Kamis, 14 November 2013

HILANGNYA RASA AMAN DALAM RUANG SIDANG

Kejadian pengrusakan di Mahkamah Konstitusi, pada saat pembacaan Putusan terhadap gugatan terkait dengan hasil dalam pemilu Provinsi Maluku, semakin menegaskan bahwa rasa aman di ruang sidang telah hilang. Ruangan yang seharusnya menjadi tempat “adu kekuatan” antara argumentasi dan bukti-bukti, sudah berubah menjadi adu kekuatan fisik yang menonjolkan kekerasan. Kondisi yang apabila dibiarkan akan berpotensi meruntuhkan pembentukan pengadilan yang berwibawa.

Pasca kejadian tersebut media-media mulai memberitakan kejadian dan menampilkan liputan terjadinya pengrusakan di ruang sidang dan diluar sidang MK. Dalam pemberitaan diperlihatkan bagaimana sekelompok orang berteriak, bahkan membanting fasilitas di ruang sidang, tanpa ada pihak keamanan yang berusaha mencegah karena jumlah yang tidak sebanding. Dalam pemberitaan yang ada, opini yang dibangun seakan mengerucut bahwa kejadian itu adalah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK. Namun, apakah opini itu sepenuhnya benar?

Kejadian pengrusakan tersebut terjadi tidak lama setelah adanya kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh salah satu mantan hakim konstitusi. Perkara itu yang kemudian menjadi pemicu adanya opini bahwa masyarakat menjadi semakin tidak percaya kepada MK. Namun pertanyaan yang patut diajukan adalah, apabila benar tidak percaya lalu mengapa mereka masih mensidangkan kasusnya di MK? Bukankah ada opsi para pihak untuk mencabut gugatannya? Masih diprosesnya perkara yang bersangkutan membuktikan bahwa rasa percaya itu masih ada, dan menjadi hal yang lumrah terjadi bahwa ada pihak yang kecewa dengan putusan pengadilan, termasuk di MK. Sehingga membuat kedua belah pihak yang sedang berperkara merasa puas atau merasa mendapatkan keadilan adalah kondisi yang sangat sulit dipenuhi.

Apabila dilihat lebih mendalam kepada akar masalah dari kejadian itu, aspek keamanan sidang yang perlu mendapat perhatian lebih. Pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sebagai pelaku pengrusakan ruang sidang, tidak mungkin bisa melakukan niatnya apabila ada tindakan preventif yang dilakukan. Tentu tindakan preventif yang dimaksud bukanlah menghalangi mereka untuk masuk ruang sidang, tetapi ketika ada sekelompok orang dengan jumlah yang besar berniat masuk ke ruang sidang, tentu pihak keamanan sudah harus memiliki mekanisme untuk mengatasi terjadinya kerusuhan, bahkan smapai ke pengrusakan.

Kejadian pengrusakan ruang sidang sebenarnya bukanlah hal baru. Kondisi serupa kerap terjadi di lembaga peradilan lain, yaitu di Mahkamah Agung, terutama praktik persidangan yang dilakukan di pengadilan tingkat pertama, di wilayah peradilan umum. Faktor keamanan menjadi permasalahan tersendiri dalam pelaksanaan persidangan. Kondisi masa yang masuk ke pengadilan lalu melakukan pengrusakan, bahkan sampai mengejar para hakim yang sedang bertugas kerap terjadi di Pengadilan Negeri berbagai daerah.

Kondisi di MK masih sangat beruntung karena masih ada pihak keamanan yang tergolong sigap dalam mengamankan pasca kejadian. Selain itu, pemberitaan yang massal secara nasional menjadikan kejadian sebagai perhatian publik, yang biasanya mampu mendorong penyelesaian lebih cepat. Kondisi di berbagai pengadilan di daerah tidak selalu seberuntung itu. Pengadilan tidak memiliki perangkat keamanan yang mumpuni untuk memastikan kondisi pengadilan aman. Ada tiga lasan utama pengadilan tidak didukung kemanan yang maksimal. Pertama, anggaran pengamanan pengadilan sangat minim, dan hanya cukup untuk membiayai 1-2 orang keamanan untuk berjaga setiap hari. Kedua, pengerahan aparat kepolisian dalam jumlah yang besar selalu membutuhkan anggaran yang besar, minimal untuk uang makan para personel. Ketiga, hubungan pengadilan dnegan pihak kepolisian tidak selalu harmonis. Kondisi itu banyak dipengaruhi oleh proses pra-peradilan yang melibatkan polisi (penyidik dan penyelidik) sebagai salah satu pihak. Apabila pihak kepolisian yang diputus bersalah dalam proses penyelidikan dan penyidikan, dalam pra-peradilan, tidak jarang mempengaruhi hubungan antara pengadilan dan kepolisian, yang berimbas kepada minimnya pengamanan oleh kepolisian oleh pengadilan.

Tidak hadirnya rasa aman dalam ruang sidang  berdampak besar, bahkan berpotensi menjadikan proses peradilan yang tidak independen. Rasa aman bukan hanya milik para pihak dan pengunjung sidang, tetapi juga milik para hakim. Tuntutan kepada para hakim untuk memutus dengan posisi yang merdeka sulit untuk tercapai, apabila tekanan dan intimidasi dari salah satu pihak, atau bahkan kedua belah pihak terjadi.

Kejadian di MK hanya sebagai fenomena gunung es dari apa yang terjadi di peradilan Indonesia. Rasa aman semakin sulit didapatkan diruang sidang. Tekanan dari para pihak, terutama kepada hakim, tidak bisa terhindarkan karena ada kepentingan masing-masing. Namun, tekanan yang sudah menghilangkan rasa aman, bahkan sampai mengancam keselamatan tentu tidak bisa dibenarkan. Perbaikan dalam pengamanan persidangan bukan hanya untuk menciptakan proses yang lebih kondusif dalam persidangan, tetapi lebih jauh untuk benar-benar membuat peradilan yang bebas dan merdeka.