melakukan niatnya apabila
ada tindakan preventif yang dilakukan. Tentu tindakan preventif yang dimaksud
bukanlah menghalangi mereka untuk masuk ruang sidang, tetapi ketika ada
sekelompok orang dengan jumlah yang besar berniat masuk ke ruang sidang, tentu
pihak keamanan sudah harus memiliki mekanisme untuk mengatasi terjadinya
kerusuhan, bahkan smapai ke pengrusakan.
Kejadian pengrusakan ruang sidang
sebenarnya bukanlah hal baru. Kondisi serupa kerap terjadi di lembaga peradilan
lain, yaitu di Mahkamah Agung, terutama praktik persidangan yang dilakukan di pengadilan
tingkat pertama, di wilayah peradilan umum. Faktor keamanan menjadi
permasalahan tersendiri dalam pelaksanaan persidangan. Kondisi masa yang masuk
ke pengadilan lalu melakukan pengrusakan, bahkan sampai mengejar para hakim
yang sedang bertugas kerap terjadi di Pengadilan Negeri berbagai daerah.
Kondisi di MK masih sangat beruntung
karena masih ada pihak keamanan yang tergolong sigap dalam mengamankan pasca
kejadian. Selain itu, pemberitaan yang massal secara nasional menjadikan
kejadian sebagai perhatian publik, yang biasanya mampu mendorong penyelesaian lebih
cepat. Kondisi di berbagai pengadilan di daerah tidak selalu seberuntung itu. Pengadilan
tidak memiliki perangkat keamanan yang mumpuni untuk memastikan kondisi
pengadilan aman. Ada tiga lasan utama pengadilan tidak didukung kemanan yang
maksimal. Pertama, anggaran
pengamanan pengadilan sangat minim, dan hanya cukup untuk membiayai 1-2 orang
keamanan untuk berjaga setiap hari. Kedua,
pengerahan aparat kepolisian dalam jumlah yang besar selalu membutuhkan
anggaran yang besar, minimal untuk uang makan para personel. Ketiga, hubungan pengadilan dnegan pihak
kepolisian tidak selalu harmonis. Kondisi itu banyak dipengaruhi oleh proses
pra-peradilan yang melibatkan polisi (penyidik dan penyelidik) sebagai salah
satu pihak. Apabila pihak kepolisian yang diputus bersalah dalam proses
penyelidikan dan penyidikan, dalam pra-peradilan, tidak jarang mempengaruhi
hubungan antara pengadilan dan kepolisian, yang berimbas kepada minimnya
pengamanan oleh kepolisian oleh pengadilan.
Tidak hadirnya rasa aman dalam
ruang sidang berdampak besar, bahkan berpotensi
menjadikan proses peradilan yang tidak independen. Rasa aman bukan hanya milik
para pihak dan pengunjung sidang, tetapi juga milik para hakim. Tuntutan kepada
para hakim untuk memutus dengan posisi yang merdeka sulit untuk tercapai,
apabila tekanan dan intimidasi dari salah satu pihak, atau bahkan kedua belah
pihak terjadi.
Kejadian di MK hanya sebagai
fenomena gunung es dari apa yang terjadi di peradilan Indonesia. Rasa aman
semakin sulit didapatkan diruang sidang. Tekanan dari para pihak, terutama
kepada hakim, tidak bisa terhindarkan karena ada kepentingan masing-masing.
Namun, tekanan yang sudah menghilangkan rasa aman, bahkan sampai mengancam
keselamatan tentu tidak bisa dibenarkan. Perbaikan dalam pengamanan persidangan
bukan hanya untuk menciptakan proses yang lebih kondusif dalam persidangan,
tetapi lebih jauh untuk benar-benar membuat peradilan yang bebas dan merdeka.